Jika boleh disebut, prestasi KPK
pada awal 2008 memang mengagumkan. Beberapa anggota DPR diseret karena berbagai
praktik suap dan indikasi pemerasan. Demikian halnya sebagian pejabat BI telah
menjadi pesakitan karena kasus korupsi dana YPPI.
Tetapi, memasuki awal 2009, derap
KPK dalam menangani kasus korupsi kakap justru perlahan-lahan menurun. Bisa
dikatakan KPK mengalami masa paceklik. Meskipun selalu ada kasus korupsi yang
ditangani KPK, bobot kasusnya menjadi pertanyaan besar.
Terbaru, KPK berhasil mengungkap
kasus dugaan penggelembungan harga (markup) dalam pembelian alat
kesehatan (rontgen) di Departemen Kesehatan (Depkes) untuk proyek 2007
dengan nilai kerugian negara ditaksi Rp 4,8 miliar. Dalam kasus itu, KPK juga
telah menetapkan seorang tersangka berinisial M yang disebut-sebut merupakan
kepala Biro Perencanaan Depkes sekaligus pejabat pembuat komitmen dalam proyek
tersebut.
Bukan
Prioritas
Dilihat dari berbagai aspek, kasus
tersebut sebenarnya bukan prioritas KPK. Nilai kerugian negara yang “hanya” Rp
4,8 miliar sama sekali bukan dalam kategori yang layak untuk ditangani KPK.
Meskipun KPK bisa saja menangani kasus tersebut, menjadi kian jelas
kesimpulannya bahwa kita memasukkan parameter lain dalam penentuan kasus
korupsi yang seharusnya diproses KPK, yakni ukuran aktor dan modus korupsi.
Dalam kasus tersebut, aktor yang
baru bisa diungkap KPK adalah pimpinan proyek (pimpro). Memang, dalam UU KPK,
posisi pimpro dikategorikan sebagai penyelenggara negara yang menjadi bagian
dari mandat KPK untuk menanganinya.
Tetapi, pimpro bukanlah aktor yang
signifikan jika kita melihat masalah utama korupsi di Indonesia yang bercorak state
capture bahwa pelaku korupsinya adalah politisi dan kelompok bisnis.
Demikian halnya dengan modus markup yang merupakan modus tradisional (kuno)
dalam kasus korupsi. Pendek kata, KPK masih berkutat pada isu korupsi birokrasi,
bukan korupsi politik.
Kasus Korupsi Penting
Pertanyaannya kemudian, apakah
memang ada agenda tertentu sehingga KPK terus “memproduksi” kasus-kasus kelas
teri? Kekhawatiran yang muncul adalah jika KPK kemudian lalai untuk mendalami,
menangani, dan meneruskan proses hukum kasus korupsi kelas kakap (korupsi
politik). Perlu dicatat bahwa hingga hari ini KPK masih memiliki pekerjaan
rumah yang belum selesai.
Pertama, kasus Agus Condro. Kasus
itu sampai sekarang tidak jelas juntrungannya. Alasan yang dibangun KPK bahwa
kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Penyelidikan dan penyidikan
memang kerap menjadi senjata pemungkas untuk menjawab pertanyaan publik atas
akuntabilitas penegakan hukum.
Karena proses itu merupakan wilayah
monopoli KPK, sulit bagi masyarakat untuk mengetahui secara lebih jauh apakah
KPK sebenarnya tengah memproses atau diam-diam memetieskan. Sulit juga untuk
menilai apakah kasus tersebut layak ditindaklanjuti atau tidak. Sebab, semua
data pendukung dan bukti-bukti yang ada dipegang sepenuhnya oleh KPK. Pada
akhirnya, meneruskan atau tidak kasus yang ditangani KPK menjadi sangat politis
nilainya.
Jika melihat kasus di atas, KPK
seharusnya menempatkan perkara Agus Condro sebagai prioritas untuk ditangani.
