Enam belas personel Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tiba di Jakarta, 2 Mei lalu. Para wakil rakyat itu baru saja bertolak ke Australia. Beberapa di antara mereka ada yang membawa serta keluarganya. Mereka berdalih pergi ke "negeri kanguru" itu untuk menjalani kunjungan kerja di sana selama sepekan.
Tujuannya, mencari informasi untuk kepentingan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Fakir Miskin, yang ditargetkan rampung pada bulan ini. "Kami lihat Australia sebagai negara yang bagus dalam melayani orang miskin dengan sistem Centerlink," kata Ahmad Zainuddin, Wakil Ketua Komisi VIII, Senin lalu di Jakarta.
Namun studi banding itu mengundang kontroversi. Banyak kalangan dalam dan luar negeri mempersoalkan kunjungan yang menguras uang negara itu. Kabar tak sedap terakhir muncul dari Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA). Para anggota legislatif itu dianggap melakukan perjalanan jauh sia-sia. Sebab beberapa hari sebelum kedatangan anggota DPR, pihak PPIA melayangkan surat terbuka kepada Ketua Komisi VIII, Abdul Kadir Karding.
Dalam surat tertanggal 25 April itu, PPIA menginformasikan bahwa kunjungan Komisi VIII pada 26 April-2 Mei tersebut bertepatan dengan masa reses Paskah parlemen Australia serta parlemen Negara Bagian New South Wales dan Victoria.
Dengan begitu, para anggota DPR itu tidak akan bertemu langsung dengan perumus dan pengambil kebijakan pada tingkat federal dan negara bagian di Australia. Terlebih, dalam kunjungan itu, mereka tidak menjadwalkan acara untuk melihat langsung penanganan warga miskin di kota Sydney, Canberra, dan Melbourne, seperti kunjungan ke rumah bersama, kantor pelayanan Centerlink, dan pusat pelayanan komunitas tertinggal.
Namun para politikus Senayan itu tetap keukeuh berangkat. Wakil rakyat asal Partai Keadilan Sejahtera berdalih, Australia dipilih sebagai tempat studi banding lantaran memenuhi aspek pemberdayaan dan pelayanan kaum duafa. Centerlink merupakan sistem layanan jaminan sosial dan bantuan tenaga kerja rakyat Australia yang beroperasi sejak tahun 1997. Realisasinya terintegrasi oleh Pemerintah Australia berdasarkan kebutuhan. "Kunjungan itu difokuskan pada pertemuan dengan pihak Pemerintah Australia," ujar Ahmad Zainuddin.
Menurut Ketua Umum PPIA, Mochamad Subhan Zein, tim panitia kerja RUU Fakir Miskin itu memang berdialog dengan Pemerintah Australia. Namun hal itu dinilainya tidak efektif dan kurang mengena akar persoalan. Sebab proses pencarian dan perolehan informasi tidak tepat guna. Mereka menimba informasi dari pegawai Departemen Kesehatan dan Pelayanan serta Departemen Imigrasi dan Kewarganegaraan Pemerintah Australia.
Apalagi, pertemuan itu berlangsung di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Australia, Jumat dua pekan lalu. Bukan di lokasi komunitas Aborigin di Australia atau di kantor pelayanan pemerintah untuk penanganan warga miskin Australia (Unlucky Australians). "Penyajian informasi lewat paparan dan ceramah itu sebenarnya bisa dilakukan di Indonesia. Tak perlu berkunjung ke luar negeri," kata Subhan.
Bahkan, Subhan melanjutkan, materi dan data yang diberikan pegawai Pemerintahan Australia itu dapat pula ditelusuri melalui situs resmi departemennya, www.humanservices.gov.au. Artinya, Komisi VIII bisa mempelajari soal Centerlink dan materi lainnya cukup dari Indonesia via jejaring internet. Belum lagi, tak sedikit daftar pertanyaan berbobot yang telah dipersiapkan dalam booklet tim Panja RUU Fakir Miskin tidak ditanyakan. Hal itu tentu mengurangi bobot keberhasilan pertemuan dalam mencapai target kunjungan kerja. "Kunjungan kerja itu tidak efektif," ujar Subhan.
