Korupsi
adalah konsekuensi logis dari penerapan kapitalisme, karena setiap
kontrak sosial-politik selalu dinilai dengan materi dan uang. Semua
negara akan akan terjangkit korupsi sepanjang mereka menerapkan
kapitalisme secara konsisten.
Dewasa ini korupsi telah menjadi penyakit sistemik, bukan sekadar
penyakit individu. Bisa dikatakan telah menjadi korupsi yang terstruktur
(structured corruption). Penyelesaiannya pun sejatinya harus secara
sistemik. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini diyakini tidak akan
membawa perubahan berarti. Berbagai Undang-undang dan komisi untuk
mendukung UU itu dibentuk. Tetapi hasilnya nihil. Alih-alih membawa
perbaikan, angka korupsi semakin tinggi.
Melihat
fenomena yang begitu kompleks ini, korupsi jelas tidak mungkin lagi
diatasi hanya dengan perbaikan akhlak individu. Banyak orang yang
menangis ketika mendengarkan nasihat atau seruan akhlak yang menyentuh,
namun ketika kembali pada jabatan atau proyek-proyeknya, mereka merasa
bahwa korupsi itu sah-sah saja. Kesalehan ritual sama sekali tak sanggup
lagi mencegah seseorang untuk korupsi. Seorang birokrat yang telah naik
haji berkali-kali bahkan tanpa sungkan berseloroh, “Haji itu tugas
agama, korupsi tugas negara.”
Karena
penyebab korupsi ada pada individu yang tidak amanah, lingkungan budaya
yang tidak kondusif, dan sistem yang tidak cukup menggiring orang untuk
menjadi baik, maka berarti perang terhadap korupsi harus dilakukan
secara terpadu di tiga lini ini sekaligus.
Perbaikan Sistem Dengan Syariat Islam
Syariat Islam memberi petunjuk tentang bagaimana meminimalkan tindak
korupsi, antara lain: Pertama, sistem penggajian yang layak. Sistem
penggajian yang layak adalah keharusan. Para birokrat tetaplah manusia
biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban menafkahi keluarga.
Agar tenang bekerja dan tak mudah tergoda, kepada mereka harus
diberikan gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang layak. Rasulullah SAW
bersabda:
"Siapapun yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai
rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah;
jika tak memiliki pembantu hendaknya mengambil pelayan; jika tak
memiliki kendaraan hendaknya diberi. Siapapun mengambil selainnya, ia
telah berbuat curang atau pencuri". (HR. Abu Dawud).
Kedua, larangan menerima hadiah.
Hadiah–atau sering dinyatakan sebagai ‘hibah’–yang diberikan kepada
aparat pemerintah pasti bermaksud agar aparat itu menguntungkan pemberi
hadiah. Suap adalah harta yang diberikan kepada seorang penguasa, hakim,
atau aparat pemerintah lainnya dengan maksud untuk memperoleh keputusan
mengenai suatu kepentingan yang semestinya wajib diputuskan olehnya
tanpa pembayaran dalam bentuk apapun. Setiap bentuk suap, berapun
nilainya dan dengan jalan apapun diberikannya atau menerimanya, haram
hukumnya (QS. Al Baqarah [02]: 188).
Rasulullah SAW bersabda:
“Rasulullah SAW melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan.” (HR. Ahmad, Thabrani, Al-Bazar dan Al-Hakim)
Hadiah atau hibah adalah harta yang diberikan kepada penguasa atau
aparatnya sebagi pemberian. Perbedaannya dengan suap, bahwa hadiah itu
diberikan bukan sebagai imbalan atas suatu kepentingan, karena si
pemberi hadiah telah terpenuhi keinginannya, baik secara langsung maupun
melalui perantara. Pada dasarnya hukum pemberian hadiah adalah mubah,
bahkan Rasulullah menganjurkan agar sesama muslim saling memberikan
hadiah. Akan tetapi hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah
termasuk yang diharamkan. Rasulullah SAW bersabda:
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad)
Ketiga, perhitungan kekayaan. Untuk menghindari tindakan
curang, perhitungan kekayaan para pejabat harus dilakukan di awal dan di
akhir jabatannya. Jika ada kenaikan yang tak wajar, yang bersangkutan
harus membuktikan bahwa kekayaan itu benar-benar halal. Cara inilah yang
kini dikenal sebagai pembuktian terbalik yang sebenarnya efektif
mencegah aparat berbuat curang. Akan tetapi, anehnya cara ini justru
ditentang untuk dimasukkan ke dalam perundang-undangan.
