Oleh : Prof. Dr. Mustopadidjaja AR*
Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi
berkembang merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai
bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Birokrasi bertugas
menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik,
dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan
tersebut secara operasional, efektip, dan efisisen. Sebab itu disadari bahwa
birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilam keseluruhan agenda
pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean
government) dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good
governance). Namun pengalaman bangsa kita dan bangsa-bangsa lain menunjukan
bahwa birokrasi tidak senantiasa dapat menyelenggarakan tugas dan fungsinya
tersebut secara otomatis dan independen serta menghasilkan kinerja yang
signifikan. Keberhasilan birokrasi dalam pemberantasan KKN juga ditentukan oleh
banyak faktor lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut yang perlu
diperhitungkan dalam kebijakan “reformasi birokrasi” antara lain adalah
komitmen dan konsistensi semua pihak yang berperan dalam penyelenggaraan
negara baik unsur aparatur negara mau pun warga negara untuk bersama-sama mewujudkan
clean government dan good governance sesuai posisi dan peran
maing-masing dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Yang perlu
diingat adalah bahwa semuanya itu berada dan berlangsung dalam Sistem
Administrasi Negara Kesatuan, Republik Indonesia (SANKRI), dan masing-masing
memiliki tanggung jawab dalam mengemban perjuangan mencapai cita-cita dan
tujuan NKRI. Dapatkah kita memikul
tanggung jawab tersebut?.
_________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
Topik yang dibahas
dalam sesi ini adalah ”Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan
KKN”. Topik tersebut rasanya memiliki konotasi bahwa birokrasi merupakan
faktor atau pun aktor utama baik dalam terjadinya KKN maupun dalam upaya
pencegahan ataupun pemberantasan KKN; meskipun kita mengetahui bahwa masalah
KKN bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi, tetapi penyakit
tersebut juga berjangkit dan terjadi pula pada sektor swasta, dunia usaha, dan
lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan “reformasi
birokrasi” ini sekalipun secara konseptual kita dapat membatasi masalah KKN
dalam lingkup “urusan-urusan publik yang ditangani birokrasi”. Namun secara
aktual, interaksi birokrasi dengan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat
dan dunia usaha merupakan suatu keniscayaan; dan dalam hubungan “interaksi
dengan publik utamanya dalam pelayanan publik” itulah KKN bisa berkembang pada
kedua pihak, dalam dan antar birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat, dengan
jenjang yang panjang dan menyeluruh.
Sebab itu, usaha
pemberantasan KKN perlu dilihat dalam konteks “reformasi birokrasi”, bahkan
“reformasi sistem administrasi negara” secara keseluruhan. Dalam hubungan itu,
agenda utama yang perlu ditempuh dalam reformasi birokrasi adalah perwujudan
kepemerintahan yang baik (good governance) yang sasaran pokoknya adalah
: terwujudnya penyelenggaraan negara yang profesional, partisipatif,
berkepastian hukum, transparan, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan
bebas KKN; peka dan tanggap terhadap segenap kepentingan dan aspirasi rakyat di
seluruh wilayah negara; serta berkembangnya budaya dan perilaku politik dan
pemerintahan yang mengindahkan nilai dan prinsip kepemerintahan yang baik, dan
aktivitas aparatur pemerintahan yang didasari etika, integritas,
profesionalisme dalam pengabdian, pengayom-an, pelayanan, pertanggung jawaban
publik.
Dalam hubungan itu,
dari sudut disiplin dan sistem administrasi negara good governance dapat
dipandang merupakan paradigma yang antara lain berisikan konsep yang mencakup 3
(tiga) aktor utama di atas, yaitu pemerintahan negara di mana birokrasi
termasuk di dalamnya, dunia usaha (swasta, dan usaha-usaha negara), dan
masyarakat. Ketiga aktor yang berperan dalam penyelenggaraan negara dan
pembangunan bangsa tersebut (publik, dunia usaha, dan masyarakat) memiliki
posisi, peran, tanggung jawab, dan kemampuan yang diperlukan untuk suatu proses
pembangunan yang dinamis dan berkelanjutan. Dalam konsep good governance
ketiga aktor dalam sistem administrasi negara tersebut ditempatkan sebagai
mitra yang setara.
Tindak pidana korupsi
telah terjadi secara meluas, dan dianggap pula telah menjadi suatu penyakit
yang sangat parah yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat,
menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, dan memundurkan pembangunan, serta memudarkan masa depan bangsa.
Korupsi terjadi di negara-negara di seluruh dunia. Hal
ini mendorong masyarakat internasional untuk bekerjasama dalam pemberantasan
korupsi. Komitmen masyarakat internasional dalam upaya pemberantasan korupsi
juga didukung oleh berbagai lembaga pembiayaan utama dunia, seperti World Bank,
ADB, IMF, dan juga organisasi internasional lainnya seperti OECD dan APEC.
Bahkan PBB dalam Sidang Umum tanggal 16 Desember 1996 menyatakan deklarasi
untuk pemberantasan korupsi dalam dokumen United Nation Declaration Against
Corruption and Bribery In International Commercial Transaction yang
dipublikasikan sebagai resolusi PBB No. A/RES/51/59, tanggal 28 Januari 1997.
Semangat anti korupsi terus berlanjut antara lain tercermin dalam “Declaration
of 8th International Conference Against Corruption” yang
diselenggarakan di Lima, Peru, pada tangal 11 September 1997 dan dihadiri oleh
wakil-wakil masyarakat dari 93 negara. Konferensi tersebut meyakini bahwa untuk
memerangi korupsi diperlukan kerjasama antara masyarakat, dunia usaha, dan
pemerintah. Di antara berbagai butir penting lainnya dalam deklarasi konferensi
tersebut adalah bahwa semua penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan secara
transparan dan akuntabel; serta harus menjamin independensi, integritas, dan
depolitisasi sistem peradilan sebagai bagian penting dari tegaknya hukum yang
akan menjadi tumpuan dari semua upaya pemberantasan korupsi yang efektif.
Sementara itu, banyak pakar dan pengamat ekonomi dan
politik serta para tokoh masyarakat Indonesia dan internasional baik melalui
media massa maupun pada forum-forum lainnya, menyatakan bahwa dibanding korupsi
yang terjadi diberbagai negara lain, fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia
sudah menjadi penyakit yang kronis dan sulit disembuhkan; korupsi telah menjadi
sesuatu yang sistemik: sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dengan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dikatakan bahwa pemerintahan
justru akan hancur apabila korupsi diberantas. Struktur pemerintahan yang
dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan
akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan.
Berbagai lembaga atau organisasi di luar negeri baik
swasta maupun pemerintah juga berpendapat bahwa fenomena korupsi di Indonesia
sudah sangat parah. Hal ini ditunjukkan antara lain dari berbagai hasil survei
atau penelitian yang mereka lakukan dan dibandingkan dengan kondisi di berbagai
negara lainnya, antara lain seperti hasil penelitian dari PERC (Political
and Economic Risk Consultancy, 2000) yang menempatkan Indonesia sebagai
negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91
untuk korupsi, dan 9,09 untuk kroniisme diantara negara-negara Asia, dengan
skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.
