Watak negara terletak pada kehadiran
sekumpulan aturan hukum. Tak sekadar hadir, sekumpulan aturan hukum itu harus
dapat pula ditegakkan.
Karena itu, “negara tanpa hukum”
adalah kalimat kontradiktif dengan argumen bahwa situasi anarki bertentangan
dengan watak negara. Berangkat dari rentetan logika seperti ini, sering
terungkap bahwa pelanggar hukum tak akan pernah ditemukan di wilayah tanpa
hukum. Dalam wilayah tanpa hukum, segala hal tak dilarang dan, karena itu pula,
segala perilaku dan tindakan dikonstruksikan sama sebangun dengan hukum itu
sendiri.
Negara dan
Keadilan Sosial
Negara bukan wilayah tak bertuan di
mana setiap orang bebas melakukan apa saja. Negara juga bukan rimba belantara
di mana hewan terkuat saja yang bertahan. Bila ini terjadi, manusia tak butuh
negara. Dalam situasi hukum rimba, manusia akan kehilangan sisi kemanusiaannya
sebab ia mengidentikkan diri sebagai hewan buas.
Sesungguhnya yang membedakan negara
sebagai institusi dengan institusi nirnegara adalah bahwa sekumpulan aturan
hukum yang ia keluarkan harus dapat diubah jadi kekuasaan paksa fisik guna
melindungi setiap warga negara, terutama yang lemah. Ungkapan “terutama yang
lemah” sangat penting sebab dalam situasi tanpa negara, yang paling menderita
adalah pihak yang lemah, seperti perempuan, anak-anak, kelompok jompo, dan
kelompok yang secara sosial ataupun ekonomi berada di lapisan marginal-bawah.
Dalam situasi tanpa negara, saat
semua orang melawan semua orang, kelompok yang kuat secara ekonomi masih dapat
melindungi diri dengan membayar pihak lain menjalankan fungsi proteksi. Ini
mustahil dapat dilakukan kelompok lemah. Mereka harus bertahan atas kemampuan
diri sendiri dan sangat menderita.
Sangat keliru dan menjadi suatu skandal
jika ada yang menyatakan negara harus bersikap netral. Yang benar: negara harus
berpihak dan keberpihakan kepada pihak lemah ini dikenal dengan istilah
keadilan sosial. Tak satu pun negara di dunia ini yang menyangkal bahwa mandat
mewujudkan keadilan sosial tak melekat dalam dirinya. Dalam praktik, beban
mewujudkan keadilan sosial ini tentu terletak di tangan pemerintah, yang
kehadirannya meminjam wibawa dan watak negara itu.
Untuk menjalankan fungsi keadilan
sosial, negara harus punya kapasitas keuangan. Salah satu sumber mendapat
kapasitas keuangan itu adalah dengan memberi wewenang kepada negara memungut
pajak. Mustahil membayangkan suatu negara dapat melaksanakan fungsi keadilan
sosial jika tak mampu memungut pajak.
Pajak dalam konteks politik, karena
itu, harus dipahami sebagai wujud tali untaian kasih yang menghubungkan negara
dengan warganya, khususnya pihak yang lemah. Jika negara tak dapat efektif
memungut pajak, maka tali untaian kasih yang menghubungkan negara dengan warga
yang lemah juga akan terputus.
Organisasi kejahatan mafia tentu
punya kekuasaan. Biasanya diberi label sebagai kejahatan yang terorganisasi,
mafia sebagai institusi punya aturan hukum di dalamnya. Namun, mafia sebagai
institusi niscaya berbeda dengan negara. Publik tak akan mempermasalahkan jika
dalam rangka penegakan hukum dengan tujuan mewujudkan keadilan sosial, negara
menggunakan ancaman kekuatan paksa fisik yang ia miliki.
Bukankah negara satu-satunya
institusi yang punya legitimasi politik melakukan paksa fisik? Legitimasi
politik seperti ini tak dimiliki organisasi kejahatan mafia. Jika organisasi
kejahatan mafia mengancam akan menggunakan paksa fisik ketika melakukan
berbagai pungutan ekonomi, ia dianggap melakukan kejahatan dan harus berhadapan
dengan negara.
