Para pelaku kejahatan korupsi
di negara Indonesia ini terus bertambah hari demi hari. Dengan
tertangkapnya koruptor yang terdahulu seakan tidak memberikan efek jera
kepada pelaku terkemudian. Hampir setiap hari kita mendengar munculnya ’pemain-pemain baru’ yang turut meramaikan ruang sidang pengadilan badut-badut ’kemaruk duit’ itu. Nampaknya rasa takut sudah tidak ada lagi bagi orang-orang yang hati nuraninya memakai cap ”Judas Iskariot” ini.
Dengan melihat grafik yang terus menaik tajam tentu memicu sebuah
pertanyaan kolektif: “Apa gerangan yang menyebabkan terjadinya budaya
tidak takut korupsi ini?”
Bukan sesuatu yang mudah untuk
menjawab pertanyaan di atas. Dan, kita juga tahu sudah banyak jawaban
yang telah diberikan oleh berbagai kalangan, terutama dari empat sudut
pandang yang berbeda: politik, hukum, ekonomi, dan moral. Dalam
perspektif politik, kita pernah mendengar pandangan bahwa fenomena tidak
takut korupsi muncul sebagai akibat dari struktur politik yang
mempunyai kekuasaan yang bersifat absolut. Hal ini setidaknya pernah
disampaikan secara jelas oleh Lord Action; "Kekuasaan
cenderung disalahgunakan sehingga semakin besar kekuasaan yang digenggam
maka semakin besar pula peluang untuk disalahgunakan." Kalau kita
menggunakan cara pandang politik
dalam melihat korupsi, maka korupsi selalu melekat dalam struktur
politik yang ditandai oleh fenomena pemusatan kekuasaan, baik dalam
bentuk kuasa oligarki (kekuasaan sekelompok kecil), otoritarian dan
bahkan totalitarian (kekuasaan pusat). Dalam struktur politik seperti itu, korupsi menjadi fungsional karena cost of politics untuk memperluas, mempertahankan dan memelihara bangun kekuasaan yang telah dibangun menjadi cukup besar.
Penjelasan lain diberikan oleh
perpektif hukum, budaya tidak takut korupsi menjadi semakin merajalela,
karena hukum tidak pernah ditegakkan. Ketika hukum tidak ditegakkan maka
para pelaku korupsi tidak akan pernah mendapatkan hukuman yang setimpal
dari perbuatnya dan kosekuensinya tidak akan terjadi efek jera terhadap
para pelaku. Ironisnya, hukum yang tidak tegak juga akan memberikan
pendidikan yang buruk bagi sebagain warga lainnya, karena sudah
dipastikan mereka akan berpikir bahwa peluang untuk melakukan korupsi
sudah terbuka lebar di depan mata, tanpa pernah takut pada ancaman
hukuman yang memang tidak pernah diberlakukan.
Berbeda dengan pandangan politik
dan hukum, perspektif ekonomi justru menekankan bahwa budaya tidak takut
korupsi berakar pada masalah kesejahteraan yang belum merata di
berbagai segmen masyarakat. Seorang pejabat publik cenderung untuk
melakukan tindakan koruptif ketika sistem insentif (tambahan
penghasilan) kesejahteraan yang diberikan oleh negara untuk diri mereka
dan keluarganya tidak terpenuhi secara layak. Demikian pula yang dialami
oleh masyarakat di akar rumput, ketika tingkat kesejahteraan masyarakat
masih rendah, maka korupsi menjadi sangat fungsional sebagai bagian
dari redistribusi ekonomi ke bawah. Karena tekanan ekonomi, masyarakat
bawah cenderung berprilaku koruptif dengan alasan mereka melakukan itu
secara terpaksa untuk memenuhi tuntutan kesejahteraan mereka.
Namun di luar perspektif politik, hukum dan ekonomi, ada perspektif lain yang perlu kita renungkan bersama, yakni perspektif
moral dan etika. Dalam perspektif moral dan etika secara umum, jawaban
atas kemunculan budaya tidak takut korupsi bisa ditemukan dengan
menelusuri kembali gejala perubahan nilai yang tengah berlangsung
masyarakat kita. Perubahan nilai itu menimbulkan kosekuensi yang
mendasar pada perubahan pada perilaku masyarakat sehari-hari. Acuan
masyarakat dalam menentukan apa yang disebut baik-buruk sudah mengalami
perubahan sejalan dengan hadirnya nilai-nilai baru. Pemahaman tentang
gejala perubahan nilai inilah bisa menjadi pijakan dalam memberi
penjelasan mengapa terjadi perubahan dalam masyarakat, dari budaya takut
untuk melakukan korupsi menjadi tidak takut lagi.
Perubahan nilai seperti apa yang
tengah terjadi dalam masyarakat? Perilaku kehidupan masyarakat kita
dewasa ini tidak lagi berdasarkan nilai luhur budaya dan prinsip moral
yang diajarkan oleh ajaran masing-masing agama, sebaliknya perilaku
masyarakat umumnya lebih dikendalikan oleh uang dan kedudukan. Dalam
masyarakat yang semakin berorientasi pada materi, uang telah menjadi
berhala baru. Seluruh pikiran, perkataan dan tindakan diabdikan untuk
mengejar uang sebanyak-banyaknya. Hal di atas menegaskan kembali
kecenderungan kontemporer dimana uang (harta) telah sebagai orientasi
utama kehidupan masyarakat kita. Bahkan untuk memperoleh harta dan
jabatan, seringkali dilakukan dengan mengorbankan orang lain. Dengan
demikian, budaya mengejar uang dan kedudukan tidak hanya "merusak"
moralitas individu, melainkan sangat menghancurkan peradaban masyarakat.
