Kita mungkin sudah biasa mendengar usaha
KPK, Polri dan Kejaksaan dalam rangka memberantas maraknya korupsi di
Indonesia. Mulai dari menahan gubernur langsung ditempat sampai melalui
proses yang lebih halus yaitu melalui surat pemanggilan penahanan sudah
dijalankan. Usaha preventifnya pun juga tidak kalah, mulai dari
pembuatan UU tipikor sampai ancaman hukuman mati yang sekarang sedang
hangat dibicarakan.
Mungkin selama ini kita hanya berpikir
bahwa pendidikan korupsi itu kurang penting. Yang penting bagi kita
adalah bagaimana memberantas korupsi yang sudah menjadi “kemakluman”
umum, terintegrasi sedemikian kuat dalam kultur masyarakat Indonesia.
Lihatlah berita-berita bagaimana banyak dari kita begitu bersemangat
memberantas korupsi di tingkat atas, katakanlah seperti kasus NH dari
PSSI, Susno Duadji, Gayus Tambunan, Gubernur dari berbagai daerah di
Indonesia dan lain-lain.
Namun sepertinya banyak dari kita,
terutama dari para penyelenggara negara ini lupa bahwa korupsi bisa
diberantas dari level yang paling dasar. Alih-alih kita mulai
pemberantasan korupsi dari tingkat institusi negara seperti kelurahan
hingga pemerintah pusat, kita bisa mulai pemberantasan korupsi ini dari
level dimana semua koruptor negeri ini berasal: sekolah.
Ya sekolah, tempat dimana semua jenis
dan kategori manusia di bumi ini berasal, termasuk para koruptor. Tempat
dimana para koruptor kelas kakap yang kita kenal sekarang ini pernah
duduk manis di kursi kayu, mendengarkan guru mengajar didepan,
menggunakan seragam putih-merah, putih biru dan putih abu-abu. Tempat
dimana ide-ide manusia dikembangkan atau justru dikerdilkan.
Bila dianalogikan, pembasmian korupsi di
tingkat atas seperti memutihkan kembali selembar kertas HVS putih yang
sudah terlanjur dicoret-coret dengan asal: sulit, memakan waktu lama dan
belum tentu bisa bersih kembali seperti sediakala. Akan lebih mudah
bila kita justru menggambar sesuatu hal yang bagus dilembaran kertas
yang masih putih bersih: mudah, cepat dan persentase keberhasilannya
akan jauh lebih besar.
Sama hal seperti pembasmian korupsi di
Indonesia. Akan jauh lebih sulit jika kita berusaha meluruskan kembali
otak-otak miring para pelaku kasus korupsi di Indonesia, contohnya
seperti Gayus dan kawan-kawan. Mereka sudah tahu betapa nikmatnya uang
milyaran yang didapatkan dengan cara yang sangat mudah tentu akan mudah
tergoda kembali untuk menikmati uang haram itu. Akan lebih mudah bila
kita memberikan pelajaran dan pendidikan anti-korupsi kepada siswa-siswi
di sekolah yang masih polos itu.
Wacana pendidikan korupsi yang
digulirkan beberapa tahun terakhir memang sudah sangat baik. Yang kurang
hanyalah implementasi wacana ini yang tampaknya mentok di implementasi
kebijakan, yang tentu merupakan tanggungjawab departemen pendidikan.
Hasilnya, rencana pemberian materi anti-korupsi ini hanya mentok di
wacana dan omong-omong kosong, bullshit belaka, tidak pernah
ada pendidikan anti-korupsi yang saya lihat diberbagai tingkat
pendidikan, bahkan di pendidikan tinggi sekalipun.
Sekolah, baik itu dari tingkat SD sampai SMA adalah tempat-tempat paling seksi
untuk memulai proses pemberantasan korupsi. Karena perlu diinsyafi
bahwa kelak suatu saat nanti mereka (siswa-siswi) yang akan memimpin
negeri ini dan berada diantara dua pilihan, menjadi pemimpin korup atau
pemimpin jujur. Kelak pilihan tersebut akan ditentukan oleh latar
belakang pendidikan siswa (atau mantan siswa) yang bersangkutan. Bila
semasa sekolah dia sudah terbiasa dididik oleh lingkungan yang
anti-korup maka diapun akan cenderung anti-korup juga (karena sudah
memahami dampaknya bagi berbagai pihak). Sebaliknya, bila semasa
kecil/mudanya dia miskin ilmu mengenai korupsi ditambah dengan
lingkungan (entah itu lingkungan keluarga atau lingkungan kerja) yang
korup, maka dia akan sangat berpotensi menjadi seorang koruptor pula.
Sejujurnya saya samasekali tidak tahu
teknis permasalahan yang dihadapi oleh berbagai instansi terkait perihal
implementasi pendidikan korupsi ini kepada para siswa sekolah, namun
mengingat hal ini extremely urgent, lebih penting dari pada
membuat UU pornografi atau UU ITE, bagi masa depan nasib negeri ini,
seharusnya pemerintah mulai mengambil langkah cepat mengimplementasikan
hal ini alih-alih hanya berkonsentrasi pada RUU tipikor yang baru dan
penggodokan pansus, panja atau tetek bengek lainnya yang terbukti kurang
efektif memberantas korupsi dalam ruang lingkup nasional.
Pemerintah Indonesia, terutama yang
berkaitan dengan pendidikan tampaknya tidak kekurangan orang-orang
cerdas. Bila segelintir anak-anak muda yang masih sekolah dan kuliah
dengan dana luar biasa minim saja bisa membuat acara dan pendidikan
pemuda mengenai korupsi, lalu kenapa pemerintah yang terdiri dari ribuan
birokrat “cerdas” yang diseleksi melalui seleksi CPNS yang diikuti
puluhan ribu orang itu tidak mampu memberikan pendidikan korupsi? Atau
mungkin mereka memang tidak niat memberikan pendidikan korupsi? Ah
entahlah, biar saja para pegawai negeri “pintar” itu yang menjawabnya.
Tampaknya kita (bangsa Indonesia) akan
selamanya terjebak dalam lingkaran setan korupsi selama kita masih
mengabaikan pendidikan dasar bagi siswa sekolah mengenai korupsi dan
saudara-saudaranya. Namun ironinya, tampaknya pemerintah kita memang
kurang niat benar-benar memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Pemerintah kita lebih suka carmuk (cari muka) dengan menciduk
koruptor-koruptor kelas ikan asin dan membiarkan bibit koruptor itu
tumbuh dengan suburnya dalam berbagai institusi pendidikan kita.