Oleh: Al. Wisnubroto
Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, atilar silastuti, sujana sarjana kelu, kalulun kalatidha, tidem tandhaning dumadi, ardayengrat dene karoban rubeda.
(R.Ng. Ranggawarsita: Serat Kalatidha)
Masalah pornografi sudah ada sejak jaman dulu kala. Batasan makna, cara, bentuk hingga medianyapun terus berkembang mengikuti kemajuan jaman. Ketika peradaban manusia telah memasuki era ”cyberspace” yang diikuti dengan teknologi multimedia yang amat canggih, masalah pornografipun memasuki babak baru dengan munculnya apa yang disebut cyberporn.
Awal bulan ini dunia media kita kembali dihebohkan dengan tersebarnya rekaman video porno melalui teknologi telematika (selanjutnya disebut dengan cyberporn). Kasus cyberporn di Indonesia sebenarnya bukan masalah baru karena sebelumnya pernah muncul banyak kasus serupa, sebut saja kasus ”Bandung Lautan Asmara”, ”Belum Ada Judul”, ”Foto Mesum (mirip) Pejabat di Pekalongan”, ”Maria Eva dan Anggota DPR”, ”Adegan Mesum Siswa SMA” dll. Kasus ini menjadi heboh karena kontennya adalah adegan hubungan intim yang dilakukan oleh para pelaku yang ”mirip” (hingga saat ini belum ada pengakuan dan pembuktian) Ariel Paterpan, Luna Maya dan Cut Tari, artis yang sedang tersohor dan menjadi idola di negeri ini.
Kasus tersebut telah menimbulkan reaksi-reaksi yang luar biasa, mulai dari media massa yang tak henti-hentinya memberitakan opini serta perkembangan kasus, tanggapan berbagai pihak bahkan hingga SBY sempat berkomentar, hujatan-hujatan dari facebooker hingga aksi masa oleh kelompok tertentu, kegelisahan orang tua hingga tindakan ”razia” handphone oleh guru di beberapa sekolah yang cukup meresahkan, hingga proses hukum yang berlarut-larut.
Perdebatan Soal Pemaknaan ”Hukum”
Sebenarnya tidak ada permasalahan mengenai bagaimana menjerat kasus penyebaran cyberporn dengan aturan hukum pidana yang ada di Indonesia. Pasal-pasal tentang delik kesusilaan seperti Pasal 282 atau 283 KUHP, Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 (UU ITE) hingga yang lebih khusus lagi yakni Pasal 29 jo Pasal 4 ayat (1) atau Pasal 32 jo. Pasal 6 UU No. 44 Tahun 2008 (UU Pornografi) bisa saja diterapkan terhadap kasus-kasus cyberporn. Nampaknya pihak penyidik dari Kepolisian dalam usahanya menyelesaikan kasus video porno dengan pemain ”mirip” artis idola Ariel-Luna-Tari, juga tidak akan jauh dari kisaran pasal-pasal tersebut.
Perdebatan justru muncul ketika para ahli hukum melibatkan diri sebagai kuasa hukum pada dua kubu yang berbeda kepentingan. Sebut saja Advokat Farhat Abbas dari LSM Hajar dengan mengatasnamakan ”kepentingan masyarakat” yang menjadi korban akibat beredarnya video porno tersebut, telah melaporkan Ariel, Luna dan Tari dengan desakan agar para pemain dalam video porno tersebut dipidanakan. Tidak hanya dengan KUHP, UU ITE dan UU Pornografi, bahkan Farhat juga mengandalkan UU No. 1/drt/ 1951 agar perbuatan pemain video porno bisa dipidanakan berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sementara kuasa hukum dari pihak Ariel (Boy Alfrian Bondjol) bertahan pada pembelaan bahwa kliennya adalah korban ”pembunuhan karakter”. Disamping itu Boy dengan lantang mengatakan bahwa Pasal 282 KUHP dan Pasal 27 ayat (1) UU ITE hanya berlaku bagi pengedar atau orang yang menyebarkan pornografi sedangkan penjelasan Pasal 4 UU Pornografi menyebutkan bahwa seseorang tidak bisa dipidana bila membuat pornografi untuk diri sendiri (pribadi). Dengan kata lain Kuasa Hukum Ariel tidak mau memberikan penafsiran selain apa yang telah dirumuskan dalam teks peraturan. Hal ini lebih nampak ketika ia mengeluarkan pernyataan bahwa bisa saja aturan hukum yang ada diterapkan terhadap kasus kliennya namun harus dilakukan perubahan dulu di DPR.
