Perkembangan Demokrasi di Indonesia Cabaran dan Pengharapan
Selasa, 15 Februari 2011
Oleh: Irwan Prayitno
Akhir milenium kedua ditandai dengan
perubahan besar di Indonesia. Rejim Orde Baru yang telah berkuasa
selama 32 tahun
yang dipimpin oleh Soeharto
akhirnya tumbang. Demokrasi Pancasila versi Orde
Baru mulai digantikan
dengan demokrasi dalam arti
sesungguhnya. Hanya saja tidak
mudah mewujudkan hal ini,
karena setelah Soeharto tumbang tidak ada kekuatan yang mampu mengarahkan perubahan secara damai,
bertahap dan progresif.
Yang ada justru muncul berbagai konflik
serta terjadi perubahan genetika sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tak lepas
dari pengaruh krisis moneter yang menjalar kepada krisis
keuangan sehingga pengaruh depresiasi rupiah berpengaruh
signifikan terhadap kehidupan ekonomi rakyat Indonesia.
Inflasi yang dipicu
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sangat berpengaruh
kepada kualitas kehidupan masyarakat. Rakyat Indonesia
sebagian besar masuk
ke dalam sebuah
era demokrasi sesungguhnya dimana pada
saat yang sama
tingkat kehidupan ekonomi mereka justru
tidak lebih baik dibandingkan ketika masa Orde Baru.
Indonesia setidaknya telah melalui
empat
masa demokrasi
dengan
berbagai versi.
Pertama adalah demokrasi
liberal dimasa kemerdekaan. Kedua adalah demokrasi
terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikan
demokrasi terpimpin. Ketiga adalah demokrasi Pancasila yang dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat
adalah demokrasi yang saat ini masih dalam masa transisi.
Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing
masa demokrasi tersebut pada dasarnya bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi liberal ternyata pada saat itu belum bisa memberikan
perubahan yang berarti
bagi Indonesia. Namun demikian,
berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam
pribadi beserta pemikiran mereka yang
cemerlang dalam memimpin
namun mudah dijatuhkan oleh parlemen
dengan mosi tidak
percaya. Sementara demokrasi terpimpin yang
dideklarasikan oleh Soekarno (setelah melihat terlalu lamanya konstituante
mengeluarkan undang-undang dasar baru)
telah memperkuat posisi Soekarno
secara absolut. Di satu sisi, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum Internasional
yang diperlihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan
Soekarno serta munculnya Indonesia sebagai salah satu
kekuatan militer yang patut
diperhitungkan di Asia. Namun pada
sisi lain segi
ekonomi rakyat kurang
terperhatikan akibat berbagai
kebijakan politik pada masa itu.
Lain pula dengan
masa demokrasi Pancasila pada kepemimpinan
Soeharto. Stabilitas keamanan sangat dijaga
sehingga terjadi pemasungan kebebasan berbicara. Namun tingkat kehidupan ekonomi rakyat relatif
baik. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem nilai tukar dan alokasi subsidi BBM
sehingga harga-harga barang dan jasa berada
pada titik keterjangkauan masyarakat secara umum. Namun demikian penyakit korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) semakin parah menjangkiti
pemerintahan. Lembaga pemerintahan yang ada di legislatif, eksekutif dan yudikatif
terkena virus KKN
ini. Selain itu,
pemasungan kebebasan berbicara ternyata menjadi bola salju
yang semakin membesar yang siap meledak. Bom waktu ini telah
terakumulasi sekian lama dan ledakannya terjadi pada bulan Mei 1998.
Selepas kejatuhan Soeharto, selain terjadinya
kenaikan harga barang dan
jasa beberapa kali dalam kurun waktu 8
tahun terakhir, instabilitas keamanan dan politik
serta KKN bersamaan terjadi sehingga yang paling
terkena dampaknya adalah rakyat
kecil yang jumlahnya mayoritas dan menyebabkan
posisi tawar Indonesia
sangat
lemah di mata internasional akibat tidak adanya kepemimpinan
yang kuat.
