Oleh: YANTO
Belum usai diberitakan pengusutan dugaan kasus korupsi pada daerah
tertentu, masyarakat dihadapkan lagi dengan kasus korupsi baru. Kini
korupsi menjadi topik utama dalam wacana masyarakat. Kendatipun demikian
belum satupun obat yang terbukti manjur dalam memberantas epidemi
korupsi. Akibatnya sebagian masyarakat merasa pesimis dengan agenda
pemberantasan korupsi. Sebab, agenda itu hanya menyentuh masyarakat
didaerah saja sementara dipusat belum terfaktakan samasekali. Sedangkan
sebagian masyarakat lain merasa keadaan ini merupakan langkah maju dari
upaya yang pernah dilakukan. Oleh karenanya dibeberapa tempat marak
dilakukan pengajuan kontrak politik dari kalangan elemen masyarakat
kepada anggota dewan terpilih untuk menghindarkan diri dari korupsi
dengan berbagai modus.
Bak cendawan di musim hujan. Jumlah kasus-kasus korupsi yang di ungkap
sungguh melewati nalar dan akal sehat bangsa kita. Dari segi jumlah
nilainya. Jumlah anggota dewan yang terlibat. Jumlah kota maupun
kabupaten tempat korupsi. Termasuk juga jumlah modusnya yang
bermacam-macam. Sudah sedemikian hinakah bangsa kita. Sehingga,
sampai-sampai, anggota dewan yang seharusnya menjadi panutan dan teladan
masyarakat, justru tak dapat digugu dan ditiru akhlaknya.
Tidak semua pihak merasa gembira dengan maraknya upaya kejaksaan
mengintai setiap gerak-gerik anggota dewan. Pengungkapan korupsi ini
tentu saja menimbulkan berbagai perasaan dibenak masyarakat. Di satu
sisi menciptakan rasa was-was. Bukan tidak mungkin masyarakat juga
menyadari. Bahwa mereka sesungguhnya punya andil dalam melestarikan
korupsi. Seperti pepatah, jika tidak ada yang menyuap tentu saja tidak
akan ada yang menerima suap. Rasa was-was ini sangat berbahaya karena
dapat memadamkan semangat memerangi korupsi.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum)Kejasaan Agung, Kemas
Yahya Rahman, kasus dugaan korupsi anggota DPRD provinsi dan
kabupaten/kota terjadi hampir disemua provinsi. Melibatkan lebih dari
300 anggota legislative dengan kerugian negara ratusan miliar. Belum
termasuk yang ditangani kepolisian. Dan Kemas menduga, anggota dewan
yang terlibat kasus korupsi masih bisa bertambah jumlahnya. Selama enam
bulan terakhir total korupsi yang dilakukan anggota DPRD tercatat lebih
dari Rp 394 miliar, yakni di 59 DPRD. Nilai ini sebatas data yang
dihimpun dari berbagai media massa nasional (pos info 2-8 September
2004)
Sampai dengan saat ini kebanyakan masyarakat masih terpaku melihat
fenomena pengungkapan kasus korupsi. Perkara ini memang sulit untuk
dijelaskan. Belum ditemukan pemaparan para ahli dibidang social mengenai
sakit yang melanda bangsa ini. Oleh karenanya, kita sebut saja gejala
sakit masyarakat ini sebagai hyper corruptus. Yaitu suatu keadaan dimana
korupsi sebagai bentuk penyimpangan moral telah melewati batas-batas
nalar kemanusiaan kita sebagai bangsa beradab. Bangsa dengan lima sila
yang agung. Yang selalu menyelaraskan kehendak berke-Tuhan-an sekaligus
berkemanusiaan. Menjadikan hubungan antar individu dalam masyarakat
dalam konteks interaksi yang diwarnai nilai-nilai persatuan dan
keadilan.
Dampak korupsi telah menghancurkan sendi-sendi dalam kehidupan
berbangsa. Malang Corruption Watch (MCW), 2003,menjabarkan hal sebagai
berikut. Ditinjau dari aspek politik dapat dilihat manakala proses
politik itu didasarkan bukan membawa kepentingan masyarakat secara umum,
tetapi lebih didasarkan atas kemauan dan kepentingan untuk
maksud-maksud tertentu dengan membawa agenda pribadi yang dibungkus
kepentingan masyarakat. Contohnya, pada bentuk-bentuk kolutif pemilihan
walikota/bupati. Penyusuna/pembuatan perda. LPT/LPJ Bupati/walikota.
Pemenangan tender proyek dan pada perijinan yang diskriminatif.Alih-alih
terjadilah apa yang disebut lemahnya pelayanan terhadap kepentingan
publik. Selain itu menimbulkan diskriminasi hukum dan kebijakan.
Kemudian mengarah pada legalisasi produk kebijakan yang korup.
Ditinjau dari aspek ekonomi, korupsi selalu dilakukan dengan cara-cara
tidak sah dalam mendapatkan sesuatu melalui pola dan modus yang
memanfaatkan kedudukan. Dampaknya, terjadi pemusatan ekonomi pada elit
kekuasaan. Yang dimaksud kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam arti
pengambil kebijakan (DPRD dan Bupati/Walikota) dan kekuasaan modal
(pengusaha) untuk melakukan aktifitas ekonomi. Disini MCW memberi
catatan sebagai berikut, "Apabila aliran dana ekonomi berputar pada
ketiga kelompok tersebut maka kelompok lain yaitu masyarakat yang tidak
cukup punya modal dan kemampuan untuk menembus birokrasi pemerintahan
akan tetap mengais rejeki dari sisa-sisa kelompok pemodal.
Dari segi aspek social-budaya lebih mengerikan lagi. Sebagai dampak
adanya korupsi, maka akan membawa pemahaman baru bagi masyarakat tentang
makna pemerintahan, aktifitas bermasayarakt atau proses bersosialisasi
dengan sesama. Terkait dengan hal demikian, adalah bagaimana korupsi
mampu merubah pandangan hidup masyarakat yang penuh semangat kekeuargaan
menjadi masyarakat yang berberfaham kebendaan.Diamana masyarakat kita
yang suka menolong berubah sedemikian rupa menjadi masyarakat yang
pamrih setiap membantu yang lain.
Mempertanyakan kembali moralitas kita sebagai bangsa yang menjunjung
tinggi nilai-nilai moral, mutlak dilakukan. Kita tidak perlu merasa
rendah diri. Apalagi merasa malu untuk memperbaiki keadaan yang sudah
sedemikian rusaknya. Sebaiknya, kita merasa kehilangan kehormatan.
Ketika bangsa lain mengarahkan telunjuk dengan sinis kepada kita sebagai
bangsa yang tidak mampu memperbaiki diri. Mereka akan bertanya dimana
nilai-nilai dan pranata masyarakat kita sebagai bangsa yang diwarnai
adat ketimuran.
Penulis: adalahMahasiswa FE Universitas Muhammadiyah Malang
http://re-searchengines.com/