TEMPO Interaktif, Jakarta - Salah seorang calon hakim agung, Rahmi Mulyati, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap usulan pemiskinan bagi para koruptor. "Sepanjang ada uang rakyat yang sudah dikembalikan, kenapa harus memiskinkan dia?" ujarnya saat menjalani uji kelayakan dan uji kepatutan calon hakim agung di ruang rapat Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 26 September 2011.
Rahmi berargumen, koruptor yang telah dijatuhi vonis bersalah berhak mendapatkan keringanan hukuman apabila telah mengembalikan sejumlah uang kerugian negara. Hal itu, kata dia, juga harus menjadi pertimbangan bagi hakim yang menangani perkara.
"Kalau koruptor bayar semua kerugian negara yang dihabiskan dia, menurut saya dapat dikurangi hukumannya. Tapi kalau dalam hal ini tidak membayar, maka harus dilakukan penyitaan pada harta kekayaannya," kata hakim karier dengan kompetensi perdata itu.
Wacana untuk memiskinkan koruptor bergulir sejak mencuatnya kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan. Wacana tersebut digulirkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. menanggapi perilaku bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu yang sempat dapat melenggang bebas keluar sel tahanan karena menyogok petugas rutan.
Menurut Mahfud ketika itu, Gayus harus dijatuhi hukuman seberat-beratnya atas perbuatannya. Sesuai dengan Undang-Undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, orang yang melakukan korupsi bisa diancam hukuman maksimal seumur hidup. Bahkan, bila negara dalam keadaan darurat, orang tersebut bisa dihukum mati. Bagi Mahfud, hukuman seumur hidup ditambah pemiskinan buat Gayus adalah momentum perbaikan bagi pemberantasan korupsi.