Selama ini masyarakat masih menganggap korupsi sebagai kejahatan tindak kejahatan biasa. Padahal sendi kehidupan bangsa di negara mana pun, termasuk di Indonesia, korupsi merupakan virus paling kejam yang menghancurkan tatanan sosial, ekonomi dan moral. Untuk itu, seharusnya pelaku tindak pidana korupsi dihukum berat.
Calon Ketua KPK Budi Setiawan (Buset) mengatakan itu di Jakarta, Senin (26/7). Menurut dia, mestinya pelaku tindak pidana korupsi dihukum berat, sama dengan beratnya hukuman terhadap teroris, pembunuhan berencana, penyelundup dan pengedar narkotika, serta kejahatan transnasional lainnya.
Selama hukuman itu tidak berat, maka semakin banyak orang melakukan korupsi. Mulai dari perencanaan, pengelolaan, sampai menjadi proyek. Oleh karena itu, saya termasuk orang yang tidak senang kalau koruptor dihukum ringan, ujar Dirjen Bimas Buddha ini.
Dia mempertanyakan, mengapa masih banyak korupsi dan tidak tersentuh oleh KPK? Jawabnya sangat sederhana, karena lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, dan hakim Ad Hoc tidak mendapatkan gaji dan tunjangan seperti petugas KPK. Seharusnya, kata dia, lembaga pendukung KPK itu, mendapatkan gaji minimal sama petugas KPK, sehingga KPK tidak bekerja sendirian menindak koruptor.
Menurut Buset, begitu dia biasa disapa, kalau teman-teman yang bekerja di hakim Ad Hoc, aparat kepolisian di penyidikan Tipikor, dan jaksa pidana khusus (Pidsus), diberikan gaji dan tunjangan yang hampir sama dengan teman-teman di KPK, maka ia yakin semua pelaku tindak pidana korupsi dilibas habis.
Dengan demikian, lanjut dia, KPK hanya menangani koruptor yang kelas kakap. Tidak seperti sekarang, akibat sistem seperti SK ganda keimigrasian di KBRI Malaysia, seorang pejabat KBRI baik dari unsur Kemenlu maupun Keimigrasian tidak perlu ditangani KPK, hanya karena menerima uang kelebihan pelayanan masyarakat Rp15 juta harus dihukum sampai 16 bulan.
Sementara koruptor yang menggaruk uang negara, sampai Rp30 miliar ke atas, hanya dihukum 2,5 tahun. Lantas dimana keadilan dan profesionalitas aparat KPK?, kata dia
Mantan Kapolda Bali ini mengatakan, petugas KPK tidak saja profesional, tapi juga harus potensial, termasuk memahami masalah penyidikan dan pembuktian hukum. Karena di KPK tidak mengenal penundaan penahanan dan tidak pula mengenal SP-3. Maka itu, kemampuan pimpinan KPK harus memahami hukum, sekaligus memahami aspek penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai keputusan perkara, termasuk mampu melakukan pembuktian dan fakta hukum, bukan atas dasar asumsi. (dik)