Argumentasinya jelas, kasus itu adalah kasus yang besar kemungkinan melibatkan
aktor besar. Tidak hanya pejabat BI, tetapi juga politisi senayan sebagai
penentu kebijakan politik dan cukong yang menjadi donatur. Sebagaimana kita
ketahui, praktik politik uang dalam pemilihan pejabat publik oleh DPR adalah
masalah krusial yang menjadikan DPR sebagai lembaga korup.
Data-data dari PPATK yang telah
diserahkan ke KPK, berikut pengakuan Agus Condro yang menerima cek perjalanan,
kian menunjukan bahwa dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Gultom
ada kekuatan uang yang memeranguhi keputusan DPR untuk memenangkan Miranda.
Sebenarnya, pengakuan tersebut bukan hanya muncul dari Agus Condro. Beberapa
mantan anggota DPR yang KPK sendiri juga memanggil beberapa saksi kunci yang
besar kemungkinan bisa menjadi tersangka. Misalnya, Nunung, istri mantan calon
gubernur DKI Jakarta Adang Daradjatun. Siapa Nunung sebenarnya, apa peran yang
dimainkan dalam kasus tersebut, masih menjadi misteri hingga hari ini karena
lambannya proses hukum yang diambil KPK.
Kedua, kasus korupsi dana YPPI pada
BI. Meskipun KPK sudah menyeret para petinggi BI ke Pengadilan Tipikor,
termasuk Aulia Pohan yang merupakan besan Presiden SBY dan dua anggota DPR yang
terlibat. Tetapi, bau diskriminasi masih sangat terasa. Terutama terhadap para
pihak yang disebut-sebut para terdakwa sebagai pihak yang mengetahui terjadinya
kasus tersebut. Salah seorang di antara mereka adalah Paskah Suzetta yang kini
sebagai kepala Bappenas.
Jika aktor yang terlibat dalam kasus
korupsi dana YPPI tidak dituntaskan KPK, akan ada sebuah persepsi negatif yang
timbul bahwa KPK menerapkan kebijakan tebang pilih karena lebih condong hanya
menindak pihak BI, bukan DPR. Padahal, kalau kita melihat secara lebih jauh,
pihak yang memiliki wewenang kuat untuk menentukan terjadi atau tidaknya kasus
YPPI adalah DPR. Mereka memiliki kekuasaan untuk mengegolkan permintaan BI,
baik dalam kaitannya dengan penyusunan UU BI dan penyelesaian politik perkara
BLBI.
Ketiga, kasus BLBI, baik yang
melibatkan banker swasta maupun perbankan BUMN. Sebagaimana kita ketahui,
Kejaksaan Agung telah kehilangan legitimasi untuk memproses kasus dugaan
korupsi dana BLBI dengan tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK karena
suap. Suap itu ditengarai memiliki kaitan langsung dengan penyelesaian perkara
BLBI yang tengah ditangani Kejagung.
Karena itulah, seharusnya KPK
menempatkan diri sebagai lembaga yang bisa menyelesaikan secara hukum
pelanggaran korupsi dana BLBI senilai triliunan rupiah yang sudah
bertahun-tahun tidak jelas rimbanya.
Degradasi
Keasyikan KPK dalam menangani
perkara-perkara kelas kejaksaan dan kepolisian telah menyeret opini publik yang
luas bahwa KPK memiliki kepentingan politik untuk tidak melanjutkan kasus-kasus
besar yang menjadi PR utamanya. Apa kepentingan politik itu, semua dapat
dilihat dari seluruh proses awal pemilihan pimpinan KPK sebelumnya. Karena yang
paling mungkin, posisi tawar kelompok kepentingan dapat dibangun pada tahap
ini.
Degradasi peran KPK dari lembaga
superbodi menjadi lembaga penegak hukum konvensional merupakan sinyal awal
gagalnya penegakan hukum yang independen. Sebagaimana kita ketahui, kelahiran
KPK dimaksudkan untuk menangani perkara korupsi besar yang memiliki hambatan
politik dan hukum, bukan kasus korupsi kecil dan sederhana, baik dari sisi
aktor, nilai kerugian, maupun modus korupsi yang terjadi.
Adnan Topan Husodo, wakil koordinator Indonesia
Corruption Watch (ICW)