Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang
hangt-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media
massa baik lokal
maupun nasional. Banyak para
ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah
korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula yang kontra.
Akan tetapi walau
bagaimanapun korupsi ini merugikan
negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.
Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu
sosial” yang merusak
struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat
utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.
Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar
bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena
sangat sulit memberikan
pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya
dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun
akses perbuatan korupsi
merupakan bahaya latent
yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat itu sendiri.
Korupsi adalah produk
dari sikap hidup
satu
kelompok masyarakat yang memakai
uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak.
Sebagai akibatnya, kaum koruptor
yang kaya raya
dan para politisi
korup yang berkelebihan uang bisa
masuk ke dalam
golongan elit yang
berkuasa dan sangat
dihormati. Mereka ini juga
akan menduduki status sosial
yang tinggi dimata
masyarakat.
Korupsi sudah berlangsung lama, sejak
zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi
terjadi diberbagai negara, tak terkecuali
di negara-negara maju sekalipun. Di negara Amerika Serikat sendiri yang sudah begitu
maju masih ada
praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada masyarakat yang primitif dimana ikatan-ikatan
sosial masih sangat kuat dan kontrol sosial yang efektif, korupsi relatif jarang terjadi. Tetapi
dengan semakin berkembangnya sektor ekonomi
dan politik serta semakin
majunya usaha-usaha pembangunan dengan pembukaan-pembukaan sumber
alam yang baru,
maka semakin kuat dorongan individu terutama di kalangan
pegawai
negari untuk
melakukan praktek korupsi dan usaha-usaha penggelapan.
Korupsi dimulai dengan semakin
mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi
relaif lambat, sehingga setiap orang
atau badan menginginkan jalan pintas
yang cepat dengan
memberikan imbalan- imbalan dengan cara
memberikan uang pelicin
(uang sogok). Praktek ini akan
berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya
kontrol dari pemerintah
dan masyarakat, sehingga timbul golongan
pegawai yang termasuk
OKB-OKB (orang kaya baru) yang memperkaya diri sendiri
(ambisi material).
Agar tercapai tujuan pembangunan
nasional, maka mau
tidak mau korupsi
harus diberantas. Ada beberapa cara penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya
preventif maupun yang represif.
II.
PERMASALAHAN
Permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan
ini adalah sebagai berikut :
1.Apakah korupsi itu ?
2.Apa penyebab terjadinya korupsi ?
3.Apa akibat terjadinya korupsi ?
4.Bagaimana cara menanggulangi korupsi ?
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian korupsi.
Banyak para ahli
yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat
dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya
mempunyai makna yang sama.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan
negara. Jadi korupsi
merupakan gejala salah
pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap
sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatan-
kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum
dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan
wewenang dan jabatan
yang dimiliki oleh pejabat atau
pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak
saudara dan teman.
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan
bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah
dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan
kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang
menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas
jasa dari pihak
ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada
keluarganya atau partainya/
kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai
hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan
yang demikian, jelas bahwa
ciri
yang paling menonjol
di dalam korupsi
adalah tingkah laku pejabat yang melanggar
azas pemisahan antara kepentingan
pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham
keuangan pribadi dengan masyarakat.
2.
Sebab-sebab korupsi
Ada beberapa sebab terjadinya
praktek korupsi. Singh (1974)
menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab
terjadinya korupsi di India adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2%), hambatan struktur sosial (7,08 %).
Sementara itu Merican
(1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
a.Peninggalan pemerintahan kolonial. b. Kemiskinan dan ketidaksamaan.
b.Gaji yang rendah.
c.Persepsi yang populer.
d.Pengaturan yang bertele-tele.
e.Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Di sisi lain
Ainan (1982) menyebutkan
beberapa sebab terjadinya
korupsi yaitu :
a.Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak
luwes.
b.Tradisi untuk
menambah penghasilan yang kurang
dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
c.Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak
dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
d.Di India,
misalnya menyuap jarang dikutuk
selama menyuap tidak dapat
dihindarkan.
e.Menurut kebudayaannya,
orang Nigeria Tidak dapat
menolak suapan dan
korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
f.Manakala orang
tidak menghargai aturan-aturan resmi dan
tujuan organisasi
pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,
administrasi yang lamban dan sebagainya.
Warisan
pemerintahan kolonial.
sikap mental
pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran
bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah.
3.
Akibat-akibat korupsi.
Nye menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi
adalah :
1.Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan
terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2.ketidakstabilan, revolusi
sosial, pengambilan
alih kekuasaan
oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
Selanjutnya Mc Mullan (1961)
menyatakan bahwa akibat
korupsi adalah ketidak efisienan,
ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara,
tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam
kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli
di atas, maka
dapat disimpulkan akibat-
akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1.Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap
perusahaan, gangguan penanaman modal.
2.Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan
sosial.
3.Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan,
hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan
politik.
4.Tata administrasi
seperti tidak efisien,
kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan
represif.
