Koruptor sudah sangat dibenci di mana-mana. Kejahatan korupsi itu sudah diserupakan dengan teroris. Keduanya sudah dianggap sangat membahayakan bagi kehidupan bangsa dan negara ini. Oleh karena itu, sudah tidak ada pihak-pihak yang berselisih pendapat, artinya semua sudah sepakat, agar kedua jenis kejahatan tersebut diberantas hingga tuntas.
Persoalannya adalah bahwa, ternyata koruptor itu ada di mana-mana. Hampir-hampir di semua instansi terdapat kasus-kasus korupsi. Siapapun tahu, bahwa korupsi ada di lembaga eksekutif, legiswlatif, yudikatif. Selama ini telah terbukti, bahwa ada oknum polisi, kejaksaan, kehakiman, anggota DPR, Gubernur, bupati, wali kota, pimpinan bank, dan bahkan juga menteri melakukan kejahatan korupsi.
Seringkali muncul pertanyaan menarik yang harus dijawab. Bahwa kalau terjadi kasus yang terkait dengan terorisme dan yang bersangkutan tertangkap, maka orang segera bertanya, mereka itu produk pendidikan mana. Biasanya kemudian lembaga pendidikan tertentu menjadi dicurigai. Namun hal itu agaknya berbeda tatkala terjadi kasus korupsi. Padahal keduanya adalah merupakan kejahatan yang sama.
Tanpa harus menyalahkan lembaga pendidikan yang telah memproduk para koruptor maupun para teroris, maka kiranya perlu direnungkan tentang bagaimana model pendidikan yang berhasil melahirkan pribadi yang tidak mau kurupsi dan juga membenci terorisme. Pendidikan yang dijalankan oleh bangsa Indonesia, di antaranya adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa, agar menjadi warga negara yang baik. Negara ini adalah berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Pada tataran konsep, pendidikan Indonesia sudah ideal. Hanya saja, pada implementasinya agaknya berbeda dari rumusan ideal tersebut. Kita selalu mendengar berbagai perbincangan, bahwa dalam memilih dan menawarkan lembaga pendidikan, terasa lebih berdasarkan pertimbangan yang bersifat praktis dan pragmatis. Misalnya, tidak sedikit lembaga pendidikan menawarkan kelebihannya hanya dari aspek keterjangkuan biaya, segera mendapatkan pekerjaan dan bergaji tinggi agar cepat kaya.
Tawaran-tawaran yang bersifat praktis dan pragmatis itu mendorong banyak orang untuk mengambilnya. Muncul kemudian anggapan bahwa sekolah atau lembaga pendidikan dimaknai sebagai media yang harus dilalui, agar seseorang bisa meraih hidup sukses dalam pengertian cepat kaya itu. Akhirnya sekolah menjadi institusi yang hanya berorientasi sebatas mengantarkan peserta didik menjadi sukses dalam ukuran yang sederhana itu.
Sudah barang tentu, tidak ada yang salah tatkala seseorang secara ekonomi menjadi kaya. Akan tetapi kekayaan itu tidak harus dijadikan satu-satunya tujuan. Pendidikan sebenarnya lebih tinggi dan mulia dari sebatas mendapatkan kekayaan. Sebab apa artinya kekayaan jika diperoleh melalui cara-cara yang tidak benar, seperti korupsi, kolusi, menyuap dan sejenisnya. Pendidikan mestinya adalah mengantarkan seseorang menjadi berbudi pekerti yang luhur hingga menjadi pemimpin dan warga negara yang baik.
Terkait dengan banyaknya kasus-kasus klorupsi, sebagaimana dikemukakan di muka, maka kiranya perlu dilihat kembali pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Pendidikan harus melahirkan orang-orang yang beriman, bertaqwa, berbudi pekerti yang luhur, dan atau memiliki karakter yang mulia. Pendidikan semestinya tidak cukup hanya sebatas mengantarkan seseorang, agar lulus dan mendapatkan pekerjaan serta menjadi kaya.
Pendidikan harus mampu melahirkan pemimpin, tokoh, pemuka masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan dan bahkan warga negara yang memiliki kepribadian yang kokoh hingga mampu menghindar dari perilaku yang merugikan dirinya sendiri, bangsa, dan negaranya. Sebaliknya, pendidikan tidak boleh melahirkan pemimpin yang korup dan teroris yang keduanya selalu membuat kerusakan terhadap bangsa, dan negaranya sendiri. Wallahu a’lam.