Dalam perspektif etisteologis
Kristiani, fenomena materialisme (cinta uang) dan dekadensi moral
anak-anak manusia di kolong langit ini bukan cerita baru. Alkitab
berulang kali mencatat kejahatan manusia terkait dengan uang dan harta.
Carut-marutnya penegakan hukum dan maraknya tindak korupsi di negeri
kita mengingatkan situasi serupa yang pernah terjadi di kalangan bangsa
Israel tatkala Mikha menjadi nabi Tuhan di kerajaan Yehuda. Melihat
kebejatan moral orang-orang Yehuda, Mikha dengan frustrasi dan kecewa
berseru:
”Orang saleh sudah hilang dari
negeri, dan tiada lagi orang jujur di antara manusia. Mereka semuanya
mengincar darah, yang seorang mencoba menangkap yang lain dengan jaring.
Tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka menuntut, hakim dapat
disuap; pembesar memberi putusan sekehendaknya, dan hukum, mereka
putar-balikkan!” (Mikha 7:2-3)
Situasi
Mikha hidup berada di zaman di mana moral merosot tajam. Negeri itu
sudah rusak, yang kaya bertambah kaya dengan mempedayakan si miskin.
Para hakim akan memenangkan perkara mereka yang dapat membayar paling
tinggi, dan bahkan para nabi dan imam menempatkan uang di atas Allah.
Rakyatnya mengabaikan perintah-perintah Allah dan ilah-ilah ada di
mana-mana, tetapi mereka masih berpendapat bahwa Allah akan melindungi
mereka. Sebagai dampak dari semangat materialisme ini terciptalah kondisi "homo momini lupus," manusia menjadi mangsa bagi sesamanya. Leviathan (nafsu serakah) manusia semakin buas. “Roh Judas Iskariot”
yang pernah membarter Yesus, gurunya dengan 7 keping uang perak,
bergentayangan menghinggapi setiap orang. Hubungan antara pribadi
manusia menjadi rusak. Kasih tidak lagi memiliki tempat yang pantas.
Lalu Apa Penyebab Hilangnya Rasa Takut Seseorang Terhadap Kejahatan Korupsi?
Alkitab mencatat, ”Karena akar
segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa
orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan
berbagai-bagai duka.” (1Ti 6:10). Sebenarnya ayat ini sudah menjelaskan
secara transparan penyebab kejahatan seseorang, khususnya
korupsi. Dengan modal ”cinta uang” maka apapun dilakukan tanpa ada rasa
takut lagi terhadap hukum dan Tuhan. Bahkan orang seperti ini berani
menyimpang dari imannya hanya demi uang. Cinta memang memiliki kekuatan, tak terkecuali kekuatan untuk melakukan kejahatan, KORUPSI!
Merasa Cukup: Resep Anti Korupsi
Tuhan tidak pernah melarang anak-anaknya untuk
memperoleh harta dan menjadi kaya di bumi, namun dalam memperolehnya
harus dilandasi oleh cara yang wajar dan benar. Dengan demikian, ajaran Kristen tidak hanya berbicara tentang apa yang bisa diperoleh dalam kehidupan, melainkan juga secara tegas tentang bagaimana memperolehnya.
Korupsi adalah cara memperoleh harta yang tidak benar, karena dengan korupsi, seseorang telah memposisikan dirinya menjadi pencuri. Sama seperti pencuri, seorang koruptor mendapatkan uang (harta) dengan cara mengambilnya dari orang lain
dengan cara yang tidak benar. Padahal, sudah jelas dalam uang yang
telah diambilnya itu terkandung harapan hidup banyak orang. Dalam uang yang dikorupsi itu melekat nasib orang-orang miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang layak. Dalam uang yang diambil tersimpan harapan anak-anak yatim piatu yang menunggu santunan. Jadi, sesungguhnya korupsi telah merampas hak-hak yang seharusnya dinikmati oleh saudara-saudara kita yang berada dalam jurang kemiskinan.
Lalu bagaimana supaya kita terhindar dari
jerat korupsi? Jawabnya sangat sederhana! Cukupkanlah dirimu dengan apa
yang ada padamu! Jika Tuhan mengatakan “cukupkanlah dirimu,” maka itu
artinya benar-benar cukup, tidak akan kekurangan. Tuhan janji akan
pelihara kita (Matius 6:25-32). Walaupun kelihatannya tidak cukup, kalau
kita hidup oleh iman dan mampu mengelola dengan bijak maka pasti akan
cukup, sebab hal itu sudah dikatakan oleh-Nya, “cukupkanlah”, pasti
cukup. Demikian juga dengan gaji kita (Lukas 3:14), pasti cukup!
http://www.sabdaspace.org/mengapa_orang_tidak_takut_korupsi