Oleh Imam Mustofa
Terorisme dan korupsi adalah dua kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Keduanya merupakan musuh bersama semua bangsa, negara, dan agama di muka bumi. Keduanya mempunyai efek destruktif yang luar biasa.
Terorisme biasanya dilakukan dengan berbagai motif. Menurut Loudewijk F. Paulus (2000), terorisme mempunyai berbagai motif yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rasional, psikologi, dan budaya, yang kemudian dapat dijabarkan lebih luas. Namun, motif yang sering muncul di kancah dunia modern ini, antara lain terorisme untuk mempertahankan atau memperluas daerah jajahan. Sementara korupsi berkisar pada motif ambisi jabatan dan motif ekonomi.
Faktor yang melatarbelakangi dan menjadi pendorong kedua kejahatan tersebut juga berbeda. Aksi teror yang muncul di antaranya dipicu oleh faktor balas dendam, ketidakadilan hukum, trauma psikologis, faktor ideologis, solidaritas kelompok, pencarian identitas, dan situasi lingkungan internasional. Sementara faktor yang mendorong munculnya korupsi, antara lain karena lemahnya penegakan hukum, rendahnya moralitas dan mentalitas pejabat publik serta rusaknya kultur birokrasi.
Sementara mengenai daya rusak, terorisme dan korupsi sama-sama mempunyai daya rusak yang dahsyat. Terorisme dapat membawa korban jiwa dan harta serta kerusakan tempat-tempat hiburan, fasilitas-fasilitas umum, termasuk rumah ibadah dan kerusakan lainnya. Yang lebih mengerikan tidak jarang teorisme mengubur harapan dan masa depan keluarga korban yang ditinggalkan.
Efek destruktif dan daya rusak korupsi biasanya memang tidak akan terasa langsung, akan tetapi ia lebih mengerikan dibanding terorisme. Bukan hanya itu, korupsi membawa efek domino kerusakan yang luar biasa. Korupsi tidak saja mengakibatkan rusaknya perekonomian masyarakat dan negara, ia dapat mengakibatkan kerusakan moral, budaya, politik, birokrasi, sistem, dan tatanan hukum serta merusak suprastruktur masyarakat dan infrastruktur negara. Kalau aksi terorisme dapat mengakibatkan korban jiwa secara langsung, korupsi mengakibatkan korban jiwa secara tidak langsung. Korupsi dapat membunuh cita-cita dan bahkan jiwa generasi bangsa secara halus dan perlahan.
Langkah Solutif
Sebagai kejahatan luar biasa, penanggulangan terhadap terorisme dan korupsi juga harus menggunakan cara luar biasa. Untuk menanggulangi terorisme tidak cukup hanya memotong aksi ini dari tengah dengan mengedepankan proses hukum. Cara represif dengan pendekatan militeristik dengan penangkapan dan bahkan penembakan pelaku teror merupakan langkah memotong aksi teror dari tengah. Hal ini memang dapat meminimalisasi aksi teror, tetapi tidak memutus dan mencabutnya dari akar yang menjadi faktor dan pemicu dan pemacunya. Terorisme selaksa gunung es di tengah lautan, aksi hanyalah yang tampak dari permukaan, adapun di bawah permukaan masih banyak permasalahan faktor, pemicu dan pemacu munculnya aksi teror di bumi Indonesia tercinta (Mustofa: 2010).
Penanggulangan terorisme harus berdasar pada “hasil diagnosis”, yaitu harus melihat faktor yang melatarbelakanginya. Dengan melihat faktor yang menyangkut akar masalah munculnya terorisme, dapat diambil langkah penanganan yang tepat. Sampai saat ini kesimpulan yang mendominasi mindset para peneliti dan pengkaji serta pemangku kepentingan pemicu utama aksi teror adalah faktor idelogi.
Melihat faktor di atas, maka langkah yang harus ditempuh adalah melakukan pendekatan ideologis keagamaan. Dengan demikian, hal penting yang harus dilakukan dalam rangka penanggulangan terorisme adalah dengan melakukan deradikalisasi dan pendidikan antiterorisme. Pendekatan militeristik dan penegakan hukum terkait aksi terorisme harus terus dilakukan lebih tegas, sementara pendekatan yang menitikberatkan pada pencegahan juga harus lebih intens dan dilakukan secara kontinu.
Mengenai langkah solutif terhadap kejahatan korupsi sebenarnya sudah sering disampaikan melalui berbagai forum, baik dari skala kecil atau lokal sampai level internasional. Hanya saja di sini penulis menekankan bahwa dalam rangka pemberantasan korupsi, perlu mempertegas dan memperkeras perangkat hukumnya (legal framework). Sanksi terhadap pelaku korupsi harus diperberat.
Selain mempertegas perangkat hukum, hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan reformasi mental birokrat, terutama di lembaga-lembaga penegak hukum. Reformasi dari mental transaktif menuju mental yang responsif. Mental transaktif tidak akan dapat menegakkan keadilan karena ia berorientasi pada kepentingan diri atau kelompok. Reformasi mental ini untuk memperbaiki moralitas, meningkatkan integritas pejabat publik. Bukan hanya itu, perlu juga perbaikan kultur birokrasi menuju birokrasi yang jelas dan bersih (clear and clean beurocracy). Dengan langkah ini diharapkan akan dapat meminimalisasi tindak kejahatan korupsi.
Terorisme dan korupsi menjadi musuh bersama (common enemy) umat manusia. Oleh karena itu, semua komponen dan lapisan masyarakat harus ikut aktif berpartisipasi mencegah dan menanggulanginya. Bila peradaban manusia bebas dari kedua kejahatan kemanusiaan tersebut, akan tercipta global village yang aman, tenteram, dan sejahtera. (Sumber: Lampung Post, 5 Mei 2011)
Tentang penulis:
Imam Mustofa, Kader Kultural NU Lampung, tinggal di Metro