Senin siang lalu, hampir seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Demokrat memenuhi ruang Fraksi Partai Demokrat. Ketua DPR Marzuki Alie bahkan turut hadir. Namun, rapat baru berlangsung satu jam, Marzuki buru-buru keluar ruangan. Wajah Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu tegang. Ketika para wartawan yang menunggu rapat menanyakan isi rapat itu, ia memilih membisu dan menghindar dari kerumunan para pencari berita.
Informasi tentang isi rapat itu justru diperoleh dari Ketua Fraksi Demokrat, Djafar Hafsah. Menurut dia, rapat itu membahas nasib Muhammad Nazaruddin dan Angelina Sondakh. Dua fungsionaris Partai Demokrat ini diduga terlibat kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Namun, kata Djafar, rapat itu belum sampai memutuskan apakah Nazaruddin dan Angelina terlibat atau tidak. "Kami harus menjunjung asas praduga tidak bersalah. Kami sudah tanyakan kepada yang bersangkutan dan mereka katakan tidak terlibat," ujarnya.
Pada hari yang sama, Nazaruddin menggelar jumpa pers di Gedung DPR. Kepada para wartawan, Bendahara Umum Partai Demokrat itu membantah dirinya terlibat dalam kasus suap di Kemenpora dan menerima bagian fee Rp 25 milyar. "Tudingan itu akan terbantahkan melalui proses hukum," kata Nazaruddin.
Ia juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan kasus suap ini. "Kami minta KPK segera menuntaskan kasus ini karena tudingan yang berkembang jelas merugikan Partai Demokrat dan saya sebagai bendahara umum," tutur Nazaruddin.
Selang sehari, giliran Angelina yang menggelar jumpa pers. Anggota Komisi X (Komisi Olahraga) ini heran namanya dikaitkan dengan kasus suap Kemenpora itu. Ia juga menyangkal tudingan pernah meminta jatah karena telah menyetujui anggaran proyek pembangunan Wisma Atlet sebesar Rp 197,7 milyar. "Itu tidak benar. Saya tegaskan lagi, ya, tidak pernah saya minta jatah untuk Komisi X," ujar Angelina di ruang rapat Komisi X, Gedung DPR, Selasa lalu.
Kamis tiga pekan lalu, KPK membongkar aksi suap yang dilakukan Direktur PT Duta Graha Indah, Mohammad el-Idris, kepada Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga, Wafid Muharam. Kejadiannya berlangsung di ruang kerja Wafid, lantai III Gedung Kemenpora, Jalan Asia Afrika, Senayan.
Ketika itu, Idris datang bersama Mindo Rosalina Manulang. Penyidik KPK menyita tiga cek senilai Rp 3,2 milyar. Cek ini ditengarai adalah uang fee lantaran Duta Graha menjadi pemenang tender proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan. KPK menetapkan Wafid, Rosa, dan Idris sebagai tersangka.
Terseretnya Nazaruddin dan Angelina dalam pusaran kasus suap di Kemenpora itu berawal dari peryataan Kamarudin Simanjuntak kepada media. Kamarudin adalah mantan pengacara Rosa. Kepada Gatra, Kamarudin menyebutkan bahwa pernyataannya itu hanya mengulang pengakuan Rosa ketika dirinya menjadi pengacara Rosa --Kamarudin menjadi pengacara Rosa berdasarkan surat kuasa yang ditandantangani Rosalina pada 23 April lalu. "Hari pertama saya menjadi pengacara Rosa, dia bicara ke saya dari A sampai Z. Termasuk dugaan keterlibatan politisi Senayan," katanya.
Empat hari kemudian, Rosa diperiksa KPK. Rosa yang didampingi Kamarudin membeberkan keterlibatan Nazaruddin. Menurut sumber Gatra, nama Nazaruddin mulai disebut Rosa begitu penyidik KPK menanyakan riwayat pekerjaannya. "Rosa mengaku bekerja sebagai Direktur Marketing PT Anak Negeri. Diakui Rosalina, perusahaaan itu milik Nazaruddin," kata sumber Gatra.
