Sejumlah anggota DPR dari Fraksi PDI
Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera dan Gerindra mengancam akan
memotong anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi KPK melalui Hak Budgeting
atau anggaran. Para inisiator Hak Angket Century DPR itu menilai KPK
lamban bekerja dalam menangani Skandal Century yang diduga merugikan
negara hingga 6,7 triliun rupiah.
Dilihat dari sudut pandang manapun,
sikap para anggota dewan ini jelas tidak terpuji. Juga jauh dari
bijaksana. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan, mengancam sebagai
menyatakan maksud, niat atau rencana untuk melakukan sesuatu yang
merugikan, menyulitkan, menyusahkan atau mencelakakan pihak lain.
Merujuk definisi kamus ini, sikap sebagian anggota dewan itu jelas masuk
kriteria mengancam. Mereka mengatakan, bila dalam waktu 3 bulan KPK
tidak bisa menyelesaikan kasus, DPR akan menggunakan hak menyatakan
pendapat.
Kita memang tidak bisa serta merta
mengartikan tiga bulan sebagai waktu yang singkat atau cukup bagi KPK
mengungkap sebuah kasus. Tapi, kalau menilik banyaknya agenda penuntasan
korupsi KPK, tentu tiga bulan itu berarti singkat. Apalagi, jauh hari
KPK sudah menyatakan ada kasus yang butuh waktu hingga dua tahun. Cepat
atau lambat penangangan kasus tergantung pada kecukupan bukti yang harus
mereka kumpulkan.
Selain karena kasusnya sudah lama
terjadi, dugaan pelanggaran dalam penyaluran dana talangan kepada Bank
Century, mencakup tindak pidana umum, pelanggaran aturan perbankan dan
tindak pidana korupsi. KPK perlu waktu untuk mendapatkan bukti cukup dan
memilah mana yang menjadi lingkup kewenangan kerjanya dan mana yang
bukan.
Tak cuma para anggota dewan itu yang
menghendaki KPK bekerja cepat. Masyarakat pun demikian. Tapi, para wakil
kita di Senayan itu mestinya sadar, KPK tetap bekerja, meski masih ada
kekurangan di sana sini. Untuk kasus yang melibatkan para bekas dan
anggota DPR saja, KPK kini sudah menetapkan 4 tersangka penerima suap
dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004, Miranda S.
Goeltom. Masih ada puluhan lainnya menunggu giliran karena turut
menerima suap dengan nilai total mencapai 24 miliar rupiah itu.
Bila para pengancam ini memang mendukung
pemberantasan korupsi di negeri ini, bisa saja membantu KPK dengan
mendorong fraksi atau partai masing-masing agar para kadernya yang
memang menerima suap itu untuk mengakuinya. Tindakan ini lebih berguna
ketimbang mengancam. Sejauh ini, baru Agus Tjondro yang melakukan itu.
Yang sering kita dengar, mereka yang
suka mengancam biasanya preman atau mereka yang merasa punya kuasa dan
menyalahgunakannya demi kepentingannya sendiri. Kita bukan mau menggurui
sikap para wakil rakyat itu. Kita hanya tidak ingin, punya wakil yang
hanya asal bicara dan suka main ancam.
Sumber: http://www.kbr68h.com/i