Selebihnya, kata Subhan, berbagai kritik dan masukan tercantum dalam surat evaluasi yang dilayangkan kepada Ketua Komisi VIII dan para pimpinan DPR, pekan lalu. Semoga surat evaluasi itu diterima, dibaca, dan dipelajari pimpinan DPR sebagai bahan pertimbangan ke depannya. Apakah kunjungan kerja ke luar negeri tetap diadakan atau tidak, mengingat narasumber dan referensi yang disasar tidak tepat dan tidak efektif.
Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Ucok Sky Khadafy, menilai kepergian anggota DPR ke Australia itu bukanlah untuk kunjungan kerja atau studi banding. Melainkan sekadar menghabiskan sisa anggaran yang dialokasikan setahun sebelumnya. Kunjungan ke Australia itu menghabiskan anggaran sekitar Rp 811 juta. "Mereka (anggota DPR) mengemas dalam kunjungan kerja guna menghabiskan masa resesnya," kata Ucok. Jadi, tidak berlebihan jika kunjungan kerja itu lebih pantas dibilang sebagai pelesiran.
Dalam catatan Fitra, Ucok melanjutkan, selama sebulan terakhir ini tak hanya Komisi VIII yang pelesiran ke luar negeri berbalut studi banding. Komisi X, menjelang akhir April lalu, juga berkunjung ke Spanyol dan Cina. Di dua negara itu, mereka dikabarkan mempelajari hal-hal yang terkait dengan bidang pendidikan, pariwisata, dan olahraga. Anggaran yang dialokasikan kurang lebih Rp 2 milyar.
Sedangkan Komisi I, kata Ucok, pada April-Mei, berencana mengunjungi Turki, Rusia, Prancis, dan Amerika Serikat. Tapi, menjelang kepergian mereka ke Amerika Serikat, Duta Besar Indonesia untuk Swiss, Djoko Susilo, menolaknya. Penolakan ini dilakukan karena waktu yang dipilih lagi-lagi tidak tepat. Selama bulan itu, parlemen negara yang dituju sedang memasuki masa reses. "Pemilihan waktu yang diajukan jelas tidak akan efektif," ujar Djoko.
Ucok melanjutkan, selama ini kunjungan kerja DPR ke luar negeri belum menghasilkan karya nyata. Walaupun ada sedikit, hasilnya tidak sebanding dengan anggaran yang dikeluarkan. Ia mengambil contoh proses pembuatan UU Kesehatan terkait Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Anggaran telah banyak dikeluarkan, tapi realisasi di lapangan masih membengkak pula.
Sementara itu, kata Ucok yang mengutip data pemerintah, jumlah orang miskin setiap tahun berkurang. Tapi, di sisi lain, dana alokasi kunjungan kerja justru naik. "Hasil kunjungan kerja DPR selama ini masih jauh panggang dari api. DPR harus selalu membuka diri agar paham persoalan di masyarakat," katanya.
Bagi pengamat politik Ray Rangkuti, ketidaktepatan DPR mengatur jadwal untuk bertemu dengan parlemen di luar negeri itu, seperti Australia dan Swiss, lebih pantas disebut sebagai muhibah, bukan kunjungan kerja. Tapi, karena parlemen yang dituju justru tidak ada di tempat, maka kunjungan itu memberi kesan hanya untuk pelesiran. Nilai plus kunjungan kerja itu muncul jika dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat luas, bukan untuk kepentingan individu dan kelompok.
Yang namanya studi banding, menurut Ray, tak cukup dalam beberapa hari. Studi banding yang sesungguhnya bisa berminggu-minggu, bahkan sebulan. Studi banding seharusnya cukup dilakukan atas nama anggota legislatif, bukan muncul dari kebijakan fraksi-fraksi. Tujuannya tak lain untuk menghemat anggaran.
Karena itu, seluruh proses legislasi sebaiknya satu pintu di DPR. Eksekutif tidak perru ikut dalam proses legislasi yang berujung di DPR. Eksekutif tinggal melaksanakan undang-undang yang dibuat legislatif. Bila pemerintah tidak setuju atas undang-undang yang dikeluarkan legislatif, presiden bisa melaksanakan hak veto untuk membahas ulang pada tahun berikutnya. "Dengan satu pintu di legislasi, pengeluaran anggaran bisa menjadi minim dan hemat," ujarnya.