Perdebatan tersebut nampak wajar-wajar saja, apalagi yang berdebat adalah para lawyer yang berposisi pada kubu yang berlawanan. Namun demikian dari sisi pengamat perilaku hukum, nampak adanya dua gaya atau cara berhukum yang khas dalam perdebatan tersebut khususnya terkait dengan pemaknaan ”hukum”. Farhat (terlepas dari latar belakang dan perilakunya dalam kasus lain) yang dalam kasus ini memposisikan dirinya sebagai pihak yang melayani kepentingan masyarakat, memaknai hukum secara luas sehingga meliputi pula aspek moral, etika dan kultur (termasuk hukum yang hidup dalam masyarakat) sehingga aturan yang terkait harus ditafsirkan secara kontekstual. Ini adalah gaya atau cara berhukum khas yang lazim dipergunakan oleh aktivis LSM dalam mengadvokasi masyarakat. Sedangkan Boy dan O.C. Kaligis yang dalam kasus ini bertindak sebagai Kuasa Hukum Ariel, untuk kepentingan kliennya selaku individu (yang memiliki hak asasi), cara memaknai hukum lebih bersifat tekstual dan bertumpu pada logika formalistik. Ini adalah gaya atau cara berhukum khas yang lazim dipergunakan oleh para Advokat Profesional dalam membela klien.
Sementara itu pihak kepolisian setelah mendalami kasusnya akhirnya telah menetapkan Ariel sebagai tersangka dengan jeratan UU Pornografi dan tidak menutup kemungkinan juga akan menerapkan pasal-pasal dalam UU ITE dan KUHP. Dari kacamata positivistik memang ada persoalan yuridis dalam penerapan ketiga undang-undang tersebut terhadap Nazriel Irham alias Ariel Paterpan (dan kemungkinan juga terhadap Luna Maya dan Cut Tari). Terkait dengan asas legalitas UU Pornografi dan UU ITE yang diundangkan pada tahun 2008 akan bermasalah bila diberlakukan surut terhadap kasus video porno yang diperkirakan dibuat pada tahun 2005 atau 2006 (ada pula yang memperkirakan tahun 2009). Sementara itu Pasal 282 KUHP juga terdapat titik lemah terkait dengan unsur ”menyiarkan, mempertunjukkan … di muka umum”.
Perdebatan Masalah Pembuktian
Kehadiran teknologi telematika telah mengubah realitas dari hardreality dan softreality menjadi virtualreality. Dalam realitas dunia maya sangat dimungkinkan rekayasa multimedia yang makin lama semakin ”sempurna” didukung dengan teknologi artificial digital. Dengan menggunakan software tertentu semakin sulit membedakan mana yang asli mana yang aspal dan mana yang palsu.
Sekalipun demikian pada sisi yang lain teknologi digital forensic atau computer forensic juga terus menerus dikembangkan. Disamping teknologinya yang semakin diakses, dari sisi SDM-nya kiranya juga semakin banyak yang secara substansial memiliki kualifikasi sebagai ”ahli” telematika termasuk di bidang teknologi pembuktian kasus-kasus cyber crime.
Dalam kasus cyberporn yang diduga melibatkan tiga artis idola (Ariel-Luna-Cut Tari) sekalipun yang bersangkutan membantah keterlibatannya (dan dalam hukum acara pidana memang tidak memerlukan pengakuan tersangka/terdakwa), namun dengan bantuan ahli telematika dan ketersediaan Laboratorium Forensik Komputer yang dimiliki oleh Mabes Polri, rasanya tidak sulit untuk mengungkap kasus tersebut.
Dari sisi hukum pembuktian sebenarnya juga tidak ada persoalan yang rumit terutama setelah alat bukti elektronik diakui dalam UU ITE maupun UU Pornografi. Dalam kasus cyberporn hasil rekaman digital/elektronik berserta metadata dan berbagai informasi yang berkaitan dapat dijadikan alat bukti yang sah.
