Oleh. Paul SinlaEloE**)
Kleptokrasi
(Pemerintahan yang dipimpin oleh para pencuri). Itulah argumen yang
paling tepat dilontarkan oleh setiap orang yang dengan serius mencermati
maraknya korupsi DI Indonesia pada umumnya dan khususnya di Nusa
Tenggara Timur. Data terkini hasil survei yang dilakukan oleh
Transparancy International Indonesia (TII), sejak tahun 1995 sampai
dengan 2006 menunjukan bahwa Indonesia senantiasa menempati peringkat
10 besar kategori negara terkorup di dunia.
Pada konteks NTT, catatan akhir tahun 2006 dari Perkumpulan
Pengembang Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT, menunjukan bahawa
dari 75 kasus dugaan korupsi yang dipantau oleh PIAR-NTT, terdapat
indikasi kerugian negara sebesar Rp. 406.694.358.657,00 dengan
sebaran yang cukup merata di setiap kabupaten/kota, maupun propinsi.
(Lih. Diagram).
Data PIAR-NTT pada tahun 2006 ini, dipertegas dengan
hasil temuan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Perwakilan NTT Selama periode 2003-2007, yang di publikaiskan pada
tanggal 30 Mei 2007 menunjukan bahwa di NTT terdapat 1.967 Kasus dugaan
Korupsi dengan indikasi kerugian negara sejumlah Rp. 50.061.226.820,54.
Dari temuan itu sudah ditindak lanjuti sebanyak 1.080 kasus dengan nilai
kerugian negara sebesar Rp. 32.437.826.139,00. Sedangkan 887 kasus
dengan nilai kerugian negara sebanyak Rp.
17.623.400.680,00 yang tersebar di 16 kabupaten/kota di NTT,
belum ditindak lanjuti.
Keseluruhan data ini pada prinsipnya
menunjukan bahwa korupsi harus digolongkon sebagai kejahatan yang luar
biasa (Extra Ordinary Crime) dan harus segera di berantas. Pertanyaannya
adalah apakah korupsi itu? Dan Bagaimana cara memberantas korupsi di
Indonesia pada umumnya dan khususnya di NTT?
Secara leksikal,
perkataan korupsi berasal dari kata “Corruptio/Corruptus” yang dalam
bahasa Latin berarti kerusakan atau kebobrokan. (Soedjono Dwidjosisworo,
184 : 16). Dalam perkembangannya, Sudarto (1986 : 114-115) berpendapat
bahwa istilah korupsi ini pada abad pertengahan diadopsi kedalam bahasa
Inggris, yakni “Corruption” dan bahasa Belanda, yaitu “Corruptie” untuk
menjelaskan atau menunjuk kepada suatu perbuatan yang rusak, busuk,
bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.
Di
Indonesia, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang
Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, istilah korupsi dipersempit artinya menjadi: “setiap orang baik
pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.” Dari pengertian korupsi yang
seperti ini, maka unsur/elemen yang terkandung dalam pasal ini dan harus
dibuktikan berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah: (Lihat
Box).
Menurut Syed Husein Alatas (1997), dalam ilmu sosiologis,
korupsi dapat diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) jenis, yakni : Pertama,
KORUPSI TRANSAKTIF. Korupsi yang menunjukan adanya kesepakatan timbal
balik, antara pihak yang memberi dan pihak yang menerima, demi
keuntungan bersama. Kedua pihak sama-sama aktif menjalankan perbuatan
tersebut. Contohnya, Suap dari calo TKI liar, Menyuap lembaga pengawas
seperti BPKP dan Bawasda, dll.
Kedua, KORUPSI EKSTROAKTIF.
Korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk koersi(tekanan) tertentu dimana
pihak pemberi dipakasa untuk menyuap guna mencegahkerugian yang
mengancam diri, kepentingan,orang-orangnya, atau hal-hal yang di hargai.
Misalnya, Meminta uang komisi/pelicin pada saat pengurusan KTP, Surat
Raskin, dll. Ketiga, KORUPSI INVESTIF. Korupsi yang melibatkan suatu
penawaran barang atau jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan
keuntungan bagi pemberi. Keuntungan diharapkan akan diperoleh dimasa
yang akan datang. Misalnya, Mengunakan dana kas desa atau proyek untuk
men”service” pejabat yang meninjau, dsb.
Keempat, KORUPSI
NEPOTISTIK. Korupsi berupa pemberian perlakuan khusus kepada teman atau
yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik.
Dengan kata lain, perlakuan pengutamaan dalam segala bentuk yang
bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku. Contohnya,
Menentukan kerabat dekat harus mendapatkan bantuan walaupun sebenarnya
tidak layak untuk menerima bantuan, dll.
Kelima, KORUPSI
AUTOGENIK. Korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan
untuk mendapat keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu
yang hanya diketahu sendiri. Contohnya, Mark up harga barng dan jasa,
Kualitas pekrjaan dibawah standar bestek, Discount yang tidak
dilaporkan, Penggunaan biaya yang melebihi ketentuan, Pungutan tambahan,
misalnya pada proyek raskin, dll.
Keenam, KORUPSI SUPORTIF.
Korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk
melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi. Misalnya,
Kades mengetahui ada korupsi tapi tidak melaporkan, dsb. Ketujuh,
KORUPSI DEFENSIF. Suatu tindak korupsi yang terpaksa dilakukan dalam
rangka mempertahankan diri dari pemerasan. Contohnya, Memperlancar
pengambilalihan tanah milik rakyat karena takut dengan atasan, dll.
