Advokat Senior Otto Cornelis Kaligis memang sering mendampingi tersangka atau terdakwa dalam kasus korupsi. Sejumlah koruptor pernah merasakan dibela Kaligis,
misalnya Aulia Pohan dan Anggodo Widjojo. Namun, bukan berarti Kaligis
tak ingin negeri ini bebas dari korupsi. Ia mengungkapkan beberapa
faktor yang menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
“Salah satu faktornya adalah adanya hak imunitas bagi para hakim terhadap putusan yang dibuatnya,” ujar Kaligis ketika menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh United Nations Office on Drugs and Crime di Jakarta, Rabu (27/4).
Kaligis menunjuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 9
Tahun 1976 yang menyatakan hakim tak bisa dimintai pertanggungjawaban
secara hukum terhadap putusan yang dibuatnya. Artinya, dalam menjalankan
tugasnya itu, hakim tak bisa dipidana maupun digugat secara perdata.
Padahal, dalam BAB XXVIII KUHP,
diatur secara khusus kejahatan yang dilakukan dalam jabatan seorang
pejabat publik. “Hakim, jaksa, dan polisi kan termasuk sebagai pejabat
publik,” ujar Kaligis. Namun, upaya menjerat hakim nakal yang “bermain-main” dengan putusannya menjadi sulit dengan hadirnya SEMA tersebut.
Kaligis mengungkapkan modus para hakim yang melakukan abuse of power
tapi tak bisa dipidana karena adanya SEMA itu. Salah satunya adalah
pengabaian bukti yang ditemukan dalam persidangan. Padahal dalam Pasal
185 KUHAP, lanjutnya, bukti yang ada di persidangan adalah bukti yang
valid.
“Dalam
praktik sering terjadi pengingkaran terhadap bukti yang ada di
persidangan. Hakim kerap tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang ada
dalam persidangan. Misalnya, dalam kasus Antasari, Aulia Pohan, dan
Rusli Simanjuntak,” jelas Kaligis lagi.
Kaligis
juga menceritakan kasus lain ketika mendampingi kliennya yang didzalimi
oleh putusan hakim. Yakni, Rustandi Yusuf sebagai pemilik Hotel Aston
di Tanjung Benoa, Bali yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat. “Dia dinyatakan pailit atas permohonan satu kreditur.
Padahal UU Kepailitan menyaratkan minimal harus ada permintaan dua
kreditur,” tandasnya.
Hati Nurani
Kabareskrim
Mabes Polri Ito Sumardi menyatakan hakim adalah manusia yang bisa
berbuat salah. Menurutnya, harus ada kewenangan yang bisa mengkontrol
hakim agar tidak berbuat salah. Selama ini, lanjutnya, memang ada Komisi
Yudisial (KY) yang berwenang mengawasi hakim.
Namun, kewenangan KY itu hanya sebatas pelanggaran kode etik. Apalagi,
KY tak bisa memeriksa materi perkara. “Kalau persoalannya sudah masuk
materi perkara, ini yang sulit,” ujarnya. Pasalnya, dalam UU Kekuasaan
Kehakiman, hakim memutus perkara berdasarkan fakta dan hati nurani.
Faktor hati nurani ini yang sulit untuk diukur.
Berdasarkan catatan hukumonline,
diskusi seputar permintaan tanggung jawab hukum kepada hakim terhadap
putusan yang dibuatnya ini bukan hal yang baru. Sebelumnya, Profesor
Hukum dari Universitas Utrecht Belanda A.W. Jongbloed menyebut konsep
ini sebagai konsep Judicial Liability.
Konsep
ini sudah diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Seorang hakim bisa dimintai ganti rugi bila putusannya terbukti salah
dan merugikan pihak yang berperkara. Jongbloed menganjurkan agar konsep
pertanggungjawaban personal hakim ini juga dianut oleh Indonesia.
http://hukumonline.com/