oleh Antasari Azhar
Abstraksi
Dalam pemberantasan korupsi terkandung makna penindakan dan pencegahan korupsi, serta ruang untuk peran serta masyarakat - yang seharusnya dapat lebih ditingkatkan dengan adanya perbaikan akses masyarakat terhadap informasi. Teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk perbaikan pelayanan publik sebagai salah satu cara melakukan pencegahan korupsi. Sedangkan di sisi penindakan, (tanpa bermaksud mengesampingkan pro kontra yang terjadi) undang-undang memberi ruang bagi para penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mendapatkan dan menggunakan informasi elektronik guna memperkuat pembuktian kasus korupsi. Saat ini kita tengah menanti kehadiran Peraturan Pemerintah yang akan mengatur lebih lanjut intersepsi dalam rangka penegakan hukum, sesuai amanah undang-undang.
Pemberantasan Korupsi
Dari survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008, didapati bahwa belum terlalu banyak orang yang tahu bahwa tugas dan wewenang yang diamanahkan kepada KPK bukan hanya tugas yang terkait dengan penanganan kasus korupsi dan penanganan pengaduan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi, karena sekalipun telah banyak yang dilakukan oleh KPK dalam melakukan pencegahan korupsi dan dalam mengkaji sistem administrasi lembaga negara/pemerintah yang berpotensi korupsi, kegiatan-kegiatan itu menurut kalangan pers kalah nilai jualnya jika dibandingkan dengan liputan atas penindakan korupsi.
Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku[1]. Karenanya ada tiga hal yang perlu digarisbawahi yaitu ‘mencegah’, ‘memberantas’ dalam arti menindak pelaku korupsi, dan ‘peran serta masyarakat’.
Kemajuan teknologi informasi sudah banyak membantu KPK dalam melakukan tugas-tugasnya. Dari mulai gedung KPK yang dirancang sebagai smart building, paper-less information system yang diberlakukan sebagai mekanisme komunikasi internal di KPK, dan program-program kampanye serta pendidikan antikorupsi KPK. Dalam meningkatkan peran serta masyarakat, informasi elektronik sangat dibutuhkan agar informasi yang disampaikan dapat lebih cepat diterima, lebih luas sebarannya, dan lebih lama penyimpanannya[2]. KPK juga telah mengadakan berbagai lomba bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat yang antara lain berupa lomba PSA antikorupsi, lomba film pendek antikorupsi, lomba poster, dan lomba-lomba lainnya.
Kemajuan Teknologi Informasi Dan Perbaikan Layanan Publik
KPK menyambut baik tujuan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik yang antara lain adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik[3] disamping untuk berbagai tujuan lain.
Pada awal kepemimpinan saya di KPK, saya beranggapan bahwa stigma salah satu negara korup yang sering diberikan kepada Indonesia terkait secara langsung upaya penindakan terhadap para pelaku korupsi oleh aparat penegak hukum. Namun setelah mempelajari berbagai survei yang menilai tingkat korupsi itu, saya sadari betapa pentingnya peran pelayanan publik terutama yang terkait dengan perijinan usaha dalam menentukan persepsi masyarakat terhadap tingkat korupsi di setiap negara. Sebagai contoh untuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dilansir oleh Transparency International. Tahun 2008 ini IPK Indonesia 2,6 sedikit meningkat dari 2,3 pada tahun sebelumnya dengan peningkatan peringkat dari peringat 143 di tahun 2007 menjadi peringkat 126. Bisa dikatakan IPK ini merupakan survey on surveys, dimana untuk kasus Indonesia angka 2,6 merupakan agregat dari 10 survei yang dilakukan oleh berbagai organisasi internasional. Patut dicatat bahwa dari 10 survei tersebut hanya 1 survei yang secara langsung terkait dengan penindakan korupsi, dan sisanya (90%) merupakan survei yang terkait dengan layanan publik, khususnya di bidang investasi.
Gambar : Tren skor IPK Indonesia 2003-2008
Saat ini telah ada beberapa pemerintah daerah yang menyelenggarakan one stop service untuk pelayanan publik khususnya yang terkait dengan layanan perijinan. Kemudahan pemberian layanan publik ini diharapkan akan mengurangi keengganan berinvestasi. Investasi diharapkan akan masuk karena pemerintahan yang melayani dengan baik dipersepsikan sebagai pemerintahan yang bersih, baik karena kemudahan yang diberikan, maupun karena tidak adanya biaya-biaya siluman yang memberatkan.
