KEPERCAYAAN publik terhadap
penyelenggara negara lagi-lagi tercabik oleh skandal korupsi. Publik pun gamang atas keseriusan
upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Rentetan skandal korupsi yang tak
kunjung habis menggiring sikap publik pada titik ekstrem.
Kegeraman publik atas perilaku
korupsi dari sebagian aparatur negara tak terbendung. Ketidakpercayaan pada
lembaga negara yang berwenang dalam memberantas korupsi pun meluntur. Lebih
jauh, sistem dan mekanisme yang ada diragukan bisa membabat korupsi yang berurat
berakar di berbagai instansi di negeri ini.
Masyarakat dapat menyaksikan betapa
perilaku korupsi berlangsung secara sporadis di hampir seluruh level
pemerintahan, mulai dari pengurusan KTP di kelurahan, pengurusan surat izin
mengemudi, hingga pembayaran pajak bagi wajib pajak kelas kakap. Perilaku
korupsi seolah menjadi warna yang wajar dalam setiap alur birokrasi.
Penilaian publik terhadap citra
aparat birokrasi pun cenderung negatif. Setiap tujuh dari sepuluh responden
dalam jajak pendapat yang diselenggarakan pekan lalu menyatakan buruknya citra
aparat birokrasi pemerintahan saat ini. Penilaian negatif ditujukan secara
merata bagi seluruh lapisan birokrat, mulai dari level kelurahan hingga aparat
penegak hukum. Nyaris
semua responden menyatakan, lembaga pemerintahan itu tidak bebas dari
korupsi.
Publik mengharapkan hukuman yang
lebih keras dan tegas terhadap koruptor agar tercipta efek jera. Wacana hukuman
mati kembali mencuat. Dukungan terhadap pelaksanaan hukuman mati dilontarkan
sejumlah kelompok, termasuk di antaranya Majelis Ulama Indonesia dan
Muhammadiyah.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, mengatur hukuman mati bisa dijatuhkan kepada pelaku korupsi
apabila tindak pidana itu dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya
sesuai dengan UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengulangan, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Namun, dalam Rancangan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diajukan
tahun 2008, ketentuan hukuman mati bagi koruptor tak dikenal. Sejumlah ketentuan
berkaitan dengan ancaman hukuman lebih ringan dari UU sebelumnya.
Tidak Tegas
Munculnya wacana pemberian sanksi
yang lebih berat dan tegas bagi koruptor adalah cerminan dari kekecewaan publik
pada aturan yang ada dan pelaksanaannya. Berbagai aturan dan pelaksanaan
hukuman selama ini tidak mampu mengurangi korupsi. Keseriusan pemerintah dalam
memberantas korupsi terus dipertanyakan.
Sikap tidak tegas pemerintah
terkait pemberantasan korupsi tecermin dari sejumlah pernyataan pemerintah yang
terkesan tak tegas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat menyampaikan
kritiknya terhadap strategi penjebakan yang sering kali dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya pengungkapan kasus korupsi. Dalam
Konvensi Hukum Nasional, 15 April 2008, Presiden sempat menyatakan agar upaya
pengungkapan kasus korupsi yang biasa dilakukan KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) lebih ditekankan pada tindakan pencegahan, penerangan, dan
sosialisasi.
”Jangan sampai menjebak,” ujar
Presiden saat itu. Pernyataan Presiden itu dilontarkan sesaat setelah KPK
menangkap anggota DPR, Al Amin Nur Nasution, terkait korupsi alih fungsi hutan
lindung di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Setidaknya 70,4 persen responden
dalam jajak pendapat ini meragukan keseriusan upaya pemberantasan korupsi di
negeri ini. Hampir separuh dari total responden menilai, sikap pemimpin
tertinggi di negeri ini juga tidak tegas dalam memberantas korupsi.
Sebagian publik meyakini, gurita
korupsi yang tidak kunjung berhasil ditumpas dari negeri ini bermuara pada
kegagalan sistem yang ada. Nyaris delapan dari setiap sepuluh responden
menyatakan kekecewaan mereka pada proses hukum yang diberlakukan terhadap
koruptor selama ini.
