Jika
boleh disebut, prestasi Komisi Pemberantasan Korupsi pada awal 2008 memang
mengagumkan. Beberapa anggota DPR diseret karena berbagai praktek suap dan
indikasi pemerasan. Demikian halnya pejabat Bank Indonesia yang menjadi
pesakitan karena kasus dana YPPI. Tapi, memasuki awal 2009, derap KPK dalam
menangani kasus korupsi kakap justru perlahan-lahan menurun. Bisa dikatakan KPK
mengalami masa paceklik. Meskipun selalu ada kasus korupsi yang ditangani KPK,
bobot kasusnya menjadi pertanyaan besar.
Yang
terbaru, KPK berhasil mengungkap kasus dugaan penggelembungan harga (markup)
dalam pembelian alat kesehatan (roentgen) di Departemen Kesehatan untuk
proyek 2007 dengan nilai kerugian negara ditaksir sebesar Rp 4,8 miliar (Koran
Tempo, 17 Februari 2009). Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan satu orang
tersangka berinisial M, yang disebut-sebut merupakan Kepala Biro Perencanaan
Departemen Kesehatan sekaligus pejabat pembuat komitmen dalam proyek tersebut.
Dilihat
dari berbagai aspek, kasus tersebut sebenarnya bukan prioritas bagi KPK. Nilai
kerugian negara yang hanya Rp 4,8 miliar sama sekali bukan dalam kategori yang
layak untuk ditangani KPK. Meskipun KPK bisa saja menangani kasus tersebut,
menjadi kian jelas kesimpulannya jika kita memasukkan parameter lain dalam
penentuan kasus korupsi yang seharusnya diproses KPK, yakni ukuran aktor dan
modus korupsi.
Dalam
kasus tersebut, aktor yang baru bisa diungkap KPK adalah pemimpin proyek.
Memang, dalam undang-undang KPK, posisi pemimpin proyek dikategorikan sebagai
penyelenggara negara yang menjadi bagian dari mandat KPK untuk menanganinya.
Tapi pemimpin proyek bukanlah aktor yang signifikan jika kita melihat masalah
utama korupsi di Indonesia yang bercorak state capture. Demikian halnya
modus markup, yang merupakan modus tradisional (kuno) dalam kasus
korupsi. Pendek kata, KPK masih berkutat pada isu korupsi birokrasi, bukan
korupsi politik.
Pertanyaannya
kemudian, apakah memang ada agenda tertentu sehingga KPK terus “memproduksi”
kasus-kasus kelas teri? Kekhawatiran yang muncul adalah jika KPK kemudian lalai
untuk mendalami, menangani, dan meneruskan proses hukum kasus korupsi kelas
kakap. Perlu dicatat bahwa hingga hari ini KPK masih memiliki pekerjaan rumah
yang belum selesai.
Pertama,
kasus Agus Condro. Kasus ini sampai sekarang tidak jelas juntrungannya. Alasan
yang dibangun KPK adalah bahwa kasus ini masih dalam tahap penyelidikan. Proses
penyelidikan dan penyidikan memang kerap menjadi senjata pamungkas untuk
menjawab pertanyaan publik atas akuntabilitas penegakan hukum.
Karena
proses itu merupakan wilayah monopoli KPK, sulit bagi masyarakat untuk
mengetahui secara lebih jauh, apakah KPK sebenarnya tengah memprosesnya atau
diam-diam mempetieskan. Sulit juga untuk menilai apakah kasus tersebut layak
ditindaklanjuti atau tidak, karena semua data pendukung dan bukti-bukti yang
ada dipegang sepenuhnya oleh KPK. Pada akhirnya, meneruskan atau tidak kasus
yang ditangani KPK menjadi sangat politis nilainya.
Jika
melihat kasus di atas, KPK seharusnya menempatkan perkara Agus Condro sebagai
prioritas untuk ditangani. Argumentasinya jelas, ini kasus yang kemungkinan
besar melibatkan aktor besar, tidak hanya pejabat BI, tapi juga politikus
Senayan sebagai penentu keputusan politik dan cukong yang menjadi donatur.
Sebagaimana kita ketahui, praktek politik uang dalam pemilihan pejabat publik
oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah masalah krusial yang menjadikan DPR sebagai
lembaga korup.