Hasil penelitian tersebut, menempatkan Indonesia pada peringkat bawah atau
tergolong pada negara dengan tingkat korupsi yang sangat parah. Selain itu,
menurut penelitian tersebut, masalah korupsi juga terkait erat dengan
birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk. Di
tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yaitu kisaran skor nol untuk terbaik
dan 10 untuk yang terburuk) yang berarti jauh dibawah rata-rata kualitas
birokrasi di negara-negara Asia. Terpuruknya Indonesia dalam kategori korupsi
dan birokrasi, juga dilengkapi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PERC
(2001) dan Price Water House Cooper (2001) tentang ranking negara-negara
Asia dalam implementasi good governance. Indonesia menempati
ranking/urutan ke 89 dari 91 negara yang disurvei; dan dari sisi competitiveness
Indonesia menempati urutan ke-49 dari 49 negara yang diteliti. Terlepas dari
berbagai paramater yang mungkin bisa diperdebatkan, hasil-hasil penelitian
tersebut harus kita perhatikan untuk mengantisipasi pembesaran dampaknya.
Berbagai fenomena dan sejarah perkembangan korupsi di
Indonesia tersebut menunjukkan adanya kaitan erat antara KKN dengan perilaku
kekuasaan dan birokrasi yang melakukan penyimpangan.
USAHA PEMBERANTANSAN KKN
Upaya pemberantasan
korupsi yang selama lebih dari 40 tahun telah dilakukan, baik pada era Orde
Lama dan Orde Baru, maupun pada era reformasi sekarang ini, belum menunjukkan
hasil seperti yang kita harapkan. KKN yang merupakan penyakit kronis Orde Baru,
berkembang menjadi neo-KKN di orde transisi sekarang ini. Sebenarnya
pemberantasan KKN telah menjadi agenda utama gerakan reformasi yang bergulir
sejak tahun 1998. Beberapa perangkat hukum yang mengatur soal pemberantasan KKN
dan menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan bertanggungjawab yang
ditetapkan sejak tahun 1998 antara lain adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi
adalah antara lain Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsmen
Nasional, sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim
Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsmen Nasional; PP Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah; PP
Nomor 56 Tahun 2000 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; PP
Nomor 274 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah; dan Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 yang intinya menumbuhkan kesadaran bahwa
tertib sosial, ketenangan dan ketentraman hidup bersama hanya dapat diwujudkan
dengan ketaatan pada hukum dan berpihak pada keadilan.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat pada Sidang Istimewa tahun 1998, telah mengeluarkan
Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penye-lenggara Negara yang Bersih dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan tersebut antara lain menyatakan bahwa
upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas dengan melaksanakan
secara konsisten Undang Undang Tindak Pidana Korupsi. Upaya pemberantasan
korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun
juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun
pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Suharto dengan tetap
memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia. Untuk
mencegah praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme, ditentukan pula bahwa
seseorang yang menjabat suatu jabatan negara harus bersumpah sesuai dengan
agamanya dan harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan
setelah menjabat oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara.
Sebagai pelaksanaan
ketetapan MPR tersebut, di samping dibentuk Undang-undang baru, juga dilakukan
pembaharuan atas Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 1971.
Undang-Undang baru yang dibentuk adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang disahkan tanggal 18
Mei 1999. Undang-Undang ini antara lain menentukan pula kewajiban setiap
penyelenggara negara untuk (1) mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan
agamanya sebelum memangku jabatannya; (2) bersedia diperiksa kekayaannya
sebelum, selama, dan setelah menjabat; (3) melaporkan dan mengumumkan
kekayaannya sebelum dan setelah menjabat; (4) tidak melakukan KKN; (5)
melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan; (6)
melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan
perbuatan tercela; dan (7) bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN, serta
dalam perkara lainnya.
Selanjutnya
Undang-Undang tersebut menjelaskan maksud dari penyelenggara negara yang bersih
yaitu adalah penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan
negara dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan
tercela lainnya. Asas-asas umum penyelenggaraan negara dimaksud meliputi (1)
Asas Kepastian hukum; (2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; (3) Asas
Kepentingan Umum; (4) Asas Keterbukaan; (5) Asas Proporsionalitas; (6) Asas
profesionalitas; dan (7) Asas Akuntabilitas.
Kemudian untuk
mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN, Presiden selaku
Kepala Negara berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 127 tahun 1999 membentuk
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara, sebagai lembaga independen yang dalam
pelaksanaan tugasnya bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Keanggotaan komisi ini terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat;
dan terdiri dari Sub Komisi eksekutif, legislatif, yudikatif dan BUMN/BUMD.
Hasil-hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa disampaikan kepada Presiden, DPR, dan
Badan Pemeriksa Keuangan. Khusus hasil-hasil pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat
di lingkungan yudikatif juga disampaikan kepada Mahkamah Agung. Pengangkatan
dan pemberhentian anggota Komisi ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah
mendapat persetujuan DPR, untuk masa jabatan 5 tahun.
Selain itu untuk
memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi, maka Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini secara tegas menuangkan
keinginan untuk memberantas praktik korupsi; antara lain dengan dimuatnya
secara lebih tegas tentang unsur suap, dan juga tentang tindak pidana suap lain
yang disebut sebagai gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan, kewajiban, dan
tugas.
Dalam Undang-Undang
tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian
dalam arti yang luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Pemberian tersebut, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan mempergunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik. Dengan pencantuman gratifikasi tersebut, makin jelasl bahwa
berbagai fasilitas yang selama ini diragukan sebagai suatu pelanggaran atau
penyelewengan menjadi jelas, yaitu semua itu termasuk kategori suap yang dapat
diusut.
Pemahaman tentang
gratifikasi menjadi makin penting mengingat perkembangan saat ini menunjukkan
makin banyaknya pejabat publik yang tidak berasal dari karir birokrasi dan
beberapa birokrat muda yang kurang memiliki pengalaman penyelenggaraan aturan
disiplin sebagai pegawai negeri..
Dalam suatu negara
hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih adalah merupakan salah satu
kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan tugas pemerintahan umum dan
pembangunan di berbagai bidang. Yang dimaksud dengan supremasi hukum adalah
keberadaan hukum yang dibentuk melalui proses yang demokratis dan merupakan
landasan berpijak bagi seluruh penyelenggara negara dan masyarakat dalam arti
luas, sehingga pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dapat berjalan sesuai
aturan yang telah ditetapkan. Sedangkan pemerintahan yang bersih adalah
pemerintahan yang bebas dari praktek KKN dan perbuatan tercela lainnya. Dengan
demikian, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh
partisipasi masyarakat dan atau lembaga kemasyarakatan untuk melakukan fungsi
kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan merupakan salah
satu upaya reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan good governance.
