|
Kalo gue potong (rambut) | |
|
SOLO - Kalau ingin membandingkan perlakuan hukum terhadap pelaku korupsi di berbagai negara, yang muncul ironi menyakitkan. Di China, koruptor dipotong lehernya, dihukum mati. Di Arab Saudi, pencuri dipotong tangannya.
”Di negeri kita tercinta Indonesia, koruptor malah diberi potong masa tahanan. Itulah Indonesia, jadi tidak aneh kalau kondisi kita menjadi seperti ini,” kata Sekretaris Program Doktor Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Burhanudin Harahap saat berbicara dalam Seminar Hukum Islam di kampus UNS, Sabtu (24/9).
Burhanudin mengatakan, jangankan menerapkan hukum Islam yang merupakan konsep ideal hukum yang menghargai hak pribadi manusia, menegakkan hukum yang ada saja belum bisa.
”Karena itulah, kalau kondisinya masih seperti ini, maka hukum kita juga hanya akan seperti ini. Apalagi begitu banyak penegak hukum yang bisa disuap, yang mengakibatkan hukum hanya tegak ke bawah saja,” ujarnya.
Tak Sekadar Prosedural
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman yang berbicara pada forum yang sama mengatakan hal senada. Menurutnya, lembaga peradilan di Indonesia belum memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat kecil.
”Karena itu, ke depan diperlukan hakim dan penegak hukum yang betul-betul memiliki komitmen, integritas moral dan karakter yang baik, mampu bersikap independen, tidak memihak, memiliki kemampuan, serta berani bersikap dan bertindak progresif,” kata dia.
Hakim tidak sekadar mengadili dengan patokan prosedural dan tekstual, namun juga harus melihat konteks, menakar teks hukum normatif dengan koteks di mana dan dalam situasi apa yang dia tangani itu.
”Hakim progresif adalah hakim yang berani menegakkan hak asasi manusia dengan mewujudkan keadilan yang substantif, tidak sekadar prosedural,” jelasnya.
Erman menambahkan, kondisi politik juga mempersulit penegakan hukum.
Presiden SBY selaku pimpinan tertinggi dinilai peragu, bahkan tidak memiliki keberanian untuk bertindak.
”Kalau dinilai, semua pejabat Indonesia seperti itu. Saya cukup menyebut satu saja, Presiden SBY. Itu karena mereka takut jabatannya digoyang, copot. Karena itu mereka mengambil tindakan tidak populer, sebab (jika tidak) pasti dimusuhi parpol,” kata Erman. (an-59)