Surat Terbuka Kepada Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya, Terkait SP3 Dugaan Korupsi di PD Pasar Surya (1)
Masya Allah!. Itu kalimat pertama
saya, ketika membaca koran kita, ada penghentian perkara dugaan korupsi di PD
Pasar Surya, BUMD milik Pemkot Surabaya oleh Kejari Surabaya. Padahal perkara
ini sudah ditingkat penyidikan selama 14 bulan. Alasan penghentian tersebut,
karena ada audit BPKP yang menyebut tidak ditemukan kerugian negara?. Benarkah
tindak pidana korupsi itu harus selalu menunggu ada kerugian negara?. Apa arti
Pasal 3 soal penyalahgunaan kewenangan?. Apa kejaksaan tidak mendalami makna
dari Discretionery corruption dan Mercenery corruption? Dimana letak rasa
keadilan Kejaksaan terhadap memaknai penjelasan UU No. 30 Tahun 2002 tentang
KPK bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan
biasa, melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary
crime). Dengan diberhentikan dugaan korupsi di PD Pasar Surya, benarkah Kejari
Surabaya sudah menjalankan amanat Undang-undang soal korupsi bahwa
pemberantasan tindak pidana korupsi harus dijalankan dengan cara-cara yang luar
biasa. Berikut, catatan pertama, H. Tatang Istiawan, dari beberapa tulisan.
Catatan hukum: H. Tatang Istiawan
Menarik judul Headline harian kita
terbitan hari Kamis kemarin (27/4) yang berjudul ”Kejari Mukri Hentikan Korupsi
PD Pasar”. Dalam berita tersebut disebutkan, sebagai penyidik, Kejaksaan
menemukan unsur perbuatan melawan hukum, tapi pada bulan Maret 2011, kejaksaan
mendapat laporan dari BPKP yang menyimpulkan bahwa dalam kasus dugaan korupsi
di PD Pasar Surabaya,tidak ditemukan kerugian negara.
Wajar bila SP3 yang dikeluarkan oleh
Kejaksaan Negeri Surabaya itu mengundang reaksi dari masyarakat, minimal dari
sejumlah akademisi yang mengajar ilmu hukum di kampusnya. Ada beberapa
akademisi yang mengkritisi kasus SP3 dugaan korupsi PD Pasar tersebut. Mereka
adalah Dr. A Djoko Sumaryanto, SH, MH, dari Ubhara, Dr. Otto Yudianto, SH dari
Untag Surabaya dan M. Syaiful Aris, SH, MH, dari Unair.
Sisi yang menarik dalam SP3 ini
menyangkut penegakan hukum dalam perkara korupsi yang kini sedang ramai
disoroti oleh publik. Kejaksaan, salah satu instansi penegak hukum yang juga
sedang disorot. Ketika Jaksa Agung masih dijabat oleh Abdul Rahman Saleh,
terjadi polemik sekitar pernyataan Anhar, anggota Komisi II dari F-PBR. Ia
mengiaskan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sebagai "ustadz di kampung
maling". Pernyataan Anhar tersebut mengundang reaksi dari kalangan
kejaksaan. Seolah pernyataan anggota DPR-RI itu bukan sekadar slip of the
tongue alias keseleo omong! Pernyataan itu bisa dianggap sebagai buah kesadaran!
Meminjam bahasa Jürgen Habermas bahwa suatu pernyataan bukan sekadar tuturan
(speech), tetapi bagian dari bahasa (language) yang bukan sekadar penggunaan
bahasa dalam konteks komunikasi, tetapi terkait moralitas juga.
Beberapa tahun setelah polemik
”Ustadz di kampung Maling”, ada peristiwa sebuah rekaman yang dibunyikan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam perkara dugaan suap Anggodo terhadap petugas KPK.
Rekaman yang melibatkan petinggi Kejaksaan Agung tersebut menggambarkan sebuah
demoralisasi penegakan hukum di Indonesia. Dari isi rekaman tersebut, terdengar
oknum-oknum pribadi dari penegak hukum sepertinya sudah kehilangan rasa malu
sehingga lebih dekat melakukan konspirasi dengan para koruptor daripada
menyelamatkan negeri Indonesia dari keterpurukan moral pejabat dan penegak
hukumnya. Artinya saat rasa malu sirna, yang muncul adalah tiada kebenaran
hukum. Yang ada hanya konspirasi penegak hukum.
Beberapa hari yang lalu, Jaksa Cirus
Sinaga, mantan JPU terdakwa Mantan Ketua KPK Antasari, dijebloskan ke tahanan
Mabes Polri, dengan sangkaan terlibat dalam perkara penanganan kasus mafia
pajak Gayus Tambunan. Sebelumnya, Jaksa Urip Gunawan, SH, salah satu penyidik
kasus BLBI di Kejaksaan Agung, ditangkap oleh KPK, terlibat penyuapan oleh
Artalyta Suryani, salah satu keluarga obligor.
Beberapa puluh tahun sebelumnya,
Lord Acton, mengingatkan bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan
yang absoulut cenderung korupsi yang absolut. Ungkapan Lord Acton ini
menggambarkan bahwa korupsi itu amat dekat dengan kekuasaan. Dan, pemegang
kekuasaan cenderung bertindak korup. Power tends to corrupt. Segala sesuatu
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadi busuk oleh virus korupsi.