Konsekuensi
Serius
Dalam perspektif seperti ini,
istilah mafia pajak, mafia peradilan, dan mafia hukum membawa beberapa
konsekuensi sangat serius ketika dihadapkan dengan konsep negara, khususnya
untuk menjelaskan berbagai kasus di Indonesia.
Pertama, terminologi itu
menyampaikan pesan: publik tak dapat berharap banyak bahwa negara dapat efektif
menjalankan fungsi keadilan sosialnya. Seandainya dugaan triliunan rupiah
menguap dari pemalsuan laporan pajak benar adanya, berarti telah terjadi
penggerusan terhadap kapasitas keuangan negara menjalankan fungsi keadilan
sosialnya.
Seseorang tentu dapat membayangkan
manfaat yang diperoleh jika uang korupsi triliunan rupiah hasil penggelapan
pajak itu digunakan meluncurkan kebijakan penciptaan lapangan kerja bagi jutaan
warga Indonesia yang hidup tanpa memiliki pekerjaan.
Kedua, publik juga tak dapat
berharap banyak bahwa hukum akan tetap menjadi barang publik. Istilah mafia
hukum dan mafia peradilan memberi kesan bahwa hukum telah jadi barang swasta.
Itu berarti, hukum telah tunduk pada mekanisme pasar sehingga tak semua orang
mampu menyandarkan diri pada proses hukum.
Hukum sebagai barang swasta pada
dasarnya bergantung pada mekanisme jual beli. Warga yang mampu secara ekonomi
akan memperoleh “kepastian hukum”. Ringkasnya, hukum telah berpihak pada yang
kuat dan merugikan pihak yang lemah secara ekonomi. Melalui mekanisme
transaksional, aturan hukum dijungkirbalikkan hanya demi kepentingan pihak yang
kuat.
Ketiga, istilah mafia pajak, mafia
hukum, dan mafia peradilan juga menyampaikan pesan bahwa kejahatan telah
terjadi di dalam sistem. Keseluruhan istilah ini dikenal dengan nama
political-criminal nexus: terjadi baku kait antara penjahat dan orang-orang
yang menduduki institusi negara yang justru sebenarnya diharapkan melawan kejahatan
itu. Jika ini yang terjadi, sangat sukar mengatasinya.
Political-criminal nexus dapat
diibaratkan dengan kejahatan di dalam sebuah rumah yang pelakunya adalah
anggota keluarga yang bekerja sama dengan penjahat dari luar rumah. Sistem
proteksi apa pun yang dirancang dan secanggih apa pun teknologi yang digunakan,
dalam situasi seperti ini tindak kejahatan pasti akan terjadi di dalam rumah
itu.
Dalam kasus Italia bagian selatan,
misalnya, baku kait politik dengan kejahatan bersifat simbiosis. Politikus dan
pejabat negara memberi perlindungan hukum terhadap penjahat mafia. Sebaliknya,
penjahat mafia memberi bantuan dana mendukung kampanye politikus dalam
pemilihan umum. Situasi seperti ini menciptakan kesulitan besar menegakkan
hukum. Negara tetap hadir. Namun, sebagai institusi ia tak mampu melakukan
tindakan tegas melawan kejahatan.
Dalam situasi sangat parah,
political-criminal nexus menciptakan negara mafia. Konsep negara mafia ini
dipakai untuk menjelaskan suatu situasi ketika para pembuat aturan hukum
(anggota parlemen), pelaksana aturan hukum (lembaga eksekutif), serta perangkat
negara terkait penegakan hukum (lembaga yudikatif), seperti polisi, hakim,
jaksa, dan lembaga pemasyarakatan, telah menjadi pelaku kejahatan, pelanggar
hukum itu sendiri, dan bagian integral dari proses kejahatan.
Maka, tindakan sangat serius harus
segera dilakukan agar Indonesia tak bergerak ke dalam konsep negara mafia.
Salah satu titik berangkatnya adalah jujur menjawab: untuk apa negara ini kita
dirikan dan pertahankan? Jawabannya tentu sangat ideologis. Politik yang
berjalan dalam pragmatisme pasar serta transaksional bukanlah jawabannya sebab,
dalam hal ini, negara dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga pasif dan tanpa
nilai.
Makmur Keliat,
Pengajar FISIP Universitas Indonesia