Situasi awal reformasi tahun 1998 menempatkan Bacharuddin Jusuf
Habibie, presiden ketiga Republik Indonesia, pada situasi transisi yang
sulit. Sebagai teknokrat, bukan politisi, ia dihadapkan pada tanggung
jawab besar untuk memimpin bangsa yang tengah berada di pusaran besar
demokratisasi. Di masa pemerintahan transisi yang berlangsung hanya
setahun itu, fondasi demokrasi Indonesia harus dibangun.
Kebebasan
pers, pemilu yang lebih bebas dan jujur, kebebasan berserikat dan
berkumpul untuk mengembangkan partai politik, pembebasan tahanan
politik, pemisahan polisi dari angkatan bersenjata, dan mereformasi
birokrasi yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme adalah beberapa
dari fondasi demokrasi yang dibangun pada masa itu. Memang tidak
seluruhnya sempurna, tetapi setidaknya perubahan ke arah Indonesia yang
demokratis bisa terlihat di situ.
Demokratisasi Indonesia tak
mungkin terbendung dan harus dilanjutkan. Visi itu yang mendorong
Habibie, yang tidak lagi menjabat presiden, pada 10 November 1999
mendirikan The Habibie Center (THC), lembaga pemikir yang berkomitmen
untuk memberi masukan dan warna dalam demokrasi dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia (HAM). Sejumlah tokoh yang memiliki visi sama
tentang demokratisasi, antara lain Dewi Fortuna Anwar, Muladi, dan
Hasjim Djalal, bergabung membentuk THC.
Sebagai organisasi
independen, nonpemerintah, dan nonprofit, THC memberikan perhatian pada
keberlangsungan demokrasi dan HAM, pengembangan maritim, teknologi, dan
media. Karena itu, dibentuklah sejumlah lembaga di bawah THC, yang
meliputi Institute for Democracy and Human Rights, Maritime Constitution
Institute, Media Development Center, dan Institute Democratization of
Science Technology. Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia-Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Yayasan SDM-Iptek) yang sudah ada sebelumnya,
juga milik keluarga besar Habibie, dimasukkan menjadi salah satu bagian
dari THC.
”Meski mengusung visi besar demokrasi dan HAM,
persoalan teknologi yang selama ini digeluti Pak Habibie tetap menjadi
perhatian. Pak Habibie memandang, akses teknologi adalah bagian dari
HAM, begitu juga dengan pendidikan,” kata Direktur Eksekutif The Habibie
Center Rahimah Abdulrahim.
Bukan kendaraan politik
Pada
awal pendiriannya, THC menghadapi tantangan besar berupa persepsi
publik bahwa lembaga ini ditengarai adalah kendaraan politik bagi
Habibie untuk kembali ke kancah kekuasaan. Selain itu, dengan menyandang
nama Habibie, orang mengira lembaga ini adalah lembaga penyandang dana
atau donor bagi lembaga lain.
”Cukup sulit untuk meyakinkan
publik bahwa THC bukanlah kendaraan politik bagi Pak Habibie untuk
kembali ke kekuasaan. Pembuktiannya hanya mungkin dilakukan dengan
menjaga agar programnya dari tahun ke tahun sesuai dengan misi awal.
Ketika pemilu, kami tidak ingin terseret arus politik mana pun. Kami
selalu menempatkan diri pada posisi netral dan justru berkontribusi
untuk ikut sebagai pemantau pemilu,” kata Rahimah.
Penempatan
diri pada posisi netral ini unik mengingat personel di THC berasal dari
beragam partai. ”Saat mereka berbicara atau berkiprah untuk THC, mereka
diminta melepaskan kepentingan politiknya. Kami meminta mereka
menanggalkan warna ’jaket’ mereka di pintu,” kata Rahimah.
Sebagai
lembaga nonpemerintah, THC lebih memilih untuk tidak mengkritik
pemerintah, tetapi sebagai lembaga pemikir yang hasil kajiannya bisa
menjadi referensi bagi pembuat kebijakan publik. THC lebih senang jika
diajak bekerja sama dengan instansi pemerintah karena bisa
berpartisipasi langsung dalam penentuan kebijakan publik.
Sejumlah
riset dihasilkan THC dan turut mewarnai pembuatan kebijakan publik,
antara lain kajian tentang demokrasi lokal yang menjadi masukan bagi
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Mereka juga menghasilkan kajian perubahan konstitusi tahun 2003 yang
diserahkan ke MPR serta memberikan masukan dalam pembentukan Mahkamah
Konstitusi (MK). Selain itu, indeks demokrasi yang pemikiran dasarnya
dari THC diadopsi Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pimpinan
Muladi.
Nilai tambah dari THC adalah keberadaan pakar yang
memiliki kredibilitas dan kapabilitas di bidangnya. Meski THC tidak
dimintai masukan secara kelembagaan, ahli yang tergabung di dalamnya
juga sering dimintai masukan oleh pemerintah. Beberapa di antaranya
adalah Siti Zuhro yang mumpuni dalam bidang pemerintahan, kini menjadi
penasihat di Kemdagri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, dan
Dewi Fortuna Anwar yang sering dimintai masukan untuk urusan luar
negeri.
Sumber : http://cetak.kompas.com/
Pakar itu adalah aset terbesar THC. (C Wahyu Haryo PS)