Berbagai penelitian nasional dan internasional mengaitkan secara langsung maupun tidak langsung antara korupsi (yang diwakili oleh ketepatan mutu-prosedur/waktu-biaya layanan publik) dengan tingkat investasi, tingkat kemiskinan, dan bahkan dengan berbagai tolok ukur pembangunan seperti angka kematian bayi, tingkat pendapatan perkapita dan angka melek huruf[4]. Karena itu tidak mengherankan jika dalam pengantar hasil surveinya Transparency International menyatakan bahwa pada negara-negara miskin dengan level korupsi yang parah, korupsi bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati[5].
Kembali pada pemanfaatan kemajuan teknologi informasi, selain dipergunakan untuk mendorong efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, kemajuan teknologi informasi juga dapat menghemat APBN dalam kegiatan pengadaan barang/jasa untuk kepentingan pemerintah. Diharapkan e-procurement yang menyediakan fasilitas pengadaan melalui jaringan elektronik akan meningkatkan transparansi proses pengadaan sehingga bisa menekan kebocoran yang mungkin terjadi. Di berbagai kesempatan selalu saya tekankan bahwa transparansi merupakan syarat pertama dari perwujudan good governance. Mengapa? Karena transparansi akan mempermudah akses informasi bagi masyarakat yang kemudian mempermudah dan memancing partisipasi mereka. Dengan adanya kedua hal tersebut, maka pada gilirannya pemerintah dituntut untuk lebih akuntabel dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Berbicara tentang penghematan yang dapat dilakukan dari pelaksanaaan e-procurement ini, beberapa pihak mengklaim telah terjadi penghematan yang luar biasa. Dari berbagai sumber, disebutkan bahwa penghematan yang terjadi berkisar antara 15% hingga 23,5%, angka yang tidak tanggung-tanggung untuk ukuran APBN negara kita.
Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Memperkuat Pembuktian Kasus Korupsi
Penegak hukum di Indonesia, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi sama-sama diberi kewenangan melakukan penyadapan. Dan tidak seperti yang dipersepsikan banyak orang, para penegak hukum tidak bisa sekehendak hatinya menggunakan instrumen yang sensitif ini.
Bagi KPK, penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada surat tugas yang ditandatangani Pimpinan KPK yang menganut kepemimpinan kolektif di antara lima komisionernya. Sedangkan keputusan untuk melakukan penyadapan didasarkan pada kebutuhan untuk memperkuat alat bukti dalam kegiatan penyelidikan. Penyelidikan itu sendiri dilakukan setelah kegiatan pengumpulan data dan keterangan dilakukan setelah ditemukan indikasi tindak pidana korupsi. Dengan demikian, penyadapan bukan merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendapatkan bukti adanya suatu tindak pidana korupsi, dan keputusan untuk melakukannya bukanlah keputusan yang mudah.
Dalam melakukan penyadapan sesuai kewenangan yang diatur dalam Pasal 26 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 serta pasal 12 butir a UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK tunduk pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Karena itu KPK tidak menganggap lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai ancaman, karena penyadapan yang selama ini dilakukan merupakan lawfull interception, sesuai aturan yang ada dan dilakukan dengan tanggung jawab, profesionalisme, dan kehati-hatian ekstra.
KPK tidak pernah menyebarluaskan hasil sadapan, kecuali sebagai pembuktian di sidang pengadilan, yang diperdengarkan atas perintah hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kesimpangsiuran informasi terjadi, ketika salah satu stasiun televisi swasta menayangkan program yang memuat upaya penindakan KPK lengkap dengan pemutaran rekaman hasil penyadapan yang dilakukan KPK. Terkait dengan banyaknya tayangan dalam program tersebut yang menampilkan para terperiksa, terdakwa, dan terpidana kasus-kasus yang ditangani KPK, ada sebagian masyarakat yang menduga ada andil KPK di dalamnya. Sebagai catatan, gambar-gambar dan rekaman yang ditampilkan tersebut diambil dari ruang persidangan atau di halaman dan lobby tamu KPK yang merupakan ruang publik. Parahnya lagi bukan hanya masyarakat awam hukum yang berpendapat demikian. Dalam satu kesempatan talk show di salah satu universitas di Yogyakarta medio September 2008 ini, seorang doktor hukumpun menyatakan bahwa KPK telah melanggar hak asasi manusia para terdakwa kasus tindak pidana korupsi karena memperdengarkan secara terus-menerus rekaman pembicaraan dengan tujuan sebagai hukuman asesoris yang diberikan untuk mempermalukan mereka.
