Akhir-akhir ini, ramai dibicarakan tentang pemberian remisi kepada para narapidana koruptor. Pemberian remisi tersebut dianggap tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Para koruptor yang sangat dibenci kerena menyengsarakan rakyat, seharusnya dihukum seberat-beratnya, akan tetapi pada kenyataannya, di antara mereka dihukum ringan dan setelah itu bahkan diberi remisi.
Kenyataan itu menjadikan rasa keadilan terganggu. Apalagi, banyak narapidana lain, yang hanya melakukan kesalahan kecil, misalnya mengambil beberapa buah kakau, semangka, seseorang yang diduga mengambil uang majikan yang jumlahnya tidak seberapa, mereka dihukum berat. Sebaliknya, para koruptor yang mengambil uang negara hingga milyaran rupiah ternyata dihukum ringan.
Atas dasar kenyataan tersebut, maka muncullah berbagai pandangan terhadap pemberian remisi, mulai dari yang paling ekstrim, misalnya agar remisi, khususnya kepada para koruptor dihapus. Narapidana koruptor tidak perlu diberi dan harus dihukum seberat-beratnya agar jera. Namun ada juga pendapat sebaliknya, bahwa dalam penerapan hukum tidak boleh diskriminatif. Kebijakan itu akan menyalahi undang-undang. Bahkan dalam alam modern, lembaga penjara seharusnya ditinggalkan, dan diganti dengan lembaga pemasyarakatan.
Lembaga penjara biasanya dimaknai sebagai hukuman, pembalasan, penistaan dan sejenisnya. Sedangkan lembaga pemasyarakatan lebih berorientasi untuk mendidik. Tatkala seseorang dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan, maka diharapkan pada suatu saat, yang bersangkutan akan menjadi baik kembali. Lembaga pemasyarakatan menjadi semacam lembaga pendidikan atau institusi untuk menjadikan seseorang kembali menjadi lebih baik.
Rasa ketidak-adilan terhadap hukuman para koruptor seringkali terbangun dari kenyataan-kenyataan di masyarakat yang dianggap ganjil. Misalnya, seorang koruptor yang telah keluar dari penjara, ternyata hidupnya masih jauh lebih baik, terhormat, dan bisa melakukan berbagai kegiatan sosial hingga tidak tampak, bahwa yang bersangkutan sebenarnya adalah pernah mendekam di lembaga pemasyarakatan.
Selain itu juga seringkali terdengar rumor bahwa para koruptor juga telah melakukan kalkulasi untung rugi secara cermat. Misalnya, seseorang berani melakukan korupsi hingga milyaran rupiah . Keberanian mengambil uang negara itu didasarkan atas kalkulasi, bahwa sekalipun dihukum, mereka masih merasa diuntungkan. Dari korupsinya, ia mendapatkan uang milyaran rupiah, sementara hanya dihukum beberapa tahun. Padahal jika tidak dihukum dan berada di luar penjara, dengan bekerja apapun tidak akan mendapatkan uang sebesar itu. Dengan demikian, menjalani hukuman dipandang sebagai cara mencari uang atau penghidupan.
Gambaran seperti itu menjadikan lembaga pemasyarakatan tidak terlalu efektif untuk memberantas kejahatan korupsi. Efek jera dan juga penyadaran yang diharapkan dari lembaga itu menjadi tidak sepenuhnya berhasil dicapai. Bahkan menurut berbagai informasi, seseorang yang dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan, justru mendapatkan pengetahuan tentang kejahatan dari sesama napi. Selain itu, orang yang dihukum dan apalagi hukuman itu dirasa tidak adil, maka akan menjadikan mereka sakit hati, dendam, permusuhan, kebencian yang tidak mudah dihilangkan.
Untuk mendapatkan keadilan ternyata tidak mudah, tidak terkecuali dalam mengadili kasus-kasus korupsi. Bisa jadi, seseorang dituduh korupsi, hanya karena salah prosedur, difitnah, dan lain-lain. Seseorang pejabat disodori surat oleh bawahannya agar supaya ditanda-tangani. Namun diketahui setelahnya, bahwa ternyata akibat surat itu negara dianggap terugikan, maka pejabat tersebut dinilai melakukan korupsi dan harus dihukum. Padahal secara ekonomi, pejabat dimaksud tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Akan tetapi, bagaimanapun ia dianggap salah, karena menanda tangani surat dimaksud.
Kasus-kasus seperti itu terjadi di berbagai instansi kementerian. Sehingga melahirkan gambaran yang kadang jika dirasakan secara mendalam, sebenarnya tidak memenuhi rasa keadilan. Misalnya ada seorang menteri diajukan ke pengadilan hanya terkait pembelian mesin jahit, sapi, mobil pemadam kebakaran, pengeluaran dana non bajeter dan lain-lain. Hal itu terasa aneh, seorang menteri dihukum dengan alasan kesalahan prosedural, atau terkait dengan urusan sederhana.