Kondisi saat ini,
memperlihatkan bahwa pembahasan mengenai masalah penyelewengan kekuasaan atau
kewenangan yang berbentuk korupsi, kolusi dan nepotisme, meskipun cukup
komprehensif dan disertai peraturan perundang-undangan yang lengkap dan bagus
sebagaimana diuraikan secara singkat di atas, namun belum nampak dilakukan
penanganan yang serius oleh pemerintah. Selain itu, belum berhasilnya
pemberantasan korupsi meskipun sudah ada perangkat hukum yang bagus dan
dilengkapi dengan berbagai lembaga penangkal korupsi yang juga cukup banyak
seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pengawasan Fungsional -- BPKP, Bawasda,
Inspektorat --, Pengawasan Melekat (Waskat), dan Pengawasan Masyarakat (Wasmas),
disebabkan antara lain belum adanya persamaan persepsi antara penegak hukum
dalam memahami dan melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut, dan
belum mantapnya penyelenggaraan fungsi lembaga-lembaga penangkal korupsi.
Sesungguhnya kondisi
yang mendukung upaya untuk mencari solusi yang tuntas terhadap masalah besar
ini telah tersedia, yaitu tingkat kritis masyarakat yang tidak lagi tabu untuk
membuka borok penyelewengan atau KKN. Transparansi semakin menjadi tuntutan
yang tidak bisa ditawar, masyarakat semakin tergugah untuk menuntut keadilan
dan kebenaran. Masyarakat semakin memiliki keberanian untuk mengungkapkan
masalah-masalah yang semula hanya menjadi bahan gunjingan.
Namun demikian, dalam
keadaan masih lemahnya tradisi atau budaya disiplin dan patuh hukum dari
penyelenggara negara termasuk penegak hukumnya dan masyarakat, dan selama hukum
kita belum dapat benar-benar melindungi semua orang secara adil, selama hukum
masih bisa dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa atau kelompoknya atau
yang mampu dan bersedia membayar, maka reformasi birokrasi akan berjalan
timpang dan sulit untuk mewujudkan good governance yang kita
cita-citakan.
REFORMASI BIROKRASI
Salah satu faktor dan
aktor utama yang turut berperan dalam perwujudan pemerintah yang bersih (clean
government) dan kepe-merintahan yang baik (good governance) adalah
birokrasi. Dalam posisi dan perannya yang demikian penting dalam pengelolaan
kebijakan dan pelayanan publik, birokrasi sangat menentukan efisiensi dan
kualitas pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Undang-undang telah ditetapkan
oleh DPR dan diundangkan oleh pemerintah, dan berbagai kebijakan publik yang
dituangkan dalam berbagai aturan perundang-undangan yang dikembangkan dalam
rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan tersebut, akan dapat dikelola
secara efektif oleh pemerintah apabila terdapat “birokrasi yang sehat dan
kuat”, yaitu ‘birokrasi yang solid, sederhana, profesional, netral, terbuka,
demokratis, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat, negara, dan tanah air; dalam
mengemban misi perjuangan bangsa dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan
bernegara”.
Birokrasi sesuai
dengan kedudukannya dalam sistem administrasi negara (baca: dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan bangsa), dan sesuai pula
dengan sifat dan lingkup peker-jaannya, akan menguasai pengetahuan dan
informasi, serta dukungan sumber daya yang tidak dimiliki pihak lain. Dengan
posisi dan kemampuan sangat besar yang dimilikinya tersebut, birokrasi bukan
saja mempunyai akses yang kuat untuk membuat kebijakan yang tepat secara
teknis, tetapi juga yang mendapat dukungan politus yang kuat dari masyarakat dan
dunia usaha. Birokrasi memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanakan,
dan pengawasan berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya.
Dalam posisi yang stratejik seperti itu, adalah logis apabila pada setiap
perkembangan politik, selalu terdapat kemungkinan dan upaya menarik birokrasi
pada partai tertentu; birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai atau pun
mempertahankan kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak penguasa. Kalau
perilaku birokrasi berkembang dalam pengaruh politik seperti itu dan menjadi
tidak netral, maka birokrasi yang seharusnya mengemban misi menegakkan
“kualitas, efisiensi, dan efektivitas pelayanan secara netral dan optimal
kepada masyarakat”, besar kemungkinan akan berorientasi pada kepentingan partai
atau partai-partai; sehingga terjadi pergeseran keberpihakan dari “kepentingan
publik” ke pada “pengabdian pada pihak penguasa atau partai-partai yang
berkuasa”. Dalam kondisi seperti itu, KKN akan tumbuh dan birokrasi kehilangan
jati dirinya, dari “pengemban misi perjuangan negara bangsa, menjadi partisan
kelompok kepentingan yang sempit”.
“Birokrasi yang
sakit” seperti itu akan menjadi corong dan memberikan kontribusi pada penguasa.
Semangat keberpihakannya banyak diarahkan pada kepentingan segelintir orang
atau pun kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat; bekerja dengan lamban,
tidak akurat, berbelit-belit, dan sudah barang tentu tidak efisien serta
memberatkan masyarakat. Sebaliknya, birokrasi yang terlalu kuat dengan
kemampuan profesional yang tinggi tapi tanpa etika dan integritas pengabdian,
akan cendrung menjadi tidak konsisten, bahkan arogan, sulit dikontrol,
masyarakat menjadi serba tergantung pada birokrasi. Dalam perkembangan
birokrasi seperti ini, juga akan memberikan dampak negatif bagi pengembangan
inisiatif masyarakat, dan sudah barang tentu tidak efisien serta sangat
memberatkan masyarakat. Namun pada sisi yang berseberangan hal tersebut telah
sangat menguntungkan pihak-pihak tertentu yang jum-lahnya sangat sedikit bila
dibandingkan dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Sejarah Indonesia
Merdeka menunjukan, birokrasi yang tidak netral telah turut membawa Indonesia
pada kekacauan politik; dan birokrasi yang tidak netral selalu tumbuh bersama
dengan kekuatan dan kepentingan politik atau golongan tertentu, selalu terjebak
dalam godaan KKN, dan akhirnyajuga membawa negara kita pada kehancuran ekonomi.
Hal semacam itu telah terjadi pada setiap “rezim pemerintahan”; dengan akibat
dan dampak yang serupa berupa kelemahan bangunan kelembagaan hukum, dan kehancuran
kehidupan ekonomi, politik, dan sosial
Reformasi birokrasi
yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi yang
rasional dengan pendekatan struktural-hirarkikal (tradisi weberian).
Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam
pendayagunaan aparatur negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan
pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan
produktivitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horisontal yang seimbang,
diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya,
disertai tata kerja yang legal formal, dan pengawasan yang ketat dalam
pelaksanaannya. Sebab itu, dalam pertumbuhannya, birokrasi di Indonesia berkembang
secara vertikal linear, dalam arti “arah kebijakan dan perintah dari
atas ke bawah, dan pertanggungjawaban berjalan dari bawah ke atas”; dan
koordinasi yang umumnya dilakukan secara formal sulit dilakukan. Selain itu,
birokrasi Indonesia juga diwarnai dengan pendekatan struktural-kultutral dengan
pengaruh budaya feodalistis yang besar, yang ditandai pula dengan arogansi
kekuasaan, sehingga merupakan lahan subur bagi tumbuhnya KKN. Dalam kondisi
seperti itu akan sulit bagi Indonesia untuk menghadirkan good governance,
birokrasinya masih ditandai dengan budaya politik “feodalistik”, tidak
mengindahkan etika professionaliseme, berkembangnya neo-KKN, dan bekerja bukan
untuk kepentingan masyarakat sebagaimana dicanangkan dalam agenda refor-masi
birokrasi yang terarah pada perwujudan good governance dan clean
government, serta sebagai salah satu pelaksanaan amanat pembukaan UUD 1945.
Berbagai
fenomena di atas mengungkapkan perlunya pelaksanaan reformasi birokrasi secara
menyeluruh dan sistematis sebagai bagian dari pembangunan Sistem Administrasi
Negara Kesatuan, Republik Indonesia (SANKRI) yang harus dengan sadar
dikembangkan sebagai “wahana perjuangan bangsa dalam mengemban cita-cita dan
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Struktur dan perilaku
birokrasi yang interdependen dengan faktor-faktor internal (“struktur dan
saling hubungan organisasional yang kompleks”) dan eksternal (“berbagai
organisasi yang berkembang dalam masyarakat”), membutuhkan pendekatan
administrasi negara yang menempatkan lembaga-lembaga pemerintahan negara
termasuk birokrasi di dalamnya dalam kedudukan yang setara dengan unsur lainnya
dalam bermasyrakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam
konteks SANKRI, reformasi birokrasi yang dilakukan harus mencakup keseluruhan
unsur sistem dan perilaku birokrasi, dan langkah-langkah yang dilakukan harus
sejalan dengan tantangan lingkungan stratejik dan cepatnya perubahan zaman yang
dihadapi. Tuntutan akan reformasi birokrasi yang berfokus pada peningkatan
“daya guna, hasil guna, bersih, dan bertanggung jawab, serta bebas KKN”
mengandung makna perlunya langkah-langkah pendayagunaan bukan saja (a) terhadap
sistem birokrasi dan birokrat, tetapi juga (b) langkah-langkah serupa pada
berbagai institusi dan individu di luar birokrasi, baik publik maupun private,
termasuk lembaga-lembaga negara dan berbagai lembaga yang berkembang dalam
masyarakat, beserta segenap person-nelnya; dan (c) semuanya itu dilakukan
secara sinergis dengan semangat “mengemban perjuangan yang diamanatkan
konstitusi”, dan mengin-dahkan prinsip-prinsip kepeme-rintahan yang baik.
Sebagaimana
telah diungkapkan di atas, “administrasi negara” adalah “administrasi” mengenai
“negara”; yang dalam konteks NKRI disebut SANKRI. Sebagaimana sistem lainnya,
pada SANKRI terdapat unsur-unsur sistemik berikut, (a) tata nilai, yang
melandasi dan menjadi acuan perilaku terhadap sistem dan proses birokrasi, (b)
struktur (tatanan kelembagaan negara dan masyarakat pada setiap satuan
wilayah), (c) proses [manajemen dalam keseluruhan fungsinya, dalam dina-mika
kegiatan dan entitas publik dan private (business and society)], dengan
tujuan tertentu; dan (d) sumber daya aparatur yang berada pada struktur dengan
posisi, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu yang berperan menerjemahkan
dan mendukung proses sehingga mencapai kinerja tertentu.
Reformasi
birokrasi dalam skim “pembangunan sistem administrasi negara” mengacu dan
berpedoman pada amanat konstitusi negara kita. Hal itu berarti kita harus pertama-tama
adalah mencermati berbagai unsur sistem dari administrasi mau pun negara, dan
posisi serta interakasi antar keduanya, kemudian mengidentifikasi
berbagai kelemahan yang pokok-pokonya telah dikemukakan di atas, selanjutnya
menyusun strategi dan program aksi yang terarah pada pencapaian sasaran optimal
yang hendak dicapai serta penilaian kinerja secara objetif rasional.
(a)
Transformasi nilai. Tata
nilai dalam suatu sistem berperan melandasi, memberikan
acuan, menjadi pedoman perilaku, dan menghikmati eksistensi dan dinamika
unsur-unsur lainnya dalam sistem administrasi negara termasuk birokrasi.
Reformasi birokrasi yang hendak dilakukan pertama-tama harus menjaga
konsistensinya dengan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi
negara yang menjadi dasar eksistensi dan acuan perilaku sistem dan proses
administrasi negara bangsa ini. Reformasi birokrasi harus merefleksikan
transformasi nilai. Dasar kegitimasi eksistensi setiap individu dan institusi
di negeri ini adalah kompetensi dan kontribussinya masing-masing dalam
meng-aktualisasikan dan mewujudkan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam
konstitusi kita.
Dalam
pembukaan UUD 1945 terkandung dimensi-dimensi nilai yang merupakan pesan
peradaban dan kemanusiaan yang sangat luhur dan mendasar, hakiki dan universal;
yang seharusnya menghikmati, melandasi, memberi acuan, dan menggariskan tujuan
NKRI. Semua itu merupakan dimensi-dimensi nilai sistem administrasi negara kita
yang merupakan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa, yang harus
diwujudkan dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
dan dalam hubungan antar bangsa; sebagai acuan pokok dalam pengembangan “visi,
misi, dan strategi” dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa
dewasa ini dan di masa datang. Secara keseluruhan dimensi-dimensi nilai
tersebut terdiri dari dimensi spiritual, berupa pengakuan terhadap
kemahakekuasaan dan curahan rahmat Allah SWT dalam perjuangan bangsa (pada
alinea tiga); dimensi kultural, berupa landasan falsafah negara yaitu
Pancasila; dan dimensi institusional, berupa cita-cita (alinea dua) dan
tujuan bernegara, serta nilai-nilai yang terkandung dalam bentuk negara dan
sistem penyelenggaraan pemerintahan negara (alinea empat).
Berbagai
dimensi institusional itu pada intinya menggariskan bahwa Indonesia adalah
negara bangsa, negara kesatuan, negara hukum, dan negara demokrasi, negara yang
bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat bangsa di seluruh
wilayah negara bahkan di seluruh belahan dunia, dengan segala kandungan makna
dan implikasinya dalam sistem dan proses penyelenggaraan pemerintahan negara
termasuk yang dewasa ini dikenal sebagai nilai dan prinsip kepemerintahan yang
baik (good governance).