Secara umum akibat korupsi
adalah merugikan negara dan
merusak sendi- sendi kebersamaan serta memperlambat
tercapainya tujuan nasional
seperti yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
4. Upaya penanggulangan korupsi.
Korupsi tidak dapat dibiarkan
berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau
dibiarkan secara terus
menerus, maka akan
terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu
mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan
segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi
secara tuntas dan bertanggung jawab.
Ada beberapa upaya penggulangan
korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi
dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk
menanggulangi korupsi sebagai berikut :
a.Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan
menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
b.Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana
keputusan dibuat.
c.Melakukan perubahan
organisasi yang akan mempermudah
masalahpengawasandan pencegahan kekuasaan yang terpusat,
rotasi penugasan, wewenang yang saling
tindih organisasi yang sama,
birokrasi yang saling
bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan
untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d.Bagaimana dorongan
untuk korupsi dapat dikurangi?
Dengan jalan meningkatkan ancaman.
e.Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin
keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus
ditekan seminimum mungkin, agar beban
korupsi organisasional maupun korupsi
sestimik tidak terlalu
besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi
kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi. Cara yang diperkenalkan
oleh Caiden di
atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula
dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal
dengan adanya pungutan resmi. Di
lain pihak, celah-celah
yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup,
begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi,
misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak
lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya,
Myrdal (dalam Lubis,
1987) memberi saran penaggulangan
korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang
menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan
kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai
yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial
ekonominya diperbaiki, lebih terjamin,
satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum
atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil.
Orang-orang yang menyogok
pejabat-pejabat harus ditindak
pula.
Persoalan korupsi beraneka ragam cara
melihatnya, oleh karena
itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam
pula. Korupsi tidak cukup
ditinjau dari segi
deduktif saja, melainkan perlu ditinaju
dari segi induktifnya
yaitu mulai melihat
masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan
timbulnya korupsi.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut
:
1.Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung
jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh
tak acuh.
2.Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu
mengutamakan kepentingan nasional.
3.para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas
dan menindak korupsi.
4.Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas
dan menghukum tindak korupsi.
5.Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6.Adanya sistem
penerimaan pegawai yang berdasarkan
“achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7.Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demikelancaran administrasi pemerintah.
8.Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9.Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang
mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10.Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan
perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi. Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan
bahwa dalam menanggulangi
korupsi, perlu sanksi malu
bagi koruptor yaitu dengan
menayangkan wajah para
koruptor di televisi karena menurutnya
masuk penjara tidak dianggap
sebagai hal yang memalukan lagi.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai
berikut :
a.Preventif.
1.Membangun dan menyebarkan
etos pejabat dan pegawai
baik di instansi
pemerintah maupun swasta tentang
pemisahan yang jelas
dan tajam antara
milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2.mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat
dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan
swasta, agar pejabat
dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas
jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3.Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut
kehormatan diri setiap
jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai
bukanlah bahwa mereka kaya dan
melimpah, akan tetapi
mereka terhormat karena jasa
pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
4.4Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dana tasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian
dan kebijakan.
5.menumbuhkan
pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk
6.kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan
kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. hal yang tidak
kalah pentingnya adalah bagaimana
menumbuhkan “sense of
belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai,
sehingga mereka merasa
peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha
berbuat yang terbaik.
b. Represif.
1. Perlu penayangan wajah
koruptor di televisi.
2. Herregistrasi (pencatatan
ulang) terhadap kekayaan pejabat.
IV.
KESIMPULAN
1.Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada
pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.
2.Korupsi menghambat
pembangunan, karena merugikan
negara dan merusak
sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa.
3.Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif
dan Represif. Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan
dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai
tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan
dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan
kebijakan, terbuka untuk kontrol,
adanya kontrol sosial dan
sanksi sosial, menumbuhkan rasa “sense of belongingness”
diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang bersifat
Represif adalah menegakan
hukum yang berlaku
pada koruptor dan penayangan
wajah koruptor di layar
televisi
dan herregistrasi (pencatatan ulang) kekayaan pejabat dan pegawai.
DAFTAR
PUSTAKA
Bellone, Carl.1980.Organization Theory and
The New Public
Administration. United
States Of America.Allyn and Bacon, Inc.
Boston/ London Sydney/ Toronto.
Frederickson, George, H. 1984.
Administrasi Negara Baru.
Terjemahan. Jakarta. LP3ES. Cetakan Pertama.
Kartono, Kartini. 1983. Pathologi Sosial.
Jakarta. Edisi Baru. CV. Rajawali Press. Lamintang, PAF dan
Samosir, Djisman. 1985. Hukum
Pidana Indonesia. Bandung.
Penerbit Sinar Baru.
Lubis, Mochtar. 1977. Bunga Rampai Etika
Pegawai Negeri. Jakarta. Bhratara. Karya
Aksara.
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi
Di Indonesia. Jakarta. Penerbit Ghalia
Indonesia.
Simon, Herbert. 1982. Administrative Behavior. Terjemahan St. Dianjung.
Jakarta. PT. Bina Aksara.
Kompas. Surat Kabar Harian. Jakarta. Bulan
Oktober sampai Desember 1989.
Suara Pembaharuan. Surat Kabar Harian.
Jakarta. Bulan Oktober sampai Desember