Sebagai seorang pejabat tinggi, pada saat-saat tertentu, semestinya diberi kewenangan untuk mengambil kebijakan khusus di luar aturan yang ada. Kalau sesuatu harus dijalankan persis sesuai dengan aturan, maka semestinya tidak perlu mengangkat pejabat seorang yang pintar, cerdas dan berpengalaman, tetapi justru sebaliknya. Dipilihnya orang pintar, cerdas dan berpengalaman sebagai pejabat sebenarnya agar yang bersangkutan dalam mengambil keputusan tidak saja berdasar peraturan, melainkan mempertimbangkan aspek yang lebih luas dari sekedar peraturan itu.
Memperhatikan kenyataan seperti itu, maka sebenarnya di dalam pelaksanaan hukum sendiri, di sana-sini masih terdapat sesuatu yang tidak adil. Seseorang yang karena pengetahuan, kecerdasan, dan pengalamannya, mereka diangkat sebagai pejabat tinggi, namun hanya karena salah prosedur, mereka dihukum. Padahal dengan keadaannya seperti itu, maka harkat dan martabatnya menjadi hancur pada tingkat serendah-rendahnya.
Oleh karena itu, tidak semua orang yang disebut sebagai koruptor selalu telah mendapatkan keuntungan melimpah. Mereka dianggap korupsi, hanya karena kesalahan dalam menjalankan tugas. Tetapi memang, terdapat banyak orang yang disebut koruptor dan benar-benar koruptor. Mereka mengambil uang negara hingga triliyunan rupiah dan membawa lari ke luar negeri. Orang seperti ini, harus dihukum seberat-beratnya dan tidak perlu diberi remisi. Kiranya hal itu semua orangt sepakat. Akan tetapi terhadap seorang menteri, gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR yang melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan, maka menghukumnya,-----menurut hemat saya, sebagai berlebihan.
Saya memiliki pengalaman yang menyedihkan tentang kesalahan prosedur, sekalipun tidak sampai dihukum, hanya diharuskan mengembalikan uang itu kepada kas negara. Kesalahan prosedur itu terkait dengan pembangunan masjid kampus. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan tempat ibadah, oleh karena pemerintah tidak menyediakan anggaran, maka saya berusaha mencari sumbangan. Usaha itu berhasil saya dapatkan dari seseorang sebesar tiga setengah milyar. Pembangunan masjid dimulai. Namun di tengah-tengah proses pembangunan tersebut, pihak penyumbang tidak bisa meneruskan, karena ada problem keluarga. Pemberi dana pembangunan masjid hanya mampu dipenuhi 70 % dari yang disanggupinya.
Menghadapi kenyataan itu, saya berpikir bahwa, pembangunan masjid tersebut tidak boleh berhenti. Sebab tempat ibadah ini merupakan bagian amat penting yang harus dipenuhi. Maka, saya menggunakan dana kampus untuk menyelesaikannya. Tetapi apa yang terjadi, menurut pemeriksaan dari BPK, saya dianggap telah melakukan kesalahan. Selanjutnya atas kesalahan itu, saya diharuskan mengembalikan sejumlah uang tersebut pada kas negara. Berbagai penjelasan saya kemukakan, tetapi tidak diterima karena kesalahan prosedur itu. Upaya dengan susah payah untuk mendapatkan dana tersebut hingga berjumlah dua seperempat milyar tersebut tidak dianggap sebagai prestasi, tetapi sebaliknya, justru sebagai kesalahan. Padahal semua bisa diklarifikasi, dan masjid itu sehari-hari telah digunakan untuk beribadah warga kampus. Negara teruntungkan, tetapi malah menghukumnya.
Dari pandangan dan penjelasan tersebut, saya hanya ingin menunjukkan bahwa, dalam proses peradilan dan bahkan peraturan yang ada, sebenarnya telah membelenggu pikiran dan kerja kreatif yang seharusnya justru ditumbuh-kembangkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini. Oleh karena itu, apa yang disebut sebagai penyimpangan, seharusnya tidak boleh dilihat secara hitam putih, termasuk terhadap orang yang disebut sebagai koruptor itu. Bisa jadi mereka terhukum ------dianggap korup, hanya karena menjalankan tugas tidak sesuai dengan prosedur, sekalipun niatnya baik dan mulia.
Saya termasuk orang yang berpandangan bahwa kiorupsi harus diberantas, tetapi saya tidak sampai hati melihat penderitaan pejabat tinggi yang dimasukkan penjara hanya karena persoalan sepele, dan belum tentu secara hakiki salah. Orang seperti ini tidak saja pantas diberi remisi, tetapi juga harus dibebaskan dari penderitaannya dan direhabilitasi nama baiknya. Wallahu a’lam.