BANDARLAMPUNG – Airmata Bupati Lampung Timur (Lamtim) nonaktif, Satono tak lagi terbendung usai mendengar tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang, Senin (26/9).
Ia tak menyangka JPU menuntutnya 12 tahun pidana penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp10.586.575.000.
Berkas tuntutan yang dibacakan A. Kohar, JPU berpendapat Satono terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi APBD Lampung Timur tahun 2005-2008 senilai Rp119 miliar.
"Jika terdakwa tidak mampu membayar uang pengganti dalam kurun waktu satu bulan setelah memeroleh kekuatan hukum tetap (inkracht), maka harta-benda terdakwa disita untuk kemudian dilelang, dan jika tidak mencukupi maka ditambah pidana penjara selama tiga tahun," urai A. Kohar.
Kohar menambahkan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, tim JPU berkeyakinan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 1 juncto pasal 18 UU No. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dirubah dan ditambah dengan UU nomor 20/2001 Juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPJuncto pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dihadapan majelis hakim yang terdiri dari Robert Simorangkir (ketua), Ida Ratnawati dan Itong Isnaeni (anggota), Kohar juga menyebutkan modus yang digunakan Satono yakni bersama-sama dengan Komisaris Utama PT BPR Tripanca Setiadana Sugiarto Wiharjo alias Alay memindahkan dana kas daerah Lamtim yang sebelumnya disimpan di bank umum (Bank Lampung kantor kas Sukadana dan Bank Madiri cabang Metro) ke BPR Tripanca Setiadana dalam kurun waktu 2005-2008.
"Apa yang dilakukan Satono telah melanggar ketentuan yang ada di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa dana kas daerah seharusnya ditempatkan di bank umum," tutur Kohar.
Namun, sambung Kohar, setelah terdakwa menjabat Bupati Lamtim periode 2005 sampai 2010, terdakwa beberapa kali mengadakan pertemuan dengan Sugiarto Wiharjo (Alay), yang dalam pertemuan tersebut Alay menawarkan kepada terdakwa untuk menyimpan dana kas daerah Lamtim dalam bentuk tabungan di BPR Tripanca Setiadana.
"Selanjutnya, terdakwa menyetujui untuk memindahkan sebagian dana kas daerah dari bank umum ke Bank Tripanca Setiadana," timpal Yusna Adia, anggota tim JPU lainnya.
Atas penempatan dana kas daerah Lamtim pada BPR Tripanca Setiadana yang dilakukan secara melawan hukum tersebut, terdakwa secara pribadi mendapatkan bunga tambahan senilai Rp10.586.575.000.
JPU membeberkan bahwa bunga tambahan itu telah diambil oleh Satono dengan cara ditarik tunai dari PT BPR Tripanca Setiadana di Bandarlampung senilai Rp2.187.112.500.
Lalu diterima secara tunai oleh terdakwa di kantor BPR Tripanca Center Bandarlampung senilai Rp500.000.000, ditransfer ke nomor rekening terdakwa di BPR Tripanca Setiadana dengan nomor 3000277605 dengan bukti setor tunai nomor C.No.5234529 tanggal 27 Desember 2006 di Bandarlampung senilai Rp276.863.300.
Kemudian diterima terdakwa dalam bentuk deposito atas nama istri terdakwa yakni Rice Megawati di BPR Tripanca Setiadana Bandarlampung senilai Rp1.000.000.000 dan dibayarkan kepada Sugiarto Wiharjo alias Alay sebagai kompensasi utang terdakwa di Bandarlampung senilai Rp6.622.599.200.
Akibatnya, negara mengalami kerugian Rp119.448.199.800. Dengan rincian saldo pokok sebesar Rp89.500.000.000 serta dana bunga tabungan dana kas daerah Lamtim pada tabungan Tripanca Plus sebesar Rp19.361.624.800 tidak dapat ditarik oleh terdakwa karena terhitung sejak 24 Maret 2009, PT BPR Tripanca Setiadana telah dicabut izinnya berdasar Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 11/15/Kep.GBI/2009.
Sementara, Sopian Sitepu penasehat hukum terdakwa menyatakan bahwa tuntutan JPU terhadap Satono tidaklah berdasarkan landasan hukum, karena fakta-fakta yang terungkap di persidangan tidak menjadi pertimbangan bagi JPU untuk menyusun tuntutan.
"JPU menjadikan Surat Dakwaan menjadi tuntutan tanpa mempertimbangkan fakta yang terungkap di persidangan. Misalnya, JPU tetap menuntut terdakwa untuk membayar ganti kerugian senilai lebih dari Rp10 miliar, padahal tak ada satu pun saksi yang menyatakan bahwa Satono telah menerima bunga dari tabungan kasda lamtim di BPR Tripanca Setiadana. Kalau kami istilahkan, Tuntutan ini adalah tuntutan asal selamat bagi JPU," ungkap Sopian seusai persidangan kemarin.
Ia juga menyebut JPU telah melakukan analogi hukum dengan menjadikan pasal 22 ayat 3 dan 4 UU no. 1/2004 tentang keuangan negara sebagai landasan menjerat dan melakukan penuntutan terhadap Satono.
"Dalam pasal 3 dan 4 UU No.1/2004 mengatur keuangan negara, tapi kemudian JPU menganalogikannya untuk mengatur keuangan daerah. Disini jelas, bahwa JPU telah melakukan analogi hukum yang nyata-nyata dilarang oleh hukum positif di RI berdasarkan pasal 1 ayat 1 KUHP," tutur Sopian didampingi Sumarsih dan Nuki (anggota tim penasehat hukum).
Terpisah, Budi Sanjaya, ketua tim advokasi untuk Lampung Timur menyatakan bahwa tuntutan JPU yang mencapai 12 tahun sudah membuktikan rasa keadilan bagi warga Lamtim.
"Saya rasa tuntutan 12 tahun penjara sudah cukup menjadi pelajaran bagi Satono, walaupun kalau menurut saya bisa saja dia dituntut 20 tahun penjara. Tapi paling tidak JPU sudah mempunyai keyakinan bahwa Satono memang telah melakukan korupsi secara sah dan meyakinkan. Saya yakin, JPU adalah orang yang pintar sehingga melalui proses persidangan yang lalu dapat memberikan satu kesimpulan untuk kemudian melakukan penuntutan," tuturnya.
Di sisi lain, ia juga mengkritisi sikap majelis hakim yang hanya memberi waktu Penasehat Hukum terdakwa untuk membuat nota pembelaan (Pledoi) selama tiga hari sehingga dimungkinkan tim pengacara tidak dapat maksimal untuk menyusun nota pembelaan secara maksimal.
"Ya seyogyanya majelis hakim dapat memberikan porsi untuk penasehat hukum terdakwa menyusun pembelaan. Tapi mau bagaimana lagi, pengacara hanya diberi waktu se bentar lantaran Rabu mendatang (28/9) sudah menjalani sidang dengan membacakan pledoi," tutupnya. (jar/ary)