Wacara
korupsi di negeri ini tampaknya menjadi permbincangan menarik dinegeri ini. Dalam komunitas masyarakat, sorotan tindak korupsi yang dilakukan para meneteri, pejabat, penegak hukum, polisi, sampai tingkat lurah dan desa menjadi perbincangan hangat ketika berkumpul, bertamu sampai diwarung-warung kopi.
Memperbicangkan fenomena korupsi yang makin menggejala dan berkembang di Republik Indonesia ini meski memuakkan dan menjijikkan (lebih jijik dari bangkai), namun menjadi daya tarik tersendiri, karena korupsi ditengarai tak tak akan habis menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tamak dan serakah.
Perbincangan ini juga terjadi ketika teman-teman berkumpul di rumah saya. Entah apa penyebabnya perbincangan ini justru terfokus pada perlakukan pihak aparat kepolisian lalu lintas yang selama ini menjadi “momok” masyarakat, khusus.
Pada akhirnya dipahami ternyata dua teman sepeda motornya terkena tilang, lantaran tidak menyalakan lampu pada siang hari. Perbicangan makin tidak mengenakkan, celaan, dan penilaian negatif makin menyudutkan polisi pada posisi yang tidak menguntungkan.
“Aku kan tidak tahu kalau dop lampunya mati, yang selama ini aku nyalakan secara permanen, tapi tetap saja kena tilang. Apa ini namanya pengayom masyarakat. Apa artinya operasi simpatik yang tidak simpatik?.
Itu bagian baiknya yang sempat saya dengar, tapi selebihnya aku tutup terlinga rapat-rapat, karena aku malu mendengar ocehan dan perlakuan petugas yang sebenarnya sangat berjasa pada pengguna jalan.
Banyak hal yang diperbincangkan tentang ptus polantas itu, banyak hal yang kau tanggap, dan banyak pula yang tidak ingin aku dengar dari mulut teman-temanku itu.
Pada saat suasana mereda, aku sampaikan bahwa besok akan pergi ke Yogyakarta mengantarkan anak-anak yang telah memasuki masa perkuliahan. Namun pada saat itu pula seorang teman menawarkan mobil Avansanya yang sedang nganggur, temanku satunya lagi menyahut akan siap membantu menyopirinya, karena meang dia profesi sopir.sebuah travel yang sedang istirahat.
Paslah, jadi semuanya serba praktis, hemat biaya, dan ungkapan syukur dan terima kasih yang tak terhingga kami hamburkan kehadirat Yang Maha Kuasa, yang telah memberi kemudahan pada keluarga kami.
Namun kemudian teman yang meminjamkan dia nyelutuk: “Hati-hati perjalan dari Surabaya ke Ngawi, disitu banyak
bajing jalanan”, ungkapnya bergurau.
Tentu saya tidak punyak pikiran yang anek tentang bajing jalanan itu, karena selama yang aku tahu, yang ada bajing loncat, bentuk kejahatan dengan korban truyk-truk yang memjuat barang.
“Ah, kamu ada saja”, sahutku. Dia hanya tersenyum.
Pas hari H, tepat tengah malam, kami semua berangkat. Perlengkapan perjalanan, STNK, SIM dicek kembali, takut-takut terlupakan masa berlakunya habis. “Beres semua”.
Kondisi ban depan, belakang dan semua persyaratan mobil layak jalan, bahkan bekal dijalanpun istri saya sudah menyiapkan. :Tidak usah beli sarapan, ini nasi dan lauk cukup untuk kalian semua”. Alhamdulillah, hemat biaya. Dan akhirnya kami berangkat.
Memasuki kota Surabaya jalan lempang, karena memang waktunya masih dini, menuju kearah barat sampai sampai Ngawi berjalan aman.. Kita semua bersyukur, selama perjalanan tidak ada rintangan.
