Oleh: Drs. I Ketut Wiana, MAg
Api sakya gatir jnatum
Patatah khe patatrinam
Na tu pracchannabhavanam
Yuktanam caratan gatih
(Kutipan Athasastra)
Artinya:
Lebih mudah mendapatkan jejak kaki burung terbang di angkasa daripada
mengikuti gerak gerik para pegawai negara yang secara sembunyi-sembunyi
mengkorupsi uang negara.
HARI Anti Korupsi Sedunia hendaknya
dijadikan suatu momentum tahunan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual
ke dalam lubuk hati sanubari masyarakat luas untuk meningkatkan semangat
menghilangkan niat dan kesempatan korupsi dalam semua lini kehidupan
bermasyaakat dan bernegara.
Menghilangkan penyakit korupsi dalam
masyarakat tentunya tidak mungkin hanya dengan demonstrasi, apalagi
dengan cara-cara yang brutal menghujat kiri kanan. Démontrasi itu
sebagai proses untuk mengingatkan dan membangun semangat antikorupsi.
Demonstrasi mestinya sopan dan damai, namun penuh dmamika bersistem
untuk menanamkan jiwa antikorupsi pada masyarakat di semua tingkatan.
Demonstrasi barulah sebagai salah satu proses membangun semangat
antikorupsi.
Pernyataan Arthasastra yang dikutip di awal tulisan
mi menandakan bahwa korupsi di kalangan sejumlah oknum pegawai atau
oknum pejabat memang sudah menjadi kebiasaan dari zaman dulu. Manajmen
pengawasan yang bersifat ilmiah sudah banyak dilakukan di berbagai
negara di dunia. Namun, korupsi selalu ada. Korupsi dapat
memporakporandakan perekonomian. suatu negara. Bahkan dapat merembet ke
berbagai nega-; ra sekitarnya dan dapat rner- embet ke aspek sosial
.politik yang lebih serius.
Pada zaman Majapahit ada juga
tindakan menyeleweng atau korupsi dari para pegawai atau para pejabat
negara. Korupsi pada zaman Majapahit disebut “maling matimpuh”.
Artinya, mencuri uang negara dengan cara yang sangat mudah sambil
bersimpuh di kantor. Matimpuh adalah sejenis duduk santai, tidak perlu
repot-repot. Sambil duduk santai, mengkorupsi uang negara yang notabene
adalah uang rakyat.
Meskipun korupsi sudah menjadi kebiasaan
yang sudah berumur sangat tua, namun semua pihak tidak boleh berhenti
mengupayakan memberantas korupsi. Langkah-langkah manajemen pengawasan
yang dilakukan di berbagai negara bukan tidak membawa hasil.
Setidak-tidaknya, dapat mengurangi kuantitas dan kualitas tindakan
korupsi.
Faktor Luar
Ada berapa kondisi yang
memang menjadi pemicu kuat mendorong orang korupsi. Salah satunya, gaji
pegawai yang sangat kecil yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup minimum. Bahkan, kadang-kadang kebutuhan fisik minimum pun belum
mampu terpenuhi. Sedangkan kebutuhan primer sangat mendesak Meskipun
demikian, bukan berarti karena rendahnya gaji lalu korupsi dianggap sah
dan wajar. Apalagi pada kenyataannya mereka yang korupsi adalah yang
sudah mendapatkan penghasilan dari negara lebih dari cukup.
Yang
terungkap melakukan tindakan korupsi adalah mereka yang punya kekuasaan.
Mereka umumnya sudah hidup berkecukupan. Ada oknum yang pejabat
Gubernur, Bupati atau pejabat tinggi di lembaga pemerintahan atau
lembaga negara. Yang banyak merisaukan adalah masa depan anak-anak
mereka yang tidak jelas.
Suatu hari saya ketemu dengan sepasang
wisatawan dari Eropa yang sudah berumur cukup lanjut. Mereka datang ke
berbagai negara untuk menghabiskan sisa tabungan hari tuanya untuk
menikmati masa pensiunnya. Saya tanya, apa tidak sebaiknya tabungan itu
diwariskan kepada anak cucunya. Dia menjawab bahwa anak cucunya sudah
dijamin hidupnya oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka tidak
perlu khawatir pada masa depan anak cucunya.
Nah, agaknya tidak
terjaminnya kehidupan anak cucu mendapat pendidikan dan pekerjaan untuk
hidupnya inilah sebagai salah satu penyebab orang terdorong untuk
korupsi terutama bagi yang tidak kuat moral dan mentalnya. Setiap orang
ingin tenang meninggalkan dunia ini dengan meyakini anak cucunya
mendapatkan hidup yang layak dan wajar setelah ditinggalkan ke dunia
rohani. Hal itu salah satu di antara banyak faktor pendorong korupsi
dari unsur luar.
Faktor Dalam
Yang paling
memegang peranan munculnya korupsi adalah faktor dalam seperti lemahnya
pertahanan mental para koruptor. Ada banyak oknum pegawai atau pejabat
swasta maupun pemerintah yang hidupnya mengejar jabatan untuk memperkaya
diri dengan melanggar agama dan hukum. Banyak pihak yang memperjuangkan
diri untuk menjadi pejabat meskipun tidak punya idealisme dan konsep
untuk menjalankan jabatannya itu.
Sesungguhnya orang yang
diberikan jabatan adalah orang yang punya idealisme dan konsep yang
jelas untuk mensukseskan fungsi jabatannya tersebut. Umumnya, orang
memiliki idealisme dan konsep yang jelas jarang mau menjilat ke atas
untuk mengejar jabatan. Jarang yang mau menyembah atasan untuk
mempromosikan dirinya. Mereka umumnya aktif bekerja untuk mewujudkan
idealisme dan konsepnya itu. Jarang yang mengupayakan saluran untuk
mendapatkan akses ke atas. Untuk membangun jalur agar mempunyai akses ke
atas mereka umumnya rela menyogok ke sana sini.
Lika-liku
seperti itulah yang sangat sulit dilacak. Semua rekayasa akan disahkan
dengan aturan formal untuk menutupi segala kebobrokan. Merekalah yang
dalam kearifan lokal Bali disebut pajeng tetaring. Artinya (dalam bahasa Bali) “ne ngijeng memaling”
— mereka yang wajib untuk menjaga aset negara atau kekayaan
masyarakatlah sesungguhnya yang wajib menjaga keamanan kekayaan rakyat,
namun sebaliknya mereka itulah yang justru mencurinya.
Menghilangkan
tradisi pajeng tetaring itulah yang wajib kita galang terus dalam
memberantas korupsi. Di samping itu, cara memberantas korupsi dalam
jangka panjang adalah dengan jalan membangun gaya hidup yang sederhana.
Dengan kesederhanaan, kita mendapatkan rasa bahagia. Gaya hidup mewah
mendorong orang melakukan tindakan korupsi. Dimensi –( Balipost Minggu,
13 Desember 2009.)