Namun demikian, demokratisasi yang sedang
berjalan di Indonesia
memperlihatkan beberapa kemajuan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Pemilihan umum dengan
diikuti banyak partai
adalah
sebuah kemajuan
yang harus dicatat. Disamping itu pemilihan presiden secara langsung
yang juga diikuti
oleh
pemilihan kepala daerah secara langsung adalah kemajuan lain dalam
tahapan demokratisasi di Indonesia. Diluar hal
tersebut, kebebasan mengeluarkan pendapat dan
menyampaikan aspirasi di masyarakat
juga semakin meningkat. Para kaum tertindas mampu menyuarakan keluhan mereka di depan
publik sehingga masalah-masalah yang selama
ini terpendam dapat diketahui oleh publik.
Pemerintah pun sangat
mudah dikritik
bila terlihat melakukan penyimpangan dan bisa diajukan ke pengadilan
bila terbukti melakukan kesalahan dalam mengambil suatu kebijakan publik.
Jika diasumsikan bahwa pemilihan langsung
akan menghasilkan pemimpin yang mampu membawa masyarakat kepada kehidupan
yang
lebih baik, maka seharusnya
dalam beberapa tahun ke
depan Indonesia akan mengalami
peningkatan taraf kesejahteraan
masyarakat. Namun sayangnya hal ini
belum terjadi secara signifikan.
Hal ini sebagai
akibat masih terlalu kuatnya kelompok yang pro-KKN maupun anti perbaikan.
Demokrasi di Indonesia masih berada
pada masa transisi dimana berbagai prestasi sudah muncul dan diiringi ”prestasi” yang lain. Sebagai contoh, munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirasakan mampu menimbulkan
efek jera para koruptor dengan dipenjarakannya
beberapa koruptor. Namun di sisi lain, para pengemplang dana bantuan likuiditas bank Indonesia
(BLBI) mendapat pengampunan yang tidak
sepadan dengan ”dosa-dosa” mereka terhadap
perekonomian.
Namun demikian, masih ada sisi positif
yang bisa dilihat seperti lahirnya undang-undang sistem pendidikan nasional yang
mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Demikian pula rancangan undang-undang
anti pornografi dan pornoaksi
yang masih dibahas di parlemen. Rancangan
undang-undang ini telah mendapat masukan
dan dukungan dari ratusan organisasi Islam yang ada di tanah air. Hal
ini juga memperlihatkan
adanya partisipasi umat Islam
yang
meningkat dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Sementara
undang-undang sistem pendidikan nasional yang telah disahkan parlemen juga pada
masa pembahasannya mendapat dukungan yang kuat dari berbagai organisasi Islam.
Sementara itu, ekonomi
di era demokrasi ternyata
mendapat pengaruh
besar
dari
kapitalisme internasional. Hal ini
menyebabkan dilema. Bahkan di
tingkat pemerintah, adakesan mereka tunduk dibawah tekanan kapitalis internasional yangtidak diperlihatkan secara kasat mata kepada
publik namun bisa dirasakan.
Tantangan dan Harapan
Amartya Sen, penerima
nobel bidang ekonomi
menyebutkan bahwa demokrasi
dapat
mengurangi kemiskinan. Pernyataan
ini akan terbukti bila pihak legislatif menyuarakan
hak-hak orang miskin dan
kemudian pihak eksekutif
melaksanakan program-program yang efektif untuk mengurangi kemiskinan. Sayangnya, dalam masa transisi ini, hal itu belum
terjadi secara signifikan.
Demokrasi di Indonesia
terkesan hanya untuk
mereka dengan tingkat
kesejahteraan ekonomi yang cukup.
Sedangkan bagi golongan
ekonomi bawah, demokrasi
belum memberikan dampak ekonomi
yang positif buat mereka.
Inilah tantangan yang harus
dihadapi dalam masa transisi.
Demokrasi masih terkesan
isu kaum elit,
sementara ekonomi adalah masalah
riil kaum ekonomi
bawah yang belum diakomodasi
dalam proses demokratisasi. Ini adalah salah satu
tantangan terberat yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Demokrasi dalam arti sebenarnya terkait
dengan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan demikian ia merupakan fitrah yang harus dikelola agar menghasilkan output yang baik. Setiap manusia memiliki hak untuk menyampaikan
pendapat, berkumpul, berserikat dan bermasyarakat. Dengan demikian,
demokrasi pada dasarnya
memerlukan aturan main.
Aturan main tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus yang terdapat
dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah.