Bisa jadi kemudian demokrasi menjadi rapuh dan keadilan dikerdilkan. Kemudian
etika dinafikan! Oleh karena itu, dalam pembukaan ke-4 United Nations
Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi) tahun 2003 ditegaskan bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah
lokal, melainkan suatu fenomena trans-nasional yang mempengaruhi seluruh
masyarakat dan ekonomi yang mendorong kerjasama internasional untuk mencegah
dan mengkontrolnya secara esensial.
Jalan Pikiran Kejari Surabaya
Dalam berita tersebut dijelaskan
bahwa kasus dugaan korupsi di PD Pasar Surya ini terkatung-katung selama hampir
14 bulan. Kejaksaan Negeri Surabaya, sebelum dipimpin oleh Kejari Mukri, SH,
MH, sudah menyidik Direktur Utama PD Pasar Surya, Kurnia Rusma Dinata beserta
Direktur Keuangannya, Agus Dwi Sasono. Itu artinya, perkara dugaan korupsi di
PD Pasar Surya, bukan lagi penyelidikan, tapi sudah penyidikan. “Kami mendapat
kesimpulan dari BPKP yang menyatakan belum ada kerugian Negara yang dapat
dihitung secara nyata dalam perkara ini. Atas dasar itulah kita putuskan untuk
menghentikan penyidikan, karena memang tidak ada kerugian Negara dalam kasus
ini. Kita terima hasil audit (maksudnya dari BPKP) pada bulan Maret lalu,” ujar
Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri Surabaya, Danang Suryo Wibowo,
seperti ditulis harian kita hari Kamis legi, tanggal 28 April 2011.
Saya tidak habis mengerti jalan
pikiran Kejaksaan Negeri Surabaya dalam kasus dugaan korupsi di PD Pasar Surya
seperti itu. Dalam UU No. 31 tahun 1999 juncto Undang-undang No. 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur dua pasal karet yang sering
didakwakan kepada para tersangka dan terdakwa, karena kedua pasal tersebut
mudah menjangkau setiap orang. Pertama Pasal 2, terkait tindak pidana korupsi
dengan memperkara diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi. Kedua, Pasal 3
yang menyangkut penyalagunaan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan atau
kedudukan.
Dalam kasus dugaan korupsi di PD
Pasar Surya, sejumlah pedagang resah kemudian lapor ke Kejaksaan. Keresahan
masyarakat, disebabkan sewa stan yang mencekik leher. Disebutkan harga baku
stan Rp 750 ribu/m2 setiap tahun. Sedangkan harga lols Rp 542 ribu/m2 setiap
tahun. Harga baku ini tidak mengatur perbedaan harga perlantai dan lokasi
pasar. Dalam praktik, pimpinan PD Pasar Surya, BUMD milik Pemerintah Kota
Surabaya itu, memainkan harga alias mark up yaitu stan di pinggir dan lantai
bawah, harganya lebih tinggi daripada stan yang berlokasi di tengah dan di
lantai atas. Pasar-pasar yang dicurigai dimainkan harganya atau murk up
terletak di Pasar Kapasan, Pasar Wonokromo, Pasar Genteng dan Pasar Tambahrejo.
Pasar-pasar tersebut yang semula pasar tradisional dikembangkan menjadi pasar
modern, sehingga muncul stan-stan baru yang dikelola PD Pasar Surya.
Nah, terkait dengan modus operandi
menjual stan berbeda-beda, antara stan di pinggiran dengan di tengah, atau stan
di lantai bawah dengan di lantai atas, yang perlu ditanyakan pertama, apakah
perbedaan harga tersebut sudah ditetapkan melalui aturan hukum yang legal?
Kedua, apakah selisih stan-stan tersebut masuk ke kas Pemkot Surabaya. Ketiga,
apakah BPKP sudah melakukan audit investigasi? Minimal tiga pertanyaan kunci
ini layak kita persoalkan kepada Kejaksaan Negeri Surabaya. Maka itu, saya
menulis surat terbuka kepada Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya.
Manakala, belum, masyarakat atau
arek-arek Soroboyo, baik perorangan, kelembagaan masyarakat (LSM) atau
organisasi masyarakat (Ormas) dapat mempraperadilan Kejari Surabaya,
berdasarkan Pasal 41 UU No. 31 Tahun 1999. atau melaporkan ke Kejaksaan Agung
dan KPK. Dan minta diadakan gelar perkara secara transparan. Dalam pasal 41
ayat (1) dijelaskan bahwa Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ayat (2), Peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk : (a)
hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjai
tindak pidana korupsi: (c) hak menyampaikan saran dan pendapat secara
bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi. Ayat (3) disebutkan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Kepedulian saya terhadap penghentian
perkara dugaan korupsi di PD Pasar Surya, selain mengacu pada UU Tipikor, juga
Pasal 108 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP yaitu : ”Setiap orang yang mengalami,
melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak
pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan
atau penyidik, baik lisan maupun tertulis”
Pasal 41 ayat (5) UU No. 31 tahun
1999 disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut akan diterbitkan Peraturan
Pemerintah untuk mengatur tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 1 angka (1) Peraturan
Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2000 menyatakan ”Peran serta masyarakat adalah
peran aktif perorangan, organisasi masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.” Penjelasan Pasal 3
ayat (2) PP No. 71 Tahun 2000 dijelaskan bahwa ”setiap informasi, saran atau
pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak
hukum.” (bersambung). tatangistiawan@gmail.com