Masih menurut sumber Gatra, pada pertanyaan berikutnya, penyidik KPK meminta Rosa menjelaskan siapa saja pihak-pihak yang menerima uang fee terkait proyek pembangunan Wisma Atlet itu. "Dari jawaban Rosa, penyidik KPK mengetahui bahwa Wafid mendapat bagian fee 2% dan Nazaruddin menerima bagian fee 13% dari nilai proyek atau sekitar Rp 25 milyar," ujarnya.
Soal pengakuan Rosa kepada penyidik KPK itu, Kamarudin tidak membantah, tapi tidak juga mengiyakan. "Saya sekarang bukan lagi pengacara Rosa, jadi tidak bisa mengomentari materi pemeriksaan," katanya sambil tersenyum. Sementara itu, pengacara Rosa yang baru, Djufri Taufik, mengaku tidak tahu-menahu apa benar kliennya pernah membeberkan keterlibatan Nazaruddin kepada penyidik KPK. "Ketika diperiksa, bukan tim kami yang mendampingi Rosa," tutur Djufri.
Usai diperiksa KPK, Rosa dikembalikan ke Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur. Dengan mengendarai mobilnya, Kamarudin menyusul Rosa ke rutan khusus wanita itu. Di halaman rutan, Kamarudin dihampiri 15-20 orang yang mengaku keluarga Rosa. Mereka mengancam Kamarudin agar tidak lagi berhubungan dengan Rosa. Selanjutnya, orang-orang itu menyodorkan kepada Kamarudin surat pencabutan kuasa yang ditandatangani Rosa. Menurut Kamarudin, pemecatan dirinya sebagai pengacara itu sangat mendadak dan aneh.
Malam itu juga, Kamarudin melaporkan orang-orang yang mengancamnya itu ke Polda Metro Jaya. Ia menyakini, orang-orang yang mengancamnya itu bukan keluarga Rosa, tapi utusan atasan Rosa yang juga politisi Senayan. Diduga, intimidasi ini terkait komentarnya kepada sejumlah media soal keterlibatan politisi Senayan dalam kasus suap di Kemenpora. "Walaupun saya sakit hati (dipecat sebagai pengacara), saya mengalah," ungkapnya.
Soal ancam-mengancam, Djufri balik membantah. "Tidak ada ancam-mengancam. Yang mendatangi Kamarudin adalah keluarga Rosa, bukan utusan politisi," katanya.
Berselang dua hari, Rosa kembali diperiksa KPK. Kali ini, ia didampingi Djufri Taufik. Menurut sumber Gatra, kepada penyidik KPK, Rosa tidak lagi mengumbar keterlibatan Nazaruddin. Bahkan Rosa bilang bahwa sejak September 2009, Nazaruddin sudah tidak berkantor di PT Anak Negeri. Seluruh tanggung jawabnya diserahkan kepada penggantinya. Nazaruddin akan fokus sebagai politikus Senayan. Perubahan keterangan ini juga disampaikan Rosa kepada wartawan usai pemeriksaan. "Tidak benar. Atasan saya bukan Pak Nazaruddin," tuturnya. "Saya tidak tahu-menahu masalah politisi," ia menambahkan.
Gonta-ganti pengacara yang dilakukan Rosa ternyata diikuti pula oleh Wafid. Sebelumnya, Wafid menujuk mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault, sebagai salah satu pengacaranya. Namun belakangan Wafid memecatnya. Diduga, pemecatan ini dilakukan karena intervensi pihak-pihak luar yang khawatir Adhyaksa yang terkenal ceplas-ceplos dalam bicara ke media itu akan menyulitkan posisi mereka.
Pengacara Wafid, Erman Umar, membantahnya. Menurut Erman, pemecatan itu bukan karena ada intervensi dari pihak luar, melainkan semata-mata karena pertimbangan kesibukan Adhyaksa. "Biarlah Bapak bantu secara moral saja dari belakang layar," kata Erman, meniru ucapan Wafid kepada Adhyaksa.
Sementara itu, Adhyaksa mengaku tidak mempersoalkan pemecatan dirinya itu. "Saya berpesan agar Pak Wafid jujur, katakan yang sebenarnya. Seandainya ada yang mengintervensi, katakan siapa sosok tersebut," ujar Adhyaksa. Jadi, marilah bicara jujur.