Di masa transisi, sebagian besar orang hanya tahu mereka bebas
berbicara, beraspirasi, berdemonstrasi. Namun
aspirasi yang tidak sampai akan menimbulkan kerusakan. Tidak sedikit fakta yang
memperlihatkan adanya pengrusakan
ketika terjadinya demonstrasi menyampaikan pendapat. Untuk itu
orang memerlukan pemahaman yang utuh
agar mereka bisa menikmati demokrasi.
Demokrasi di masa transisi
tanpa adanya sumber daya manusia yang kuat akan mengakibatkan
masuknya pengaruh asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adalah tantangan
yang cukup berat juga dalam demokrasi
yang tengah menapak.
Pengaruh asing tersebut jelas akan menguntungkan
mereka dan belum tentu menguntungkan Indonesia. Dominannya
pengaruh asing justru mematikan demokrasi itu sendiri karena tidak diperbolehkannya perbedaan pendapat yang seharusnya menguntungkan Indonesia. Standar ganda pihak
asing juga akan
menjadi penyebab mandulnya demokrasi di Indonesia.
Anarkisme yang juga menggejala pasca
kejatuhan Soeharto juga menjadi tantangan bagi demokrasi di Indonesia.
Anarkisme ini merupakan
bom waktu era
Orde Baru yang
meledak pada saat ini.
Anarkisme pada saat
ini
seolah-olah merupakan bagian dari
demonstrasi yang sulit dielakkan,
dan bahkan kehidupan sehari-hari. Padahal anarkisme justru bertolak belakang dengan
hak asasi manusia dan nilai-nilai Islam.
Harapan dari adanya
demokrasi yang mulai tumbuh
adalah ia memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemaslahatan
umat dan juga
bangsa. Misalnya saja, demokrasi
bisa memaksimalkan
pengumpulan zakat oleh negara dan distribusinya mampu mengurangi kemiskinan. Disamping itu demokrasi diharapkan bisa menghasilkan
pemimpin yang lebih memperhatikan
kepentingan rakyat banyak seperti
masalah
kesehatan dan pendidikan.
Tidak hanya itu,
demokrasi diharapkan mampu menjadikan
negara kuat. Demokrasi di negara yang tidak
kuat
akan mengalami masa transisi
yang panjang. Dan ini
sangat merugikan bangsa dan negara.
Demokrasi di negara kuat (seperti
Amerika)
akan berdampak positif bagi rakyat.
Sedangkan demokrasi di negara
berkembang seperti Indonesia tanpa menghasilkan negara yang kuat justru tidak akan mampu
mensejahterakan rakyatnya. Negara yang
kuat tidak identik
dengan otoritarianisme maupun militerisme.
Harapan rakyat banyak tentunya adalah pada masalah kehidupan ekonomi
mereka serta bidang kehidupan lainnya. Demokrasi
membuka celah berkuasanya para pemimpin yang peduli dengan rakyat
dan sebaliknya bisa melahirkan
pemimpin yang buruk.
Harapan rakyat akan adanya
pemimpin yang peduli
di masa demokrasi
ini adalah harapan
dari implementasi demokrasi itu sendiri.
Di masa transisi
ini, implementasi
demokrasi masih terbatas pada kebebasan dalam berpolitik, sedangkan masalah ekonomi masih
terpinggirkan. Maka muncul kepincangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Politik dan ekonomi
adalah dua sisi
yang berbeda dalam sekeping mata uang, maka masalah ekonomi pun harus mendapat
perhatian yang serius dalam implementasi demokrasi agar terjadi penguatan demokrasi.
Semakin rendahnya tingkat kehidupan ekonomi rakyat akan
berdampak buruk bagi
demokrasi karena kuatnya bidang politik
ternyata belum bisa
mengarahkan kepada perbaikan ekonomi. Melemahnya ekonomi akan berdampak luas kepada
bidang
lain, seperti masalah sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang lemah
jelas tidak bisa memperkuat demokrasi, bahkan justru bisa memperlemah demokrasi.
Demokrasi di Indonesia
memberikan harapan akan tumbuhnya
masyarakat baru yang
memiliki kebebasan berpendapat, berserikat, berumpul, berpolitik dimana masyarakat
mengharap adanya iklim ekonomi
yang kondusif. Untuk menghadapi tantangan
dan mengelola harapan ini agar menjadi kenyataan dibutuhkan kerjasama antar
kelompok dan partai politik agar demokrasi bisa berkembang ke arah yang lebih baik.