Konstitusi
negara kita menegaskan bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang
demokrastis, berbentuk negara kesatuan dengan sistem dan proses kebijakan yang
mengakomodasikan peran masyarakat yang luas (terbuka, partisipatif, dan akuntabel).
Pengambilan keputusan politik yang strategis dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan, itu dilakukan bersama secara musyawarah dan
mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan [MPR; DPR(D)] sebagai representasi
rakyat bangsa dari dan di seluruh wilayah negara yang terbagi atas daerah besar
(provinsi) dan kecil (Kabupaten/Kota, dan Desa) dengan kewenangan-kewenangan
otonomi tertentu. Berbagai kebijakan pemerintahan tersebut kemudian dituangkan
dalam peraturan perundangan tertentu (Ketetapan MPR, UU, PP, Perpu, Keppres,
dan Perda). Undang-Undang, PP dan Perda tentang substansi masalah publik
tertentu ditetapkan pemerintah setelah mendapatkan persetujuan DPR(D) dan
pelaksanaannya harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebagai
kebijakan yang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan
bangsa untuk mencapai tujuan bernegara, keseluruhannya harus terjaga keserasian
dan keterpaduannya satu sama lain. Dari sini kita melihat dimensi penting
lainnya yang terkandung dalam dimensi-dimensi nilai tersebut yaitu “kepastian
hukum, demokrasi, kebersamaan, partisipasi, keterbukaan, desentralisasi
kewenangan serta pengawasan dan pertanggungjawaban”.
Dalam hubungan itu, KKN tidah hanya mengandung pengertian penyalahgunaan
kekuasaan ataupun kewe-nangan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan asset
negara, tetapi juga setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi
nilai publik, baik tidak sengaja atau pun terpaksa.
Semua
itu menunjukkan komitmen kuat dari konstitusi negara kita terhadap nilai dan
prinsip kepemerintahan atau manajemen pemerintahan yang baik (good
governance), suatu pemerintahan yang amanah, yang harus diwujudkan dalam
penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, di pusat dan daerah. Sebagaimana
kita ketahui, nilai dan prinsip dasar yang menandai good governance
secara universal antara lain adalah kepastian hukum, transparansi, partisipasi,
profesionalitas, dan pertanggungjawaban (akuntabilitas); yang dalam konteks
nasional perlu ditambahkan dengan nilai dan prinsip daya guna, hasil guna,
bersih (clean government), desentralisasi, kebijakan yang serasi dan
tepat, serta daya saing.
Dimensi-dimensi
nilai itu pulalah yang harus kita aktualisasikan dalam dan melalui reformasi
birokrasi dalam berbagai aspeknya, dengan penyusunan visi, misi, dan strategi
yang tepat dan efektip. Hal itu juga mengindikasikan diperlukannya suatu “grand
strategy” dalam penataan birokrasi secara sistemik, yang mempertimbangkan
bukan saja keseluruhan kondisi internal birokrasi tetapi juga permasalahan dan
tantangan stratejik yang dihadapkan lingkungannya. Dalam konteks perubahan
internal tersebut, reformasi birokrasi perlu diarahkanan pada (1) penyesuaian
visi, misi, dan strategi, (2) perampingan organisasi dan penyederhanaan tata
kerja, (3) pemantapan sistem manajemen, dan (4) peningkatan kompetensi sumber
daya manusia; secara keseluruhan semua itu disesuaikan dengan dimensi-dimensi
nilai SANKRI, dan tantangan lingkungan stratejik yang dihadapi.
Birokrasi
Pemerintah Pusat dan Daerah perlu memiliki visi, misi, strategi, agenda
kebijakan, kompetensi, dan komitmen pembangunan dan pelayanan yang jelas
dilandasi dimensi-dimensi nilai SANKRI dan tegas terfokus pada permasalahan
yang mendesak perlu di atasi, dan terarah pada perwujudan cita-cita dan tujuan
bangsa bernegara. Dengan visi, misi, strategi yang didasarkan pada yang
berorientasi pada penerapan nilai-nilai sebagaimana diamanatkan para founding
fathers negara bangsa ini, disertai kompetensi dan komitmen yang kuat dalam
keseluruhan tatanan organisasinya yang tersusun secara tepat disertai
pelimpahan kewenangan yang seimbang, birokrasi dapat diharapkan akan dmampu
encapai kinerja yang optimal dalam menghadapi berbagai permasalahan dan
tantangan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa.
(2) Penataan Organisasi dan Tata Kerja. Penataan
organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi,
sasaran, strategi, agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang
terencana; dan diarahkan pada terbangunnya sosok birokrasi yang ramping,
desentralistik, efisien, efektif, berpertanggung jawaban, terbuka, dan aksesif;
serta terjalin dengan jelas satu sama lain sebagai satu kesatuan birokrasi
nasional dalam SANKRI. Seiring dengan itu, penyederhanaan tata kerja dalam
hubungan intra dan antar aparatur, serta antara aparatur dengan masyarakat
dikembangkan terarah pada penerapan pelayanan prima, dan mendorong peningkatan
produktivitas kegiatan pelayanan aparatur dan masyarakat.
(3) Pemantapan Sistem Manajemen. Dengan makin
meningkatnya dinamika masyarakat dalam penyelengaraan negara dan pembangunan
bangsa, pengembangan sistem manajemen pemerintahan diprioritaskan pada
revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan dan pelayanan
publik yang kondusif, transparan, impersonal, dan akuntabel, disertai dukungan
sistem informatika yang sudah terarah pada pengembangan e-administration atau
e-government. Peran birokrasi lebih difokuskan sebagai agen pembaharuan,
sebagai motivator dan fasilitator bagi tumbuh dan berkembangnya swakarsa dan
swadaya serta meningkatnya kompetensi masyarakat dan dunia usaha. Dengan
demikian, dunia usaha dan masyarakat dapat menjadi bagian dari masyarakat yang
terus belajar (learning community), mengacu kepada terwujudnya
masyarakat maju, mandiri, dan berdaya saing tinggi.
(4) Peningkatan Kompetensi SDM Aparatur. Sosok aparatur
masa depan penampilannya harus profesional sekaligus taat hukum, netral,
rasional, demokratik, inovatif, mandiri, memiliki integritas yang tinggi serta
menjunjung tinggi etika administrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Peningkatan profesionalisme aparatur harus ditunjang dengan
integritas yang tinggi, dengan mengupayakan terlembagakannya karakteristik
sebagai berikut: (a) mempunyai komitmen yang tinggi terhadap perjuangan
mencapai cita-cita dan tujuan bernegara, (b) memiliki kompetensi yang
dipersyaratkan dalam mengemban tugas pengelolaan pelayanan dan kebijakan
publik, (c) berkemamapuan melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif, dan
inovatif, (d) disiplin dalam bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional,
(e) memiliki daya tanggap dan sikap bertanggung gugat (akuntabilitas), (f)
memiliki derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab dalam membuat dan
melaksanakan berbagai keputusan sesuai kewenangan, dan (g) memaksimalkan
efisiensi, kualitas, dan produktivitas. Selain itu perlu pula diperhatikan
reward system yang kondusif, baik dalam bentuk gajih mau pun perkembangan
karier yang didasarkan atas sistem merit. Mengantisipasi tantangan global,
pembinaan sumber daya manusia aparatur negara juga perlu mengacu pada standar
kompetensi internasional (world class).
