Dekripsi sederhana tentang
korupsi itu sekaligus menunjuk pada berbagai kesulitan berikut. Pertama, untuk
membuktikan telah terjadi pelanggaran diperlukan standar hukum yang rinci.
Tanpa itu, terbuka lebar peluang untuk menafsirkan hukum secara orang-perorang
dan memperbesar godaan untuk menerapkan pungutan dan denda seenaknya.
Sebaliknya, semakin banyak aturan berarti semakin besar kekuasaan birokrasi,
sehingga semakin besar pula peluang praktik pungutan liar. Di samping itu,
aturan yang restriktif biasanya cenderung menghambat laju roda perekonomian.
Kedua, semakin erat dan
bersifat pribadi pola hubungan sosial masyarakat, semakin sulit pula untuk
membuktikan sebuah tindakan korupsi. Seorang pejabat yang memberi proyek kepada
seorang pengusaha dengan memperoleh imbalan tertentu, bisa dijerat dengan
tuduhan korupsi. Tetapi, itu akan sulit dibuktikan bila imbalan atas jasanya
tersebut diperoleh dalam bentuk hadiah perkawinan bagi anaknya, atau berupa
lowongan pekerjaan bagi anaknya yang baru tamat kuliah. Suap-menyuap untuk
memperoleh kemudahan birokrasi dengan demikian tidak mesti terjadi secara
langsung dan telanjang. Penyuap dan yang disuap, mungkin juga tidak pernah
berbicara tentang jasa dan imbalannya. Mereka sudah saling mengetahui apa yang
“seharusnya” mereka lakukan.
Ketiga, adalah tidak
realistis dan bahkan dianggap “amoral”, jika dalam sebuah masyarakat dengan
pola hubungan sosial yamg erat, seorang pejabat berperilaku “berjarak” terhadap
keluarga, kawan dan kelompoknya. Dalam masyarakat semacam ini birokrasi ideal
seperti digambarkan Max Weber, sulit diwujudkan.
Menurut Weber, sebuah
birokrasi ideal bekerja dengan tidak memberikan tempat bagi hubungan
perkerabatan, terutama untuk mencampuradukan kepentingan pribadi dan
kepentingan masyarakat. Namun, realitas kehidupan umumnya tidak seperti itu.
Norma-norma sosial dan ukuran perilaku yang disepakati turun-temurun seringkali
lebih kuat dibandingkan aturan birokrasi yang berbasiskan “prinsip berjarak”,
anonim dan berlaku umum. Di dalam masyarakat semacam ini, ekonomi biaya tinggi
sulit dihindari.
Kendati demikian, argumentasi
bahwa hubungan erat antara birokrasi dan kliennya sebagai tanda sebuah
masyrakat yang korup, boleh jadi merupakan sasaran formal yuridis yang besar.
Tapi anggapan tersebut menafikkan bahwa hal itu hanyalah cerminan norma-norma
sosial dan moral yang berbeda dibandingkan hal serupa dalam sebuah masyarakat
dengan pola hubungan antar manusia yang berjarak.
Terdapat banyak instrument
yang memungkinkan terjadinya korupsi, antara lain:
(a) Mekanisme pelaksanaan
peraturan pemerintah seperti perizinan, penentuan peruntukan kawasan yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi dan lain-lain. (b) Denda atas berbagai
pelanggaran. (c) Pengawasan atas pelaksanaan kontrak proyek pengadaan
pemerintah. (e) pengawasan atas pelaksanaan tender proyek pemerintah. (e)
keringanan pajak, pengalokasian kredit bersubsidi dan penentuan nilai tukar
mata uang. (f) Pengawasan atas kenaikan pangkat/jabatan dan penerimaan pegawai
baru. (g) Persetujuan atas berbagai permohonan dan imbalan prestasi seperti
penetapan perolehan beasiswa, subsidi dan sebagainya. (h) Pengawasan atas
prestasi instansi bersubsidi, misalnya, yang berhubungan dengan listrik,
telepon dan air. (i) keputusan-keputusan instansi perpajakan seperti
perhitungan dan penetapan nilai pajak.
Daftar contoh tersebut masih
bisa diperpanjang. Semakin canggih dan meluas implementasi berbagai instrument
itu dalam sebuah Negara, semakin besar kemungkinan terjadinya tindak korupsi.