Data-data
dari PPATK yang telah diserahkan kepada KPK, berikut pengakuan Agus Condro
sendiri yang menerima cek perjalanan, kian menunjukkan bahwa dalam pemilihan
Deputi Senior Gubernur BI Miranda Goeltom ada kekuatan uang yang mempengaruhi
keputusan DPR untuk memenangkan Miranda. Sebenarnya pengakuan tersebut bukan
hanya muncul dari Agus Condro, beberapa mantan anggota DPR yang telah dipanggil
KPK juga mengakui pengakuan Agus Condro.
KPK
sendiri telah memanggil beberapa saksi kunci yang kemungkinan besar bisa
menjadi tersangka, seperti Nunung, istri calon gubernur DKI Jakarta, Adang
Daradjatun. Siapa Nunung sebenarnya, apa peran yang dimainkan dalam kasus
tersebut masih jadi misteri sampai hari ini karena lambannya proses hukum yang
diambil KPK.
Kedua,
kasus korupsi dana YPPI di BI. Meskipun KPK sudah menyeret para petinggi BI ke
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, termasuk Aulia Pohan, yang merupakan besan
Presiden Susilo Bambang Yudhyono, dan dua anggota DPR yang terlibat, bau
diskriminasi masih sangat terasa. Terutama terhadap para pihak yang
disebut-sebut oleh para terdakwa sebagai pihak yang mengetahui terjadinya kasus
tersebut, seperti Paskah Suzetta, yang kini menjabat Kepala Bappenas.
Jika
aktor yang terlibat dalam kasus korupsi dana YPPI tidak dituntaskan oleh KPK,
akan ada sebuah persepsi negatif yang timbul bahwa KPK menerapkan kebijakan
tebang pilih karena lebih condong hanya menindak pihak BI, bukan DPR. Padahal,
kalau kita melihat secara lebih jauh, pihak yang memiliki wewenang kuat untuk
menentukan terjadi atau tidaknya kasus YPPI adalah DPR. Mereka memiliki
kekuasaan untuk mengegolkan permintaan pihak BI, baik dalam kaitannya dengan penyusunan
UU BI maupun penyelesaian politik perkara BLBI.
Ketiga,
kasus BLBI, baik yang melibatkan bankir swasta maupun perbankan badan usaha
milik negara. Sebagaimana kita ketahui, Kejaksaan Agung telah kehilangan
legitimasi untuk memproses kasus dugaan korupsi dana BLBI dengan tertangkapnya
jaksa Urip Tri Gunawan karena suap. Suap itu memiliki kaitan langsung dengan
penyelesaian perkara BLBI yang tengah ditangani Kejaksaan Agung. Karena itulah,
seharusnya KPK menempatkan diri sebagai lembaga yang bisa menyelesaikan secara
hukum pelanggaran korupsi dana BLBI senilai triliunan rupiah yang sudah
bertahun-tahun tidak jelas rimbanya.
Keasyikan
KPK dalam menangani perkara-perkara kelas kejaksaan dan kepolisian telah
menyeret opini publik yang luas bahwa KPK memiliki kepentingan politik untuk
tidak melanjutkan kasus-kasus besar yang menjadi pekerjaan rumah utamanya. Apa
kepentingan politik itu semua dapat dilihat dari seluruh proses awal pemilihan
pemimpin KPK sebelumnya. Sebab, yang paling mungkin, posisi tawar kelompok
kepentingan dapat dibangun pada tahap ini.
Degradasi
peran KPK dari lembaga superbody menjadi lembaga penegak hukum
konvensional menjadi sinyal awal gagalnya penegakan hukum yang independen.
Sebagaimana kita ketahui, kelahiran KPK dimaksudkan untuk menangani perkara
korupsi besar yang memiliki hambatan politik dan hukum, bukan kasus korupsi
kecil dan sederhana, baik dari sisi aktor, nilai kerugian, maupun modus korupsi
yang terjadi.
Karena
itu, arah kebijakan penegakan hukum KPK harus diletakkan kembali kepada tujuan
utamanya. Sulit rasanya untuk memberantas korupsi tatkala lembaga yang paling
diandalkan publik justru jatuh pada ketidakberdayaan dalam menangani
kasus-kasus korupsi besar. Yang terjadi mungkin hanya riuh-rendah pemberitaan
kasus korupsi yang ditangani KPK, tapi tetap menempatkan Indonesia sebagai
negara paling korup.
Adnan
Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch