Republik Koruptor
Kamis, 28 April 2011
Hari-hari ini Indonesia terus berkabung di sebuah lorong kebatilan.
Bencana demi bencana hadir meruyaki negeri ini. Sepertinya kian
memperluas samudra kesengsaraan anak bangsa yang terus mengalirkan air
mata kesedihan di tengah gersangnya kejujuran, keadilan, dan kesehatian.
Tangisan 200 juta lebih rakyat meledak dan memecah keheningan lantaran
mulainya matinya nurani para petinggi negeri ini.
Kasus KPK vs Polri dan sejumlah indikasi kriminalisasi institusi
yang terjadi akhir-akhir ini mungkin dapat disebut sebagai sebuah
apologi nasionalisasi korupsi yang tengah berdentang keras dari Sabang
sampai Merauke, hingga memekikkan kemiskinan dan ketidakadilan masif
(Rosse Ackerman,1999).
Kerakusan, mental menerabas, dan teatrikal kebohongan penguasa
tumpah ruah di persada. Sebuah proses 'pemerdekaan' narsisisme kolektif
tengah mencelat. Tesis yang terajukan saat ini, negara telah gagal
menggaransikan keterjaminan kepada bangsa akan hak-hak mengenyam sumber
daya secara kooperatif dan adil. Kotak pandora sosial: bunuh diri
rakyat, letupan emosi dan kristalisasi kemurkaan, vandalisme, dan hobi
jalan pintas, yang berakhir pada tabiat destruktif oleh rakyat, dewasa
ini, secara seragam dan tunggal hanya dapat dibaca dan dicarikan
kuncinya pada ketidakkonsistenan pemimpin menegakkan aturan kekuasaan
sebagai sebuah supremasi moral.
Negara selalu melibas berbagai penyimpangan kemerdekaan bersikap di
depan cermin kemartabatan dengan alibi-alibi yang inkonstitusional. Maka
tak dapat disangkal lagi bahwa harga diri sebagai bangsa berada di
laras kematian nurani. Sebuah realitas buruk yang menjadikan kita terus
tersuruk dalam kepahitan arus dekadensi moral bernegara tanpa sedikit
pun mau menyadarinya.
Sayatan otoriterisme
Para politikus (free rider), yang menyergap gerbong reformasi dengan
mengubah mantel kekuasaannya, sekejap mengintonasi diri sebagai
demokrat. Padahal, setiap zaman (kerajaan, penjajahan Belanda, Jepang,
era Orde Lama, Orde Baru, bahkan sampai kini) pemerintahan kita selalu
dinihilisasi ketiadaan pengalaman sahih berdemokrasi. Berdemokrasi kita
cuma hadir pasca-1945-1955, sebelum berakhir dengan hadirnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, para politikus cuma layak disebut
sebagai pemerkosa demokrasi yang lihai memainkan pesona kekuasaan di
lingkaran para cukung dan kerumunan mafioso jahat.
Insting keperilakuan elite-elite bangsa selalu tak terselami
rasio-moralitas. Orientasinya hanya bisa dimengerti dalam kaca mata
kekuasaan. Semangat kekuasaan itu semata-mata menonjolkan privatisasi
politik yang membekukan kebersamaan dan solidaritas sosial. Kata
Nietzche, sejatinya manusia harus terus-menerus menceburkan dirinya
dalam konflik/peperangan untuk mengaktualisasi dan menjernihkan
kekuatannya.
Lima pergantian presiden dalam 10 tahun reformasi, rakyat dibiasakan
tidak menggugat dan menagih janji-janji pemimpinnya sehingga
instabilitas politik, sosial, budaya, dan ekonomi terjun bebas dalam
kerangkeng amnesiaisme publik. Kepercayaan diri politik rakyat untuk
menghakimi dosa politik pemimpin masih ditorehi luka sayat otoriterisme
Orba yang belum sembuh benar. Ini dimanfaatkan para penggila kekuasaan
sekarang sebagai pasar politik empuk mendestinasikan kepentingannya
dengan propaganda lipstikal. Selepas pergantian kepemimpinan, selalu
yang terjadi adalah permainan dimulai dari titik nol, zero sum game.
Maka setiap preseden pemerintahan tidak pernah berpreferensi politik
untuk mengevaluasi sekaligus menghukum berbagai keputusan politik yang
menyimpangi kehendak rakyat.
Warisan soal yang memuat kekalahan wong cilik tak pula menggugah
sukma meski terbelakangnya republik ini tak lain karena dosa
pemimpinnya. Itu sebabnya Bung Karno dalam otobiografinya tentang
anaknya--yang ditujukan untuk Guruh Soekarnoputra--berharap, 'apa pun
dia jadinya kelak, terserah kepada hari depannya, cuma satu doaku
untuknya, semoga dia tak terpilih menjadi presiden, kehidupan itu
sungguh berat'. Imbauan ini pun bisa dideretkan secara representatif
pada jabatan di bawahnya, seperti bupati/wali kota atau gubernur.
Hal terberat menjadi presiden--atau bupati/wali kota/gubernur--bagi
bangsa sepluralis dan seluas Indonesia ini adalah bagaimana memadukan
komitmen dan perilaku dengan indikator pengorbanan. Bukan political will
semata, melainkan political commitment yang mewujud dalam aksionalisasi
kepemimpinan representatif-populis. Artinya, yang dirujuk dan dilakukan
pemimpin, merupakan cerminan kebutuhan rakyat-bangsa bukan duta sebuah
prosmikuitas politik-pasar yang merenggut nyawa pembangunan pro-poor
(prorakyat miskin) seperti yang diperlihatkan dengan telanjang, saat
ini. Pornografi politik paling santer adalah ketika dramatisasi
pemberantasan korupsi tidak tuntas diselesaikan sampai kini. Mereka yang
memiliki julukan sebagai panglima hukum di negeri ini malah sebaliknya
ramai-ramai menzalimi kristalitas ayat hukum itu sendiri di depan
rakyat.
Rakyat kian tidak percaya lagi pada negara ini karena nyaris dihuni
komplotan penjahat kakap yang mengaduk-aduk rasionalitas rakyat dengan
justifikasi menyesatkan. Lihatlah sumpah demi sumpah dengan dalil
akhirat dan kematian berlomba diucapkan mereka. Tetapi perilaku mereka
sudah jauh lebih dahulu menelanjangi perilaku amoralnya. Rakyat tahu,
jabatan dan kedudukan politis telah memperbudak para pejabat untuk
semampu mungkin melakukan penjarahan sumber daya bangsa ini tanpa
menyisakan tekanan yang berarti.
Saya teringat fabel klasik, Karel Frederic Winter dalam Lajang
Dongenging Sato Kewan, berhuruf Jawa (1850). Fabel itu mengisahkan
seekor tikus yang bermain di dekat singa yang tidur pulas. Singa merasa
terganggu. Sekali gebuk, tikus itu sudah dalam cengkeramannya, hanya
tinggal dicaplok. Tapi, rupanya sang singa sadar, dirinya terlalu tinggi
dan tangguh untuk membunuh cuma seekor tikus. Membunuh binatang lemah
akan mengurangi wibawanya. Tikus itu pun dilepasnya. Saat singa
jalan-jalan mencari angin ia seketika terjebak jerat pemburu. Ia
meraung-raung, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Giliran tikus menjadi dewa
penyelamat. Tikus mengerat serat-serat jaring hingga singa berhasil
lepas. Ironisnya, kita setelah jadi singa tak mampu berjiwa besar dan
setelah jadi tikus tidak tahu membalas budi.
Korupsi memang harus dibasmi untuk menghadirkan atmosfer
pemerintahan yang lebih bersahabat dengan rakyat, terutama lewat
pengadilan konstitusional yang bermartabat (bdk Heru Leluno, 2008). Di
tengah berkeliarannya 'tikus-tikus' (koruptor) pengerat aset republik,
kita butuh negarawan asketisisme yang menjunjung tinggi kesederhanaan,
kejujuran, dan kerelaan berkorban untuk menegakkan hukum dan keadilan
setegak-tegaknya seperti teladan Socrates. Bukan sosok elite/pemimpin
kerdil yang bermental singa, tapi berjiwa tikus yang sukanya nyolong,
takut dilihat orang.
Sumber: Media Indonesia Online
Tags:
Tongkrong