Untuk menjaga dari perbuatan curang, Khalifah Umar menghitung kekayaan
seseorang di awal jabatannya sebagai pejabat negara, kemudian
menghitung ulang di akhir jabatan. Bila terdapat kenaikan yang tidak
wajar, Umar memerintahkan agar menyerahkan kelebihan itu kepada Baitul
mal, atau membagi dua kekayaan tersebut, separo untuk Baitul mal dan
sisa separonya diserahkan kepada yang bersangkutan. Muhammad bin
Maslamah ditugasi Khalifah Umar membagi dua kekayaan penguasa Bahrain,
Abu Hurairah; penguasa Mesir, Amr bin Ash; penguasa Kufah, Saad bin Abi
Waqqash. Jadi, Umar telah berhasil mengatasi secara mendasar sebab-sebab
yang menimbulkan kerusakan mental para birokrat. Upaya penghitungan
kekayaan tidaklah sulit dilakukan bila semua sistem mendukung, apalagi
bila masyarakat turut berperan mengawasi perilaku birokrat.
Keempat, penyederhanaan birokrasi. Birokrasi yang berbelit dan
tidak rasional akan membuat segala sesuatu kurang transparan, menurunkan
akuntabilitas, dan membuka peluang korupsi. Demikian juga dengan
prosedur hukum yang diskriminatif, misalnya memeriksa pejabat tinggi
atau anggota DPR harus seizin kepala negara. Akibatnya, tidak jarang
jika korupsi menyentuh lapisan elit itu, penyidikan biasanya terhenti.
Dalam Islam, aturan yang membedakan pejabat tinggi dari rakyat biasa ini
tidak dikenal.
Kelima, hukuman setimpal. Secara naluriah, orang akan takut
menerima risiko yang tidak sebanding dengan apa yang diperolehnya.
Resiko dalam bentuk hukuman berfungsi sebagai pencegah (zawajir).
Penegakan hukum merupakan aspek penting lainnya yang harus dijalankan
dalam sistem Islam. Para koruptor akan mendapat hukuman yang setimpal
dengan tindak kejahatannya. Para koruptor kelas kakap, yang dengan
tindakannya itu bisa mengganggu perekonomian negara, apalagi bisa
memperbesar angka kemiskinan, dapat diancam dengan hukuman penyitaan
harta, pemecatan, kurungan, kerja paksa, sampai hukuman mati. Dengan
begitu, para koruptor atau calon koruptor akan berpikir berulang kali
untuk melakukan aksinya. Apalagi, dalam Islam, seorang koruptor dapat
dihukum tasyhîr, yaitu berupa pewartaan atas diri koruptor. Pada zaman
dahulu mereka diarak keliling kota, tapi pada masa kini bisa menggunakan
media massa.
Perbaikan Budaya Dengan Syariat Islam
Sistem hanya akan efektif diterapkan jika budaya masyarakat mendukung.
Karena itu, syariat Islam juga memberikan panduan tentang bagaimana agar
budaya yang rusak saat ini bisa diperbaiki.
Pertama, teladan pemimpin. Khalifah Umar bin al-Khaththab adalah
penguasa kaum muslim yang berhasil menjunjung tinggi praktik-praktik
kesederhanaan hidup, bahkan pada bajunya terdapat empat tambalan,
makanannya juga makanan yang kasar. Sebelumnya, kesederhanaan hidup juga
digambarkan oleh Khalifah Abu Bakar. Dengan teladan pemimpin,
pemberantasan tindak korupsi menjadi mudah. Mereka juga akan lebih siap
memilih orang-orang bersih untuk menjadi polisi, jaksa, atau hakim,
karena tak takut akan terseret sendiri.
Keteladanan pemimpin adalah langkah selanjutnya yang diharuskan sistem
Islam. Dalam sistem Islam, kemunculan seorang pemimpin mengkuti proses
seleksi yang sangat ketat dan panjang. Seseorang, tidak mungkin menjadi
pemimpin di sebuah propinsi, tanpa melalui proses seleksi alamiah
ditingkat bawahnya. Pola dasar yang memunculkan seorang pemimpin
mengikuti pola penentuan seorang imam shalat. Seorang imam shalat adalah
orang yang paling berilmu, shaleh, paling baik bacaan shalatnya, paling
bijaksana. Seorang imam shalat adalah orang terbaik dilingkungan
jamaahnya. Dari sinilah sumber kepemimpinan itu berasal. Pola ini secara
alamiah, sadar atau tidak sadar, akan diikuti dalam penentuan
kepemimpinan tingkat atasnya. Seorang khalifah (kepala negara) tentulah
bersumber dari imam-imam terbaik yang ada di negara tersebut. Oleh
karena setiap pemimpin merupakan orang terbaik di lingkungannya, maka
dapat dipastikan mereka adalah orang yang kuat keimanannya, tinggi
kapabilitas dan sekaligus akseptabilitasnya. Pemimpin seperti inilah
yang akan menjadi teladan, baik bagi para birokrat bawahannya, maupun
bagi rakyatnya.
Kedua, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau
menghilangkan korupsi. Masyarakat hedonis yang bermental instan akan
cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat.
Sebaliknya, masyarakat yang mulia dan kritis akan turut mengawasi
jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya menyimpang.