Masalahnya lebih terletak pada aspek sosio-kultural masyarakat Indonesia yang masih bersifat ”transisional” dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri yang belum tuntas dan kini ”dipaksa” menuju masyarakat informasi. Dalam keadaan transisional ini terjadi banyak kegagapan karena ketidaksiapan dalam mengupayakan ”persyaratan standar” dalam memasuki era baru dalam perkembangan peradaban dunia akibat perkembangan IPTEK. Sekalipun IT (Information Technology) telah menjadi menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat di Indonesia namun hal tersebut tidak sebanding dengan sebagian besar masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya menguasai teknologi informasi (kadang disebut dengan istilah ”gaptek”). Kesenjangan ini menyebabkan banyak masyarakat Indonesia yang tidak memahami perubahan paradigma dalam era cyberspace. Dalam kenyataannnya masih banyak masyarakat Indonesia yang terjebak pada pemahaman keliru terkait dengan permasalahan teknologi informasi. Contoh yang sederhana saja masih ada orang yang merespon persoalan yang muncul di dunia maya yang bersifat virtual, dengan perspektif dunia nyata yang serba fisik dan butuh formalitas.
Keadaan yang demikian sering dimanfaatkan oleh ahli hukum yang berpandangan legal-positivistik sebagai strategi pembelaan. Hal ini nampak pula dalam kasus cyberporn ”Luna-Ariel-Tari”, dimana ketika dua ”Pakar” Telematika (KRMT Roy Suryo dan M Salahuddien) di depan media menyatakan keaslian video porno tersebut, langsung dilawan oleh Kuasa Hukum Ariel (OC. Kaligis) yang mempertanyakan kapasitas Roy Suryo terkait dengan latar belakang pendidikan dan profesi Roy.
Kaligis menolak pernyataan dan kesaksian Roy karena ijasah Roy bukan dari pendidikan telematika dan Roy tidak masuk dalam Asosiasi Digital Forensik yang berpusat di USA. Menurut hemat penulis pendapat Kaligis tersebut amat berbau formalistik yang sudah usang di era informasi global dimana pengetahuan dan keahlian bisa diakses dari media apapun (tidak harus dari pendidikan formal). Dalam dunia telematika sendiri tersedia banyak fasilitas e-learning yang dikelola komunitas IT dengan bertumpu pada filosofi: ”Knowledge is power. Share it and it will multiply”. Demikian pula masalah kapasitas atau keahlian seseorang tidak ditentukan oleh profesi, jabatan atau keanggotaan dari asosiasi tertentu namun lebih terletak pada pengakuan dari cyber community.
Dalam masyarakat transisional yang ”serba tanggung” kadang-kadang memang muncul fenomena yang barangkali unik karena seringkali justru tidak nyambung dengan kemajuan teknologi. Beberapa pernyataan terbuka yang sempat menjadi bahan perdebatan terkait dengan pembuktian kasus ini mencerminkan keunikan tersebut, misalnya pernyataan Tifatul Sembiring selaku Menkominfo yang mendesak agar Ariel, Luna dan Cut Tari membuat pengakuan yang menegaskan diri mereka yang ada dalam video porno atau bukan. Pernyataan Farhat Abbas lebih kontroversial lagi ketika menantang agar Ariel, Luna dan Cut Tari melakukan Sumpah Pocong untuk menguji kejujurannya.
Sekali Lagi Penegakan Hukum Diuji
Hukum modern dengan sifat legal-positivistiknya dalam implementasinya di negara berkembang ternyata menjadi tidak benar-benar netral sebagaimana yang dikonsepkan dalam teorinya. Hukum positif dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang sarat dengan muatan kepentingan sejak dalam proses formulasinya seringkali menimbulkan banyak ”lobang” untuk ”dimainkan” dalam tahap aplikasinya.