Dalam
prespektif ilmu pemerintahan, Robert Klitgaard, dkk (2002) berpendapat
bahwa penyebab terjadinya korupsi dapat dijelaskan dengan rumus sebagi
berikut: (Lihat Box). Rumus ini menerangkan bahwa korupsi dapat terjadi
jika adanya kekuasaan monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang
dan orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang
berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.
Berdasarkan
rumusan ini, dapat diasumsikan juga bahwa semakin besar kekuasaan serta
kewenangan yang luas dan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban
dari suatu institusi/person, otomatis potensi korupsi yang dimiliki akan
semakin tinggi.
Sejalan dengan rumus terjadinya korupsi, maka untuk
memberantas korupsi, harus ada teori anti tesisnya. Mahmuddin Muslim
(2004) menawarkan teori anti tesisnya, yakni: (Lihat Box). Dengan rumus
seperti ini, otomatis untuk memberantas korupsi harus dibutuhkan sikap
dan tindakan yang bertanggungjawab dari pejabat yang memiliki wewenang
dalam menjalankan tugasnya dan orang tersebut memiliki moral yang baik,
artinya orang tersebut memiliki pola hidup jujur dan sederhana tanpa ada
nafsu serakah untuk memiliki sesuatu yang bukan haknya.
Demi
menguatkan teori anti tesis ini, otomatis diperlukan sejumlah langkah
konrit. Langkah-langkah tersebut adalah: Pertama, Bentuk Lembaga
Pemberantas Korupsi Yang Independen. Independensi lembaga pemberantas
korupsi sangat diperlukan, agar pada saat mengusut suatu kasus korupsi
tidak terkontaminasi oleh kelompok kepentingan yang pada akhirnya akan
merugikan proses pemberantasan itu sendiri. Artinya, proses
pemberantasan korupsi perlu dijaga dari intervensi politik dan kekuasaan
yang mengganggunya.
Kedua, Bentuk Lembaga Pemantau
Pemberantasan Korupsi. Lembaga ini mempunyai peran dan fungsi monitoring
terhadap kinerja dan independensi lembaga pemberantas korupsi.
Bagaimanapun lembaga pemberantas mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang
berpeluang untuk diselewengkan. Kasus-kasus korupsi biasanya melibatkan
orang-orang yang dengan kekuasaan dan kekayaan yang tidak sedikit.
Agara lembaga pemberantas korupsi dapat bekerja secara profesional, maka
diperlukan pengawasan atas kinerjanya. Pengawasan ini dapat dilakukan
oleh oleh publik melalui Lembaga-Lembaga Non Pemerintah (Non Government
Organization/NGO) dan pers/media massa.
Ketiga, Bersihkan Aparat
Penegak Hukum Dari Lingkaran Setan KKN. Proses penegakan hukum oleh
aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan
dengan perkara korupsi di daerah-daerah seringkali tidak diimbangi
dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya
penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat. “Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan
dari dua hal, yaitu: Besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan
relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum. Upaya yang
dapat dilakukan untuk melakukan pembersihan aparat penegak hukum dari
lingkaran setan KKN adalah melakukan pembenahan system pemerintahan,
membuat produk hukum yang tegas baik materi undang-undangnya maupun
dalam pelaksanaannya, melengkapi fasilitas penunjang dari apart penegak
hukum, melakukan pembaharuan pada system pendidikan aparat hukum dan
melakukan pembenahan pada system rekruitmen.
Keempat,
Mengoptimalkan Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasn Korupsi.
Betapapun upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh lembaga yang
independen secara tegas dan keras, namaun jelas tidak akan memperoleh
hasil yang optimal jika Pemberantasan korupsi ini hanya dilakukan oleh
pemerintah dan instrumen formal lainnya, tanpa mengikutsertakan rakyat
yang nota bene adalah korban dari kebijakan segelintir orang (baca: Para
Pemegang Kebijakan). Partisipasi dari masyarakat sangat dibutuhkan
dalam banyak tahapan dan dengan metode partisipasi yang bervariatif.
Mulai dari dukungan politik untuk memilih pemimpin yang bersih dan bebas
dari korupsi, ikut mengawasi jalannya pemerintahan, melakukan protes
terhadap berbagai penyimpangan, membangun budaya anti korupsi bahkan
partisipasi masyarakat juga dapat berupa pemberian sanksi sosial kepada
para pihak yang terindikasi melakukan suatu perbuatan korupsi. Untuk itu
diperlukan jaminan keamanan bagi masyarakat yang terlibat dalam upaya
pemberantasan korupsi, mulai dari tahap pelaporan kasus, sampai pada
jatuhnya vonis dalam proses penegakan hukum dipersidangan.
Demikianlah
sumbangan pemikiran saya, mengenai Korupsi dan pemberantasannya,
kiranya pokok-pokok pikiran yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat
dan mampu mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.
Kupang, 6 Agustus 2007
PERKUMPULAN PENGEMBANGAN INISIATIF dan ADVOKASI RAKYAT (PIAR)
( Association of Initiative Developing and People Advocacy )
Jln. W. J. Lalamentik, No. 75 Oebobo, Kupang - Nusa Tenggara Timur, 85000
Telp./Fax. : (0380) 827917; E-mail :piar.ntt@googlemail.com
Sumber : http://www.bekasinews.com/