Dalam pada itu, untuk mengaktualisasikan potensi
masyarakat, dan untuk mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi
bangsa, perlu dijamin perkembangnya kreativitas dan oto-aktivitas masyarakat
bangsa yang terarah pada pemberdayaan, peningkatan kesejahteraan masyarakat,
serta ketahanan dan daya saing perekonomian bangsa. Dalam pengembangan
keseluruhan starategi tersebut, reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan
negara dan pembangunan baik di pusat maupun di daerah-daerah, perlu
memperhatikan prinsip-prinsip berikut.
Pertama, demokrasi dan pemberdayaan. Hidupnya
demokrasi dalam suatu negara bangsa, dicerminkan oleh adanya pengakuan dan
penghormatan negara dan penyelenggara dan aparatur negara atas hak dan
kewajiban warga negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan
mengekspresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggung jawabnya dalam
penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa. Demokrasi tidak hanya mempunyai
makna dan berisikan kebebasan, tetapi juga tanggung jawab; demokrasi
sesungguhnya keariefan dalam memikul tanggung jawab dalam mewujudkan tujuan
bersama, yang dilakukan secara berkeadaban. Dalam rangka itu, birokrasi dalam
mengemban tugas pemerintahan dan pembangunan, tidak harus berupaya melakukan
sendiri, tetapi mengarahkan ("steering rather than rowing"),
atau memilih kombinasi yang optimal antara steering dan rowing
apabila langkah tersebut merupakan cara terbaik untuk mencapai kesejahteraan
sosial yang maksimal. Yang jelas sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh
masyarakat, tidak perlu dilakukan lagi oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau
sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus dimampukan atau
diberdayakan (empowered). Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada
masyarakat lapisan bawah di dalam keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan
pembangunan.
Dalam rangka memberdayakan masyarakat dalam memikul
tanggung jawab pembangunan, peran pemerintah dapat direinveting antara
lain melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan
partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang berbagai
kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan (c) pengembangan program untuk lebih
mening-katkan keamampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan
aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang
tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi guna meningkatkan kesejahteraan
mereka.
Kedua, pelayanan. Upaya pemberdayaan memerlukan
semangat untuk melayani masyarakat ("a spirit of public services"),
dan menjadi mitra masyarakat ("partner of society"); atau
melakukan kerja sama dengan masyarakat ("co production, atau partnership”).
Hal tersebut memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan
melalui pembudayaan kode etik ("code of ethical conducts")
yang didasarkan pada dukungan lingkungan ("enabling strategy")
yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan
dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat maupun di
daerah-daerah.
Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang
mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang
dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan
dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah,
bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit",
"terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang".
Makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara,
yang esensinya "melayani publik", harus benar-benar dihayati para
penyelenggara pemerintahan negara.
Ketiga, transparansi. Dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya, di samping mematuhi kode etik, aparatur dan sistem manajemen publik
harus mengembangkan keterbukaaan dan sistem akuntabilitas, serta bersikap
terbuka untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di
dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik dimaksud, serta
dapat menjadikan diri mereka sebagai panutan masyarakat sebagai bagian dari
pelaksanaan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara.
Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha,
peningkatan partisipasi dan kemitraan, selain (1) memerlukan keterbukaan
birokrasi pemerintah, juga (2) memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam
mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan otoaktivitas
mereka, serta (3) memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperanserta
dalam proses penyusu-nan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
pembangunan. Pemberdayaan dan keterbukaan akan lebih mendorong akuntabilitas
dalam pemanfaatan sumber daya, dan adanya keputusan-keputusan pembangunan yang
benar-benar diarahkan sesuai prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta
dilakukan secara riil dan adil sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Keempat, partisipasi. Masyarakat diikutsertakan dalam
proses menghasil-kan public good and services dengan mengembangkan pola
kemitraan dan kebersamaan, dan bukan semata-mata dilayani. Untuk itulah
kemampuan masyarakat harus diperkuat ("empowering rather than serving"),
kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan kesempatan masyarakat untuk
berpartisipasi ditingkatkan.
Konsep pemberdayaan ("empowerment") juga
selalu dikaitkan dengan pendekatan partisipasi dan kemitraan dalam manajemen
pembangunan, dan memberikan penekanan pada desentralisasi dalam proses
pengambilan keputusan agar diperoleh hasil yang diharapkan dengan cara yang
paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam hubungan ini
perlu dicatat pentingnya peranan keswadayaan masyarakat, dan menekankan bahwa
fokus pembangunan yang hakiki adalah peningkatan kapasitas perorangan dan
kelembagaan ("capacity building"). Jangan diabaikan pula
penyebaran informasi mengenai berbagai potensi dan peluang pembangunan
nasional, regional, dan global yang terbuka bagi daerah; serta privatisasi
dalam pengelolaan usaha-usaha negara.
Kelima, kemitraan. Dalam membangun masyarakat yang
modern di mana dunia usaha menjadi ujung tombaknya, terwujudnya kemitraan, dan
modernisasi dunia usaha terutama usaha kecil dan menengah yang terarah pada
peningkatan mutu dan efisiensi serta produktivitas usaha amat penting,
khususnya dalam pengembangan dan penguasaan teknologi dan manajemen produksi,
pemasaran, dan informasi.
Dalam upaya mengembangkan kemitraan dunia usaha yang
saling meng-untungkan antara usaha besar, menengah, dan kecil, peranan
pemerintah ditujukan ke arah pertumbuhan yang serasi. Pemerintah berperan dalam
menciptakan iklim usaha dan kondisi lingkungan bisnis, melalui berbagai
kebijaksanaan dan perangkat perundang-undangan yang mendorong terjadinya
kemitraan antarskala usaha besar, menengah, dan kecil dalam produksi dan
pemasaran barang dan jasa, dan dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan
lainnya, serta pengintegrasian usaha kecil ke dalam sektor modern dalam ekonomi
nasional, serta mendorong proses pertumbuhannya. Dalam proses tersebut adanya kepastian
hukum sangat diperlukan.
Keenam, desentralisasi. Desentralisasi merupakan wujud
nyata dari otonomi daerah, merupakan amanat konstitusi, dan tuntutan
demokratisasi dan globalisasi. Dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah,
otonomi dilaksanakan dengan pelimpahan kewenangan yang luas kepada daerah
Kabupaten/Kota, dan Daerah Provinsi berperan lebih banyak dalam pelaksanaan
tugas dekonsentrasi, termasuk urusan lintas Kabupaten/Kodya yang memerlukan
penyelesaian secara terkoordinasi. Penguatan kelembagaan sangat diperlukan
dalam mewujudkan format otonomi daerah yang baru tersebut, termasuk kemampuan
dalam proses pengambilan keputusan. Ini adalah langkah yang tepat, sebab
perubahan-perubahan yang cepat di segala bidang pembangunan menuntut pengambilan
keputusan yang tidak terpusat, tetapi tersebar sesuai dengan fungsi, dan
tangung jawab yang ada di daerah.
