Oleh Raudal Tanjung Banua
Tulisan ini mengusung sebuah pertanyaan retorik: Kenapa pemerintahan yang dikomandoi SBY-Boediono akhir-akhir ini selalu menuai sorotan? Sebut saja sorotan masyarakat atas ketidakpastian hukum Centurygate, harga kebutuhan pokok melambung, keamanan kian rawan, perdagangan bebas kian menyengsarakan, akrobatik penegakkan hukum, korupsi kian menjadi serta berkuasanya para mafia peradilan.
Sederet kenyataan di atas, secara tidak langsung sebenarnya telah menjawab pertanyaan yang diajukan. Sebab, pertanyaan ini memang bersifat retorik, bahkan boleh jadi klasik. Ya, kenapa pemerintahan sekarang terus-menerus berada dalam ranah sorotan tajam? Penyebabnya bukan semata-mata orang bebas bicara (termasuk menuding) atas nama demokrasi, melainkan lebih karena sejumlah realitas yang tak tertanggungkan.
Pertama, Pemerintahan SBY-Boediono merupakan pemerintah yang memanggul harapan besar pada kata reformasi. Betapapun kata ini lambat-laun menghilang, tapi rohnya yang sejati masih hidup dan merasuk di kalangan sejumlah pihak. Pihak tersebut tidak saja mereka yang pernah “berdarah-darah” memperjuangkannya—sebab sebagian ikut menikmati kekuasaan yang masif seperti saat ini—tapi lebih penting adalah rakyat banyak yang dulu boleh jadi bermimpi reformasi akan membawa perubahan signifikan bagi nasib mereka. Kekuasaan pasca-Orba adalah kekuasaan penuh harapan, penyelewengan atasnya jauh lebih menyakitkan. Inilah yang mereproduksi sorotan-sorotan tajam kekecewaaan.
Kedua, ini adalah periode kedua pemerintahan SBY yang menunjukkan kepercayaan rakyat masih besar. Ingat, dua periode Pemerintahan SBY terselenggara atas legitimasi sistem pemilihan langsung—meskipun kasus daftar pemilih tetap (DPT) bagi sebagian pihak masih misteri. Tatkala kepercayaan itu dibalas dengan kinerja yang kurang memuaskan, bahkan meningkatkan berbagai eskalasi ketegangan, rakyat pantas kecewa. Buya Ahmad Syafii Maarif dalam sebuah kesempatan di Padang menyoroti besarnya angka kemiskinan di Indonesia.
“Sebanyak 140 juta rakyat Indonesia masih miskin. Angka tertinggi di ASEAN,” kata dia. Selanjutnya Buya menyajikan data yang lebih memprihatinkan, seperti kasus gizi buruk yang dialami sekitar 13 juta orang di Indonesia; angka kematian ibu 20 ribu/tahun, 14 ribu di antaranya karena kekurangan darah. Dari 233,9 juta rakyat Indonesia hanya sekitar 95 juta atau 39% saja yang mendapat jaminan kesehatan; 31 juta pekerja formal, hanya 9 juta atau 27% yang memiliki jaminan sosial tenaga kerja; 70 juta orang pekerja informal, kurang dari 1% yang kesehatannya dijamin Jamsostek. “Nelayan, petani, pembantu rumah tangga tak ada yang menjamin. Begini kondisi bangsa kita hari ini,” kata dia miris, sebagaimana dikutip Riau Post, 21 Maret 2011.
Ketiga, tidak berjalannya program-program strategis yang semestinya sinergis. Salah satu yang penting adalah keberadaan infrastruktur. Infrastruktur utama seperti jalan raya dan pelabuhan rusak di mana-mana. Lihat saja antrean kendaraan di Selat Sunda yang menumpuk karena keterbatasan kapal dan dermaga. Jalan lintas Sumatera yang rusak parah tak kunjung diperbaiki, transportasi kereta api kian merana, macet Jakarta kian mengkhawatirkan, dan seterusnya. Padahal keberadaan infrastruktur adalah mutlak sebagai urat nadi bangsa.
Keempat, di tengah mandeknya pembangunan infrastruktur, berbagai kebijakan tidak memihak keadilan terus menyertai rakyat banyak. Penggusuran rumah-rumah, penghapusan subsidi minyak, dan penyelesaian kasus lumpur yang menggantung. Begitu pula angka pengangguran yang terus naik, sedangkan tenaga kerja di luar negeri tidak terlindungi dengan baik. Puncaknya, pemerintah sibuk dengan diri sendiri, alih-alih memikirkan nasib bangsa. Tingkah laku budaya yang tak elok dipertontonkan di tengah penderitaan rakyat, seperti naik gaji petinggi negara berkali-kali, selebrasi diri (ingat kasus lagu dan buku SBY) dan bagi-bagi kekuasaan di depan mata. Upaya pembangunan gedung megah wakil rakyat, meskipun bukan keputusan telak SBY-Boediono, jelas ada andil dengan mendiamkannya. Atau ditanggapi, tapi terkesan setengah hati, boleh jadi diam-diam merestui. Toh kenyataannya, pembangunan gedung megah itu tampaknya bakal diteruskan.
Sama seperti kasus Jakarta yang kompleks, memang Gubernur DKI yang paling bertanggung jawab. Tapi mengingat situasinya sudah akut, seyogianya Pemerintah Pusat terlibat, dengan visi menyeluruh bagi masa depan Ibu Kota negara. Alih-alih mengurus Ibu Kota negara, pemerintah malah mengobok-obok keistimewaan “Ibu Kota Budaya” Yogyakarta!
Tentu tidak ada pemerintahan yang sempurna di dunia ini. Tapi, pemerintahan yang baik pastilah berupaya terus memihak rakyat justru di tengah ketidaksempurnaannya itu. Lewat asumsi ini bolehlah ada kekurangan di satu sisi, tapi ada pencapaian di sisi lain. Yang terjadi di Indonesia saat ini, hampir semua sisi kehidupan tanpa pencapaian dan compang-camping. Ironisnya, sorotan masyarakat bukannya membuat pemerintah rendah hati dan bijak, malah terkesan menantang dan pamer kekuatan. Mulai curhat SBY soal gaji, teguran atas prajurit yang menulis opini, ancaman boikot staf presiden pada media yang kritis, sampai gertakkan perombakan kabinet. Jika sudah begini, kita hanya bisa berharap sekali lagi, semoga masih ada kesempatan baik untuk memperbaiki semuanya. Sebelum terlambat. (Sumber: Lampung Post, 7 Mei 2011)
Tentang penulis:
Raudal Tanjung Banua, Peminat masalah sosial, pengelola Lembaga AKAR Indonesia, Yogyakarta