Keseriuan pemberantasan korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum di Jawa Timur mulai diragukan. Munculnya
fenomena seperti penghentian kasus korupsi, juga banyaknya koruptor yang
akhirnya menikmati udara bebas, karena lolos dari jeratan hukum, seakan
mewarnai pemberantasan korupsi di Jatim.
Oleh: Luthfi J. Kurniawan
Aparat penegak hukum sering memersepsikan banyak kasus yang terindikasikan tindak
pidana korupsi hanya merupakan penyimpangan administratif. Hal ini menandakan
bahwa lokomotif penegakan hukum (law enforcement) tidak berjalan.
Korupsi itu seperti gunung es. Pemberantasan korupsi di Jatim, mulai korupsi
jenis teri dan big fish tidak pernah diselesaikan sampai pada akar
persoalannya. Yang dilakukan oleh pemimpin politik-pemerintahan (pejabat
publik), korupsi hanyalah dijadikan komoditas politik, tidak lebih dari itu!
Sedangkan bagi penegak hukum hanyalah dijadikan semacam ”rumbai-rumbai” dalam
sebuah pesta, biar kelihatan meriah dan hiruk pikuk dalam kerja pemberantasan
korupsi. Padahal kenyataannya tidak “berjalan di tempat”.
Ada kecenderungan pemberantasan korupsi di Jatim ini telah mengalami
pergeseran. Coba dilihat berbagai kasus korupsi penyelesaiannya banyak yang
tidak berujung. Ada yang divonis bebas murni, ada yang divonis lepas dari
tuntutan hukum, ataupun lebih tragis lagi kasus korupsi aspek pidananya
direduksi kemudian menjadi kesalahan administrasi.
Secara yuridis praktik korupsi telah direduksi makna dan hakekat kriminalnya
yang tentu sebagai bentuk pelanggaran HAM berat. Saat ini korupsi seolah-olah
hanya melanggar administrasi (maladministration) ataupun ”hanya” melanggar etik
politik.
Kenyataan seperti itu hampir setiap hari terjadi. Sungguh kita ini menjadi
bangsa yang naif nan pelupa. Padahal korupsi itu sungguh jelas, sangat mudah
terlihat oleh orang awam hukum sekalipun karena korupsi dikerjakan hampir
selalu bersama-sama dan biasanya selalu terorganisir.
Sungguh ironis, kalau tidak dapat dijerat oleh hukum. Inilah yang disebut
dengan istilah Hukum Indonesia tidak punya mata dan Pengadilan di Indonesia
tanpa hati, jadi pemberantasan korupsi di Indonesia tanpa akal sehat. Ibaratnya
seperti pagelaran yang kesepian.
Coba kita lihat definisi korupsi, ”Suatu tindakan yang mengambil hak orang
secara terencana maupun tidak, untuk memperkaya diri sendiri, kelompok, orang
lain yang berakibat pada kerusakan dan kerugian bagi pihak lain”.
Pelanggar HAM
Oleh karena itu, maka koruptor itu lebih jahat dari para perampok sekalipun dan
koruptor adalah pelanggar HAM berat, karena dapat merugikan dan menyengsarakan
banyak orang. Dana APBD yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, dikorup
oleh pejabatnya. Dan pejabatnya melakukan semacam unholly coalition dengan
penegak hukum, maka sempurnalah kejahatan korupsi. Kasus ini termasuk yang
terjadi di daerah. Hukum Indonesia kan sentralistik
Fenomena seperti di atas, semakin menunjukkan pemberantasan korupsi di
Indonesia, khususnya di daerah termasuk di Jawa Timur gagal. Lebih tepatnya,
penanganan kasus korupsi di Jawa Timur tidak ada yang serius. Adapun
paling-paling melaksanakan perintah/penugasan atasan ataupun bisa jadi
penanganan kasus korupsi ”mungkin hanya” dijadikan proyek untuk kenaikan
pangkat atau sejenisnya.
Untuk itu di Jawa Timur tidak terlalu berharap banyak. Paling-paling
penanganannya ya...begitu saja, setiap tahunnya banyak tidak berujung. Kalaupun
ada ya... diawalnya saja ramai di tengah dan belakangnya endingnya menjadi
kabur bahkan gelap.
Padahal dengan kondisi penanganan korupsi seperti itu, dampaknya begitu luas.
Secara Politik, buruknya pelayanan kepada kepentingan publik, diskriminasi
hukum dan kebijakan, melahirkan kebijakan yang korup. Secara Ekonomi (pengrusakan
terhadap investasi SDM), adalah pemusatan ekonomi pada segenlintir orang,
diskriminasi kebijakan, ekonomi biaya tinggi, pemerataan dan pertumbuhan
ekonomi menjadi terhambat. Dan Secara Budaya, membangun pola hidup yang
“hipokrit”, membangun budaya menjilat, mendidik masyarakat jadi penipu, serta
membangun caring culture dalam pelayanan publik.
