Brantas KKN Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) kembali memperlihatkan ke publik bahwa dua tokoh tersebut tak kompak dalam mengambil keputusan strategis. Seperti yang terbaru mengenai revisi mengenai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
JK mengaku setuju jika UU KPK direvisi. Menurutnya, revisi itu semata-mata untuk perbaikan lembaga yang dipimpin oleh Taufiequrachman Ruki.
"Belum kita bicarakan (bersama Menkumham). Tapi saya yakin namanya perbaikan untuk perbaikan bukan untuk mengurangi peranan KPK tapi untuk memperbaikinya," ujar JK beberapa waktu lalu di Jakarta.
Berbagai pihak melihat revisi UU tersebut akan melemahkan peran KPK dalam melakukan pemberantasan terhadap para koruptor. JK mengatakan, lembaga antirasuah itu harus ada batasannya dalam menelusuri jejak para koruptor. Terlebih dalam hal penyadapan.
"Suatu kewenangan memang harus ada batas-batasnya, tidak bisa ada kekuatan mutlak. Kan bukan berarti KPK punya kekuasaan yang tidak ada batasannya. Kan harus ada batasannya juga," tegasnya.
Namun rupanya, JK tak mendapat dukungan dari Jokowi mengenai revisi tersebut. Pasalnya Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiqurrachman Ruki saat bertandang ke Istana Negara mengungkapkan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menolak rencana dan usul revisi Undang-Undang KPK.
Penolakan dilakukan karena Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi ditujukan untuk kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, namun KPK akan tetap membantu mengawasi.
"Pesan Presiden untuk KPK, Kejaksaan, dan Polri bekerja secara sinergi, tetapi yang paling menggembiarakan, dengan tegas Presiden mengatakan bahwa tidak ada keinginan Presiden melemahkan KPK. Oleh karena itu, revisi UU KPK, Presiden menolak," ujar Ruki.
Ruki mengaku, keputusan yang diambil Jokowi telah membuat KPK lega dan bebas dari rasa saling curiga. Selanjutnya, pencegahan dan penindakan korupsi akan tetap berjalan seperti yang selama ini telah dilakukan.
Berikut ini ada empat perbedaan pandangan Jokowi-JK yang dihimpun Okezone Jumat (19/6/2015).
1. Perampingan Kabinet
Jokowi menawarkan perampingan kabinet agar tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan antar-kementerian. Jokowi mengatakan perampingan yang dimaksud tidak selalu mengurangi jumlah menteri. Namun, ujar dia, bisa mengurangi jumlah eselon di sejumlah kementerian.
Sedangkan JK berpandangan sebaliknya. Perampingan kabinet justru akan menguras banyak energi. Kalla menganggap jumlah 34 menteri untuk mengurus 250 juta rakyat Indonesia sudah cukup ramping.
2. Lelang Menteri
Jokowi hendak menggunakan sistem yang sama ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta, yaitu lelang jabatan. Jokowi, yang kala itu belum dilantik sebagai presiden, ingin menyeleksi dan melelang menteri yang bakal menjadi pembantunya.
Sebaliknya, JK menuturkan lelang jabatan tak bisa dipakai untuk mengisi posisi menteri. JK beralasan, jabatan menteri sangat penting sehingga sebaiknya dipilih langsung oleh presiden bukan melalui lelang.
3.Pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai KapolriJokowi menyatakan akan membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Pernyataan itu disampaikan Ketua Tim Sembilan Syafii Maarif. Dia mengaku ditelefon langsung oleh Jokowi terkait dengan pembatalan ini.
Sebaliknya, JK justru menuturkan jadi atau tidaknya Budi Gunawan dilantik bergantung pada putusan praperadilan. Kalla juga mengatakan akan melantik Budi Gunawan jika menduduki jabatan sebagai presiden.
4.Pembentukan Kantor Staf KepresidenanJokowi membentuk Kantor Staf Kepresidenan. Kantor ini dipimpin langsung kawan lama Jokowi, Luhut Binsar Panjaitan. Namun JK menyatakan tak tahu adanya pelantikan Luhut untuk duduk di posisi tersebut. (sumber: news,okezon.com/*)