Dukungan pada sejumlah alternatif
sanksi yang ekstra keras terhadap koruptor pun menguat. Hukuman berupa penyitaan
dan perampasan harta milik koruptor serta penjara seumur hidup menjadi
alternatif yang mendapat dukungan paling banyak. Proporsi responden yang menyatakan
dukungan terhadap dua alternatif hukuman itu masing-masing 88 persen dan 75
persen. Sanksi hukuman mati terhadap koruptor diyakini akan memberi efek jera
oleh 62 persen responden.
Frustrasi, barangkali menjadi kata
yang tepat untuk menggambarkan bagaimana bangsa ini terus tertatih dalam upaya
menumpas perilaku korupsi aparatur pemerintahannya. Rentetan skandal korupsi
yang dibongkar, tetapi dengan sanksi yang ringan bagi koruptornya, tak banyak
memberikan efek jera bagi aparatur lainnya. Aksi korupsi terus
terjadi.
Belakangan ini publik pun disuguhi
rangkaian pemberitaan terkait terbongkarnya sejumlah skandal suap. Masih lekat
dalam ingatan bagaimana masyarakat dibuat terpana oleh rekaman percakapan antara
Anggodo Widjojo dan sejumlah pejabat kepolisian serta kejaksaan. Proses
tawar-menawar imbalan hingga rekayasa kasus tergambar dalam rekaman itu. Dalam
rekaman itu disebutkan beberapa nama pejabat Kejaksaan Agung dan Polri, bahkan
menyerempet ke ”RI 1” (Presiden).
Beberapa tahun terakhir ini,
skandal suap yang melibatkan sejumlah pejabat hukum terkuak di pengadilan. Mulai
dari aparat kepolisian yang menerima suap dalam kasus pembobolan BNI, yang
menyeret Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suyatno
Landung, hingga kasus hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Herman
Alossitandi, yang memeras saksi kasus Jamsostek.
Jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan, Cecep Sunarto dan Bordju Ronni Allan Felix, adalah contoh lain. Dua
jaksa itu terbukti menerima uang Rp 550 juta dari Ahmad Djunaidi, terdakwa dalam
kasus korupsi PT Jamsostek. Kedua jaksa itu hanya divonis satu tahun delapan
bulan.
Hukuman yang diterima relatif tidak
terlalu berat. Suyatno Landung divonis 18 bulan penjara, sedang Alossitandi
divonis empat tahun enam bulan penjara. Padahal, skandal suap aparat hukum
mencoreng citra penegakan hukum di negeri ini.
Oknum yang diganjar sanksi berat
adalah Urip Tri Gunawan, mantan kepala tim jaksa yang memeriksa kasus Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Urip terbukti menerima 660.000 dollar Amerika Serikat dari pengusaha Artalyta
Suryani. Urip divonis 20 tahun penjara (Kompas, 11/3/2009).
Terbongkarnya praktik makelar kasus
yang merebak akhir-akhir ini sekadar menjadi bukti penguat dari dugaan yang
melekat di lembaga negara. Kasus mafia hukum di Mabes Polri, yang melibatkan
pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Gayus HP Tambunan, juga
berangkat dari suap. Kuatnya aroma suap juga tercium dalam dugaan korupsi yang
melibatkan hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta, Ibrahim, dan
pengacara Adner Sirait. Demikian juga dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI
Miranda S Goeltom yang menyeret beberapa nama anggota DPR.
Terus berulangnya aksi korupsi dan
tak adanya efek jera dari aparat negara melahirkan kegamangan publik atas
keseriusan dan kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi. Rendahnya
kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara tergambar dari besarnya
persentase responden yang meyakini instansi pemerintahan adalah sarang korupsi.
Rata-rata lebih dari 90 persen responden yang menilai aparat penyelenggara
negara di berbagai instansi tidak bebas dari perilaku korupsi.
Hasil survei juga menunjukkan,
mayoritas publik menyebut aparat di lembaga penegak hukumlah yang paling rawan
dari korupsi. (Suwardiman/Litbang Kompas)