Hukum Progresif
Lantas siapa yang salah? Yang salah adalah semuanya. Baik orang maupun
isinya/aturannya. Hukum di sini kurang progresif (pinjam istilahnya prof.
Satjipto Rahardjo). Dan orangnya (penegak hukum) pada belepotan semuanya.
Ada adagium begini, bagaimana akan menyapu lantai dengan bersih kalau sapunya
belepotan kotoran, pasti lantainya kotor terus meskipun sudah disapu ribuan
kali. Kira-kira begitulah situasi kita sekarang.
Jadi secara sistemik, perangkat hukum kita sedang payah. Indonesia bisa
mengurangi korupsi (termasuk di Jawa Timur) kalau ada pembenahan dan perbaikan
ataupun pembersihan di sektor Lembaga Peradilan. Tanpa itu dilakukan janganlah
bermimpi korupsi dapat dieliminasi.
Kendati korupsi sulit dieliminasi, bukan berarti tak ada cara untuk melawannya.
Bahkan sebenarnya, untuk menyelesaikan berbagai kasus korupsi sangatlah mudah,
yakni dengan membangun sebuah effort. Misalnya dalam agama mengajarkan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar.
Jadi kalimat ini jangan hanya dikoma pada Amar Ma’ruf saja, tapi Nahi
Munkar-nya kapan-kapan. Kalau begini caranya ya...susah. Kalau cuma mengajak
dan menyerukan saya pikir semua bisa, tapi kalau melawan koruptor (korupsi)
orang kan masih lihat-lihat. Si koruptor mau dilawan ternyata ”dermawan” di
kampung.
Itulah faktanya. Publik masih permisif terhadap pelaku korupsi. Dan si koruptor
tahu sisi sosiologis dan psikologis itu. Dan tentu hal ini terjadi karena si
koruptor “agamanya” macam-macam. Ideloginya tergantung kepentingan. Nilai
sosialnya biasanya serakah. maka "klop" sudah koruptornya serakah,
masyarakat masih permisif. Secara sederhana misalnya, orang yang terindikasi
korup tidak perlu diundang dalam istighosah atau selamatan di kampung. atau
pejabat yang terindikasi korupsi tidak boleh menyumbang Musholla, Gereja dll.
Hal ini harus teguh dan konsisten di jalankan, pasti lambat laun mereka akan
malu secara sosial di kampungnya.
Tapi yang terjadi saat ini, bukanlah demikian. Baru jadi pejabat satu tahun
atau naik pangkat satu tahun mobil baru, rumah baru dan masyarakat hanyalah
memaklumi saja. Pantas dia dapat semuanya karena jadi pejabat. Atau yang lebih
ironis masyarakat minta sumbangan kepada pejabat baru tersebut. Kenapa ini
terjadi? Ya...itulah yang disebut bahwa korupsi telah menjadi sebuah upacara
pencurian hak publik; institutional crime. Hal itu dilakukan seolah-olah sesuai
dengan undang-undang. Jika dahulu korupsi dilakukan secara personal, sekarang sudah
melembaga bahkan seolah-olah dipayungi lembaga yang ada.
Zona Anti Korupsi
Jadi dengan situasi seperti ini ada empat hal yang harus dilakukan, pertama,
nyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang dalam bahaya dari korupsi
(emergency state). Dan harus dipimpin oleh presiden-gubernur-walikota/bupati.
Kedua, korupsi harus dilawan dengan jihad. Bagi saya ketika sebuah umara
menjadi sebuah rezim yang korup maka sudah selayaknya dilawan dan harus
bersedia mewakafkan dirinya utk berjuang demi kemaslahatan.
Ketiga, mulai saat ini berhentilah rakyat hanya dijadikan instrumen belaka.
Bangunlah teologi transformatif untuk rakyat agar mampu merebut haknya.
Misalnya bangunlah kelompok-kelompok kritis untuk melawan koruptor, sehingga
tercipta semacam zona-zona antikorupsi (Island of Integrity).
Keempat, sistem lembaga peradilan harus ada reformasi, harus ada reformasi
birokrasi, harus ada pembersihan aparat, jangan mereduksi unsur kriminalitas
korupsi.
*Luthfi J. Kurniawan, adalah Ketua
Yayasan Malang CorruptionWatch (MCW) dan Koordinator Jaringan Antikorupsi
Jatim.