Karena pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah, berbagai
kewenangan yang selama ini ditangani oleh pemerintah pusat, diserahkan kepada
pemerintah daerah. Langkah-langkah serupa perlu diikuti pula oleh
organisasi-organisasi dunia usaha, khususnya perusahaan-perusahaan besar yang
berkantor pusat di Jakarta, sehingga pengambilan keputusan bisnis bisa pula
secara cepat dilakukan di daerah. Dengan kata lain desentralisasi perlu juga
dilakukan oleh organisasi-organisasi bisnis.
Perbedaan perkembangan antardaerah mempunyai implikasi yang berbeda pada
macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan
dunia usaha memerlukan (a) desentralisasi dalam pemberian perizinan, dan
efisiensi pelayanan birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia usaha di bidang
sosial ekonomi, (b) penyesuaian kebijakan pajak dan perkreditan yang lebih
nyata bagi pembangunan di kawasan-kawasan tertinggal, dan sistem perimbangan
keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengan kontribusi dan potensi
pembangu-nan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi
mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan di wilayah lainnya kepada daerah
di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah.
Ketujuh, konsistensi kebijakan, dan kepastian hukum.
Tegaknya hukum yang berkeadilan merupakan jasa pemerintahan yang terasa teramat
sulit diwujudkan, namun mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan, justru di tengah kemajemukan, merajalelanya KKN termasuk money
politics, berbagai ketidak pastian perkembangan lingkungan, dan menajamnya
persaingan. Peningkatan dan efisiensi nasional membutuhkan penyesuaian
kebijakan dan perangkat perundang-undangan, namun tidak berarti harus
mengabaikan kepastian hukum. Adanya kepastian hukum merupakan indikator
professionalisme dan syarat bagi kredibilitas pemerintahan, sebab bersifat
vital dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta dalam
pengembangan hubungan internasional. Tegaknya kepastian hukum juga mensyaratkan
kecermatan dalam penyusunan berbagai kebijakan pembangunan. Sebab berbagai
kebijakan publik tersebut pada akhirnya harus ditungkan dalam sistem
perundang-undangan untuk memiliki kekuatan huum, dan harus mengan-dung
kepastian hukum.
Wujud dari cita-cita reformasi birokrasi adalah berupa
sistem pemerintahan negara berdasarkan hukum yang merupakan perwujudan atas
nilai ketaatan atau kepatuhan sebagai warga negara dan warga masyarakat dunia.
Hukum harus ditempatkan pada tingkat yang paling tinggi, yang pada akhirnya
tidak boleh lagi menjadi subordinasi dari bidang-bidang pembangunan khususnya
ekonomi dan politik. Pembangunan hukum harus ditujukan untuk mencapai tegaknya
supremasi hukum, sehingga kepentingan ekonomi dan politik tidak dapat lagi
memanipulasi hukum sebagaimana lazim terjadi. Pembangunan hukum sebagai sarana
mewujudkan supremasi hukum, harus diartikan bahwa hukum temasuk penegakan
hukum, harus diberikan tempat yang strategis sebagai instrumen utama yang akan
mengarahkan, menjaga dan mengawasi jalannya pemerintahan. Hukum juga harus
bersifat netral dalam menyelesaikan potensi konflik dalam hidup dan kehidupan
masyarakat Indonesia yang majemuk.
Pembaharuan hukum yang terkotak-kotak (fragmentaris)
dan tambal sulam di antara lembaga pemerintahan harus dicegah. Penegakan hukum
harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi oleh konsep yang
jelas. Selain itu penegakan hukum harus benar-benar ditujukan untuk meningkatkan
jaminan dan kepastian hukum dalam masyarakat, baik di tingkat pusat maupun
daerah sehingga keadilan dan perlindungan hukum terhadap HAM benar-benar dapat
dirasakan oleh masyarakat. Untuk menjamin adanya pemerintah yang bersih (clean
government) serta kepemerintahan yang baik (good governance), maka
pelaksanaan pembangunan hukum harus memenuhi asas-asas kewajiban prosedural (fairness),
pertanggungjawaban publik (accountability) dan dapat dipenuhi kewajiban
untuk peka terhadap aspirasi masyarakat (responsibility). Untuk itu,
dukungan dari penyelenggara negara secara nyata (political will)
merupakan faktor yang menentukan terlaksananya pembangunan hukum secara
konsisten dan konsekuen. Di samping itu koordinasi yang baik antara institusi
pemerintah yang mengelola hukum dan perundangan, dengan perguruan tinggi serta
LSM dalam menyusun langkah-langkah pembenahan reformasi hukum sangat
diperlukan, utamanya dalam menyusun rancangan dasar dan strategi (grand
design) reformasi hukum yang berkesinambungan.
Dalam pada itu,
pada era globalisasi, dalam ekonomi yang makin terbuka, meskipun untuk
meningkatkan efisiensi perekonomian harus makin diarahkan kepada ekonomi pasar,
namun intervensi pemerintah harus menjamin bahwa persaingan berjalan dengan
berimbang, dan pemerataan terpelihara. Yang terutama harus dicegah terjadinya
proses kesenjangan yang makin melebar, karena kesempatan yang muncul dari
ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, atau
golongan ekonomi yang lebih maju. Peranan pemerintah makin dituntut untuk lebih
dicurahkan pada upaya pemerataan. Penyelenggara pemerintahan negara harus
mempunyai komitmen yang kuat kepada kepentingan rakyat, kepada cita-cita
keadilan sosial.
Kedelapan, akuntabilitas. Langkah lainnya yang perlu mendapatkan
perhatian dalam reformasi birokrasi adalah peningkatan akuntabilitas kinerja
birokrasi dalam setiap instansi pemerintahan. Isu akuntabilitas telah banyak
dibicarakan dan menjadi semakin hangat dalam era reformasi. Akuntabilitas yang
sebelumnya hanya terkait pada akuntabilitas keuangan dirasakan tidak dapat
memberikan rasa puas di kalangan masyarakat. Akuntabilitas yang bukan hanya
menyangkut aspek keuangan harus dapat diselenggarakan oleh seluruh instansi
pemerintahan. Dalam hubungan itu, masyarakat harus dapat memperoleh informasi
yang lengkap mengenai kegiatan instansi penyelenggara pelayanan publik melalui
laporan akuntabilitas pemerintah.