Hukum pidana yang dalam bangku perkuliahan sering digambarkan sebagai ”pedang bermata dua”, dalam banyak kasus di Indonesia justru lebih sering nampak seperti ”pisau dapur” yang tajam di bagian bawah sehingga nampak ”garang” terhadap masyarakat kelas bawah namun tumpul pada bagian atasnya sehingga nampak amat ”santun” bagi kalangan kelas atas. Hal dapat dibuktikan pada berbagai kasus penegakan hukum pidana di Indonesia. Pada kasus-kasus yang melibatkan wong cilik, sebut saja dalam kasus Mbok Minah (perkara pencurian tiga buah kakao), kasus Lanjar (perkara kecelakaan lalulintas), kasus Kadana (perkara pembunuhan), kasus Prita (perkara pencemaran nama baik), kasus kriminalisasi petani yang bersengketa dengan perusahaan perkebunan dll. Dimana hukum pidana nampak begitu cepat bereaksi dan hampir selalu berujung pada putusan penjatuhan pidana penjara. Sementara dalam kasus-kasus yang melibatkan the have (pejabat, pengusaha, selebritis) hukum pidana nampak amat lamban dan tidak berdaya serta seringkali ”hilang” di tengah proses atau berujung pada putusan bebas.
Sebelum diberlakukannya UU Pornografi pelaku video porno yang kebetulan tergolong ”bukan siapa-siapa” (salah satu contohnya pelaku video ”Bandung Lautan Asmara) nampak sedemikian mudah dipidana dengan pasal-pasal delik kesusilaan dalam KUHP. Sementara dalam kasus serupa yang dilakukan oleh artis dan pejabat (sebut saja video ”Maria Eva dan Anggota DPR”) bahkan ditahanpun tidak dan lebih aneh lagi belum lama ini ME sempat akan dicalonkan dalam pemilihan Bupati Sidoarjo.
Menjelang RUU Pornografi hendak disahkan menjadi UU Pornografi banyak terjadi penolakan oleh elemn masyarakat, terutama dari kalangan budayawan dan pekerja seni, karena substansi RUU tersebut dinilai terlalu ”garang” sehingga mengancam eksistensi keragaman budaya. Kini konten video porno yang menghebohkan jelas-jelas bukan termasuk karya seni, bukan bagian dari budaya bangsa, bukan pula diperuntukkan untuk materi ilmu pengetahuan sehingga UU Pornografi pulalah yang salah satunya dijadikan dasar ketika Polisi menetapkan Ariel sebagai tersangka.
Sebagai penyanyi papan atas Ariel pasti memiliki ”barganing power” yang kuat dalam menghadapi perkara ini, termasuk untuk menyewa lawyer berkelas untuk membelanya terutama terkait dengan hak-hak privasinya. Beberapa perdebatan hukum dan masalah pembuktian sebagaimana telah diuraikan pada awal tulisan ini menunjukkan sedemikian alotnya penyelesaian kasus video porno ini. Dalam keadaan inilah penegakan hukum diuji dalam mewujudkan penyelesaian perkara yang berkeadilan.
Untuk penyelesaian kasus yang nampak cukup ”alot” ini diperlukan keberanian dari aparatur penegak hukum untuk membebaskan diri dari sistem penegakan hukum yang bersifat legal-positivistik dan terus-menerus mencari terobosan-terobosan ketika menghadapi kebuntuan hukum positif. Pertama, aparatur penegak hukum harus melihat kasus ini dalam perspektif yang utuh sehingga bisa memperlakukan mereka yang terlibat dalam pembuatan dan penyebaran video porno tokoh idola tersebut secara berimbang, antara lain adanya keseimbangan antara posisi pemain video porno sebagai korban dan pelaku, adanya keseimbangan antara hak individual pelaku (seperti hak atas privasi) dan hak kolektif masyarakat (seperti hak perlindungan bagi anak-anak). Kedua, aparatur penegak hukum harus terbuka terhadap segala bentuk alat dan barang bukti, antara lain bahwa alat dan barang bukti tidak boleh digantungkan pada aspek legalitas formal namun harus lebih dipertimbangkan pada aspek konten dan bobot subtansinya. Ketiga, aparatur penegak hukum harus mampu menafsirkan rumusan dan unsur-unsur aturan yang relevan secara kontekstual integratif hingga pada akar maknanya.
Kampus Mrican, 24 Juni 2010
Al. Wisnubroto
Pengajar FH UAJY dan
Anggota PSHD UAJY
Tulisan ini disusun untuk materi Diskusi Bulanan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
24 Juni 2010
http://kamushukum.com/