Dalam sejarah kepemimpinan pemerintahan Islam, demi menumbuhkan
keberanian rakyat mengoreksi aparat tercatat, Khalifah Umar bin Kattab
telah mengambil inisiatif dan sekaligus mendorong rakyatnya untuk
melakukan kewajibannya mengontrol pemerintah. Khalifah Umar di awal
kepemimpinannya berkata: “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan
Islam, maka luruskanlah aku walaupun dengan pedang” Lalu seorang
laki-laki menyambut dengan lantang “kalau begitu, demi Allah SWT, aku
akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Melihat itu Umar bergembira, bukan
menangkap atau menuduhnya menghina kepala negara.
Pengawasan oleh masyarakat akan tumbuh apabila masyarakat hidup dalam
sebuah sistem yang menempatkan aktifitas pengawasan (baik kepada
penguasa maupun sesama warga) adalah sebuah aktifitas wajib lagi mulia.
Melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penguasa hukumnya adalah
wajib. Ketaatan kepada penguasa tidak berarti harus mendiamkan mereka.
Allah SWT telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk melakukan koreksi
kepada penguasa mereka. Dan sifat perintah kepada mereka agar merubah
para penguasa tersebut bersifat tegas; apabila mereka merampas hak-hak
rakyat, mengabaikan kewajiban-kewajiban rakyat, melalaikan salah satu
urusan rakyat, menyimpang dari hukum-hukum Islam, atau memerintah dengan
selain hukum yang diturunkan oleh Allah SWT.
Dalam bahasa sekarang itu bisa berarti pers (media) dan LSM dipersilakan
lebar-lebar untuk mengawasi perilaku atau gaya hidup para pejabat atau
calon pejabat. Namun, di sisi lain media dilarang untuk menjadi alat
propaganda gaya hidup instan, hedonis, dan konsumtif yang akan
kontraproduktif pada upaya-upaya pemberantasan korupsi.
Perbaikan Individu Dengan Ketaqwaan
Sistem Islam menanamkan iman kepada seluruh warga negara, terutama para
pejabat negara. Dengan iman, setiap pegawai merasa wajib untuk taat
kepada aturan Allah SWT. Orang beriman sadar akan konsekuensi dari
ketaatan atau pelanggaran yang dilakukannya, karena tidak ada satupun
perbuatan manusia yang tidak akan dihisab. Segenap anggota atau bagian
tubuh akan bersaksi atas segala perbuatan kita (QS. Fushshilat [41]:
20).
Manusia memang menyangka bahwa Allah SWT tidak tahu apa yang mereka
lakukan, termasuk tindakan korupsi yang disembunyikan. Hanya orang yang
beriman saja yang yakin bahwa perbuatan seperti itu diketahui Allah SWT
dan disaksikan oleh anggota/bagian tubuh kita yang akan melaporkannya
kepada Allah SWT. Inilah pengawasan melekat (waskat) yang
sungguh-sungguh melekat (QS. Fushshilat [41]: 22-23).
Dengan iman akan tercipta mekanisme pengendalian diri yang andal. Dengan
iman pula para birokrat, juga semua rakyat, akan berusaha keras mencari
rizki secara halal dan memanfaatkannya hanya di jalan yang diridhai
Allah SWT. Rasulullah SAW menegaskan, bahwa manusia akan ditanya tentang
umurnya untuk apa ia manfaatkan, tentang masa mudanya kemana ia
lewatkan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa, serta
tentang ilmunya untuk apa ia gunakan. Bagi birokrat sejati, lebih baik
memakan tanah daripada menikmati rizki haram.
Motivasi positif ini kemudian akan mendorong mereka untuk secara
sungguh-sungguh meningkatkan kualitas, kapasitas dan profesionalismenya.
Karena hanya dengan kemampuan yang semakin tinggilah mereka bisa
semakin mengoptimalkan pelaksanaan tugas mulianya sebagai aparat
pemerintah. Mereka menyadari bahwa tugas utama mereka adalah melayani
rakyat. Wajib atas mereka melaksanakan amanah itu dengan jujur, adil,
ikhlas dan taat kepada aturan negara, yang tidak lain adalah syariat
Islam.
Bukan Sekadar Jargon
Memberantas korupsi bukanlah pekerjaan yang mudah. Aktivitas ini akan
menggerakkan segenap aspek kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan, juga
membutuhkan dukungan dari segenap aparat pemerintahan, masyarakat dan
sistem yang baik. Hanya dengan pemilihan sistem yang terbaiklah, maka
upaya membangun pemerintahan yang baik itu akan menemukan jalan yang
jelas.
Syariat Islam, jika diterapkan secara terpadu, akan mampu menghasilkan
sistem dan budaya yang kondusif untuk mengatasi korupsi dan problematika
lain negeri ini. Percayalah, dengan pola hidup bersih tanpa korupsi dan
dengan menegakkan syariah Islam, kehidupan pejabat maupun rakyat akan
diliputi keberkahan (QS. al-A'râf [7]: 96)
Di sinilah urgensitas seruan penerapan Syariat Islam. Hanya dengan
itulah, upaya memerangi korupsi benar-benar riil, tidak berhenti sebatas
jargon!. Wallâhu a‘lam. (shodiq ramadhan)
sumber: http://www.suara-islam.com/