Akuntabilitas secara filosofik timbul karena adanya
kekuasaan yang berupa amanah yang diberikan kepada orang atau pihak
tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Dari
pengertian di atas tersirat bahwa pihak yang diberikan amanah harus memberikan
laporan atas tugas yang telah dipercayakan kepadanya, dengan mengungkapkan
segala sesuatu yang dilakukan, dilihat, dira-sakan yang mencerminkan
keberhasilan dan kegagalan. Dengan kata lain laporan akuntabilitas tersebut
bukan sekedar laporan kepatuhan dan kewajaran pelaksanaan tugas sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, tetapi juga termasuk berbagai indikator kinerja yang
dicapai, di samping kewajiban untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang apa
yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini si penerima amanah harus dapat
dan berani mengungkapkan dalam laporannya semua kegagalan yang terjadi
berkenaan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pihak yang lebih tinggi.
Pada dimensi lain, secara internal, dapat pula
diidentifikasi akuntabilitas spiritual seseorang. alam hubungan ini
akuntabilitas merupakan pertang-gungjawaban orang seorang kepada Tuhannya.
Akuntabilitas ini meliputi pertanggungjawaban sendiri mengenai segala sesuatu
yang dijalankannya, hanya diketahui dan difahami yang bersangkutan. Semua
tindakan akuntabilitas spiritual didasarkan pada hubungan orang bersngkutan
dengan Tuhan. Namun apabila betul-betul dilaksanakan dengan penuh iman dan
taqwa, kesadaran akan akuntabilitas spiritual ini akan memberikan pengaruh yang
sangat besar pada pencapaian kinerja kelembagaan. Itulah sebabnya mengapa
seseorang dapat melaksanakan pekerjaan dengan hasil yang berbeda dengan orang
lain, atau mengapa suatu instansi menghasilkan kuantitas dan kualitas yang
berbeda terhadap suatu pekerjaan yang sama-sama dikerjakan oleh instansi
lainnya walaupan uraian tugas pokok dan fungsinya telah nyata-nyata dijelaskan
secara rinci.
Akuntabilitas dapat pula dilihat dari sisi eksternal,
yaitu akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal
(atasan bawahan) maupun lingkungan masyarakat. Kegagalan seseorang memenuhi
akuntabilitas ekternal mencakup pemborosan waktu, pemborosan sumber dana dan
sumber-sumber daya pemerintah yang lain, kewenangan, dan kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah. Akuntabilitas eksternal lebih mudah diukur mengingat norma
dan standar yang tersedia memang sudah jelas. Kontrol dan penilaian dari faktor
ekternal sudah ada dalam mekanisme yang terbentuk dalam suatu sistem dan
prosedur kerja. Seorang atasan akan memantau pekerjaan bawahannya dan akan
memberikan teguran apabila terjadi penyimpangan. Rekan kerja akan saling
mengingatkan dalam pencapaian akuntabilitas masing-masing. Hal ini dapat
terwujud dikarenakan ada saling ketergantungan di antara mereka. Masyarakat dan
lembaga-lembaga pengontrol dan penyeimbang akan bersuara dengan lantang apabila
pelayanan yang diterimanya dari birokrasi tidak seperti yang diharapkannya.
Dengan penerapan akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah maka keberpihakan birokrasi pada kepentingan masyarakat akan menjadi
lebih besar serta dapat mempertahankan posisi netralnya. Akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah ini akan menjadi semacam sistem pengendalian intern bagi
birokrasi.
PENUTUP
Reformasi birokrasi
pemerintahan sebagai jawaban atas tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan
yang berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN
memerlukan pendekatan dan dukungan sistem administrasi negara yang mengindahkan
nilai dan prinsip-prinsip good governance, dan sumber daya manusia
aparatur negara yang memiliki integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam
menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekutif, legislatif,
mau pun yudikatif. Selain dari unsur aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan
good governance dibutuhkan juga komitmen dan konsistensi dari semua
pihak; dari dunia usaha dan masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut
adanya koordinasi yang baik, juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos
kerja dan moral yang tinggi sebagaimana dituntut terhadap birokrasi. Dalam
rangka itu, diperlukan pula “penegakan hukum yang efektif (effective law
enforcement), serta pengembangan dan penerapan sistem dan
pertanggung-jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan
berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.
Untuk dapat
meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan misi atau perannya yang sebenarnya
diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk melakukan
langkah-langkah reformasi birokrasi yang mencakup revitalisasi birokrasi
(minimalisasi dari kegiatan politik praktis) dan perbaikan cara kerja dan
berinteraksi terutama untuk pelayanan kepada masyarakat dan pemberdayaan
akuntabilitas instansi pemerintah. Untuk memperbaiki cara kerja birokrasi
diperlukan birokrasi yang berorientasi pada hasil. Di sinilah peran
akuntabilitas dalam menyatukan persepsi anggota organisasi yang beragam
sehingga menjadi kekuatan bersama untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Selanjutnya,
diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen terhadap reformasi kenegaraan
secara luas dan pilihan kebijakan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan
rakyat. Reformasi struktural diperlukan, seperti independensi sistem peradilan
dan sistem perekonomian negara, disertai upaya meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas sektor publik, dengan dukungan partisipasi masyarakat dalam
penyusunan kebijakan publik.
Untuk memberantas
korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi
kepada pelakunya (law enfordement). Disamping itu perlu dilakukan
kampanye kepada masyarakat agar korupsi dipandang sebagai penyakit sosial. Pers sebagai kontrol sosial harus diberi kebebasan mengungkap dan
memberitakan korupsi. Pengembangan budaya malu harus disertai dengan upaya
menumbuhkan budaya bersalah dalam dirinya (quilty feeling).
Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi
adalah suatu kerangka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur tangan
politik. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi
kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi syarat
pemberantasan korupsi, bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan yang
independen, didukung dengan keterbukaan dan sistem pengawasan yang efektif.
___________________
*)Guru Besar
Kebijakan Publik; mantan Kepala LAN-RI periode Juni 1998-2003; Ketua Umum
PERSADI, Sekretaris Jenderal DPP-KORPRI.
1) Administrasi negara adalah
“administrasi mengenai negara” dalam keseluruhan kompelksitas unsur dan
di-namika baik dalam unsur administrasi mau pun unsur negara, serta dalam
interaksi antar unsur tersebut (Mus-topadidjaja AR, Dimensi-Dimensi Pokok
SANKRI, 2003).
2) Lihat Hamid Basyaib, Richard Holloway,
dan Nono Anwar Makarim, Mencuri Uang Rakyat : 16 Kajian Ko-rupsi Di Indonesia”,
4 jilid; Jaka Aksara Foundation, 2003.
4) Mustopadidjaja AR, Kompetensi Aparatur
Dalam Memikul Tanggung Jawab Otonomi Daerah Dalam Sis-tem Administrasi Negara
Kesatuan RI, Ceramah Perdana Pada Program Paska Sarjana, Jakarta, STIA-LAN,
RII, 2002.
Sumber : http://kadermudabanten.blogspot.com/