Mereka yang punya wewenang untuk melakukan berbagai pengawasan dan kendali
atasnya, seringkali disebut berada ditempat “basah”. Tindak korupsi pejabat
titempat-tempat “basah” itu akhirnya memperlemah tugas dan fungsi Negara untuk
mengatur jalannya perekonomian dan mengoreksi kegagalan pasar.
Dampak korupsi dalam
kaitannya dengan fungsi pemerintah sebagai pengemban kebijaksanaan Negara
adalah:
Pertama, korupsi memperlemah
peranan Negara dalam mengendalikan alokasi, antara lain akibat penganakemasan
pembayar pajak tertentu, pemenangan tender bukan karena penawaran terbaik.
Dalam hal terakhir, orang-orang akan berlomba mencari jabatan “basah”, bukan
jabatan yang sesuai dengan bidang keahliannya. Perilaku rent seeking ini
berkembang pesat dengan adanya korupsi.
Kedua, korupsi juga
memperlemah tugas Negara sebagai distributor. Bila mempunyai hubungan darah dan
perkerabatan, mereka yang mendapat kesempatan terbaik untuk memperoleh jabatan,
proyek pemerintah yang menguntungkan dan sebagainya.
Ketiga, korupsi yang merasuk
ke segala arah, mungkin juga mempengaruhi peran pemerintah dalam menjaga
stabilitas. Misalnya, ketika ada keharusan memperkecil deficit anggaran belanja
pemerintah dan memperkecil pendapatan Negara.
Singkatnya, korupsi mempunyai
akibat yang fatal bagi sebuah bangsa. Keyakinan bahwa semua orang melakukan
korupsi akan membawa kita pada situasi di mana semakin banyak orang akan
melakukan tindak korupsi.
Berbagai factor menentukkan
seberapa besar peluang terjadinya korupsi di sebuah Negara, antara lain:
(a) Peran Negara dan
jangkauannya serta instrumen tempat ia memainkan peranannya. (b) karakter
sebuah masyarakat, misalnya seberapa jauh prinsip “bejarak” merupakan ciri khas
masyarakat tersebut. (c) Sistem politiknya. (d) Hukuman atau kasus korupsi yang
terungkap.
Dalam sebuah masyarakat,
manakala hubungan sosialnya terbilang akrab dan dibangun atas perkerabatan,
maka semakin kuat peran Negara, semakin besar pula kemungkinan seorang pejabat
pemerintah bekerja untuk menguntungkan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya.
Kalau ini yang terjadi, tidak terelakkan biaya kegiatan pemerintah meningkat,
sementara perannya untuk mengoreksi kendala demi berfungsinya pasar akan
berkurang. Dalam keadaan ini, kebijaksanaan terbaik untuk mereduksi korupsi
adalah memangkas peran Negara dalam bidang perekonomian.
Dalam sebuah masyarakat “berjarak”, cara untuk memberantas korupsi adalah
dengan memperberat hukuman, memberlakukan aturan yang transparan, regulasi,
menciptakan kepastian hukum dan mengetatkan pengawasan.
Tetapi, dalam masyarakat
berpola hubungan “perkerabatan” seperti Indonesia, cara tersebut merujuk
pengalaman empiris kurang efektif. Kendati pada awalnya berhasil, tetapi tidak
pernah langgeng. Contohnya Indonesia, penuh dengan kampanye antikorupsi selama
ini, tapi hasilnya boleh dibilang nihil. Buktinya saat ini, menurut hasil
survey Badan Konsultasi Risiko Ekonomi dan Politik (PERC), korupsi di Indonesia
dinilai paling parah diantara Negara-negara Asia.
Dalam masyarakat berpola
hubungan “perkerabatan”, dpercepatnya pemindahan pejabat dari satu daerah ke
daerah lain, terutama ke luar daerah asalnya, tampaknya dapat membantu
bereduksi tindal korupsi. Ditempatnya yang baru, seorang birokrat memerlukan
waktu untuk membangun jaringan perkerabatan baru. Sebelum ia mempunyai cukup
waktu untuk itu, ia sebaiknya kembali dipindahkan ketempat lain, dan begitu
seterusnya.