Penutup dan Simpulan
Selama ini, KPK berusaha melaksanakan tugas yang diamanahkan oleh undang-undang dengan semaksimal mungkin memanfaatkan kewenangan yang ada. Karena itu Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik akan kami cermati sebagai salah satu aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang tentang KPK disebutkan bahwa : “……..Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa”.
Kalimat di atas bisa jadi merupakan salah satu alasan undang-undang ini mengatur kembali pemberian kewenangan penyadapan kepada KPK, sekalipun kewenangan yang sama telah diberikan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang dimungkinkannya alat bukti petunjuk berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna[6].
Dari keinginan rakyat yang diterjemahkan dalam undang-undang yang menyatakan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa, seharusnya membawa implikasi pada penanganan korupsi dengan cara-cara yang luar biasa pula – sekalipun tetap dalam koridor aturan hukum yang berlaku.
Terkait dengan kontroversi penyadapan dalam penindakan korupsi kita dapat mengambil penyadapan atas kasus terorisme sebagai pembanding. POLRI telah lama melakukan penyadapan untuk kasus terorisme dan tidak pernah ada yang mempermasalahkannya. Besar kemungkinan karena kita sudah memahami bahaya terorisme. Hal ini menjadi tantangan bagi KPK untuk lebih giat menyampaikan betapa seriusnya implikasi dari korupsi ini. Betapa besar ongkos sosial korupsi yang harus dibayar seluruh rakyat Indonesia. Ketika seorang Penyelenggara Negara menerima suap, uang suap itu masih bisa berperan dalam memutar roda perekonomian negara, sebagian bisa digunakan untuk membantu orang lain, atau bahkan disumbangkan ke lembaga keagamaan. Namun yang selama ini kurang kita sadari - kerusakan sudah terjadi, ketika seseorang dibiarkan melanggar aturan yang ditetapkan dengan tujuan-tujuan tertentu - karena dia telah menyuap, entah itu membabat hutan, memasukkan barang ilegal, menjual obat palsu, atau ribuan jenis lain pelanggaran yang pada akhirnya akan bermuara pada kesengsaraan rakyat Indonesia.
Mengingat itu semua, masih bisakah kita dengan percaya diri mengatakan bahwa bukan perilaku koruptif kitalah yang menyebabkan rakyat di bumi yang kaya raya ini harus berdiri berjam-jam sekedar untuk mendapatkan sembako atau uang sekedarnya? Alangkah tidak sepadan jika boleh kita membandingkan antara uang suap yang berpindah tangan itu dengan ongkos dan azab yang harus ditanggung (oleh orang lain, saudara kita sendiri).
Sebagai penutup, Undang-Undang ITE mensyaratkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tata cara intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum[7]. Para penegak hukum termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil tentu saja berkepentingan dengan pengaturan dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Karenanya keterlibatan mereka dalam penyusunan Peraturan Pemerintah ini diperlukan untuk menjamin profesionalisme, tanggung jawab, dan asas keadilan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil intersepsi.
Daftar Psuataka
Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008.
Transparency International (2008), Transparency International 2008 Corruption Perceptions Index – Immediate Release.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Mauro, Paolo (1995), ”Corruption and Growth”, The Quarterly Journal of Economics, August 1995.
Campos, Edgardo and Pradhan, Sanjay (1999), “The impact of corruption on investment: predictability matters”.
Wei, Shang-Jin; Smarzynska, Beata (2000), Corruption and the Composition of Foreign Direct Investment: firm-level evidence, World Bank Working Paper No. 2360.
Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, and Pablo Zoido-Lobaton (1999), "Governance Matters," World Bank Policy Research Working Paper No. 2196.
Ben Olken /Abhijit Banerjee (2007) Harvard Univ, MIT, & J- Poverty, 2007, “The sosial cost of corruption”.
End Note:
[1] UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 butir ke-3
[2] Wikipedia: teknologi informasi.
[3] Pasal 4 huruf c UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [4]Paolo Mauro, 1995; Campos dan Pradhan, ADB; Shang, ADB; dan Kaufmann, Kraay, dan Zoido-Lobaton,1999
[5] Persistently high corruption in low-income countries amounts to an “ongoing humanitarian disaster” – Immediate Release Transparency International 2008 Corruption Perceptions Index.
[6] Pasal 26 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.