Tapi ketika memasuki jembatan kontruksi besi dekat hutan dan perkampungan (entah kami tidak menganal daerahnya) lepas dari kota
Ngawi didepan telah berdiri seorang petugas polantas dekat pos jaga
“Priiiiiit. Dia minta minggir. Ramah. Simpatik. Hormat, dan kami diminta menunjukkan SNTK dan SIM. Sang sopir menyodorkannya. Lalu sopir diminta ke pos penjagaan dan saya dampingi.
“Anda melanggar, garis marka disana”, kata petugas Satlantas itu menunjuk arah jembatan.
Kami bingung, pelanggaran yang bagaimana?. Pada saat itu suana sepi, tidak ada hilir mudik kenadaraan yang lain. Kami protes, namun polisi itu tetap bersikukuh kami bersalah seraya menulis pada buku tilang.
“Anda kena tilang dan hadiri di sidang”, sambungnya. Kami bingung. Membantah sama melawan petugas keamanan, mengiyakan ditilang sama artinya membangun masalah. Apalagi nopol mobil kami bukan wilayah Kabupaten Ngawi.
Kami bersikukuh bahwa ban mobil kami hanya menyentuh garis
marka, tidak melampaui batas jalanan berlawanan arah. Tapi dia juga bersikukuh, bahkan itu juga termasuk pelanggaran. Aku berfikir percuma bersikukuh dengan pihak aparat yang egois, akhirnya kami menyerah.
Dia kemudian menawarkan jasa. “Bisa saya bantu, tapi Anda harus membayar biaya sidang”, sambungnya.
Ah, ironis sekali.
Lalu dia menunjukkan sepotong kertas tabel (mungkin pasal-pasal pelanggaran dan nilai rupiah).
“Anda dikenakan denda Rp. 250.000,-“, katanya menekan.
Kami menghiba-hiba agar diberi kebijakan untuk dipermurah. Akhirnya dengan rasa ingin membantu kemudian dia menyebutkan angka, “sudahlah 75 ribu saja”.
Kami tak ingin perjalanan menjadi terhambat akhirnya kami rogoh saku, kembalian beli bensin dari lembaran uang ribuan dan receh. Saya selipkan dibawah buku di meja. Kemudian dia tersenyum seraya mengantarkan kami sampai kemobil dan berpesan. “Hati-hati dijalan, jaga keselamatan penumpang”, ungkapnya.
Benar-benar polisi yang simpatik. Dan mungkin dia akan berang, kalau sebenarnya uang yang kami sodorkan hanya Rp. 4.500,-.
*****
Keesokan harinya, sepulang dari Yogya, kami berharap tidak ketemu lagi dengan petugas tadi atau petugas polisi jalanan lainnya. Lancar dan aman.
Menjelang memasuki kota
Jombang, perjalanan mobil merambat. Macet. Truk-truk menutupi pandangan kami kedepan. “Ini biasa, kemacetan menjadi kebanggaan Indonesia”, kata teman saya sang sopir, yang saat ini tinggal kami berdua.
Tapi ketika saya menengok dari samping disana ada sejumlah petugas polisi lalu lintas, yang menurut benak saya sedang mengamankan jalannya lalu lintas.
Tapi apa lacur, ternyata akhirnya kami diminta minggir. Dan kali ini beda polisi sebelumnya, lalu langsung berucap: “Surat-surat?”.
Kami serahkan SIM dan STNKdan mengikuti ke pos polisi. Di pos polisi ada satu orang sedang menunggu, menyiapkan surat tilang. Kali ini agak angker, sulit diajak bicara. Dia menujukkan wajah bermusuhan, seakan-akan kami sebagai terdakwa.
Telusur punya telusur ternyata kami disalahkan melanggar garis marka sebelah kiri jalan, yang seharusnya digunakan pengendara sepeda motor. Saya perhatikan kearah garis tersebut, sejak kami diminta minggir, tidak ada sepeda motor yang melintas. Dan kami tidak mendahului dari sisi kiri mobil didepannya. Dan ini kami sampaikan kepada prtugas, seperti sebelumnya “Anda melanggar garis marka”, ungkapnya terkesan tegas.
Lalu dia menujukkan lembaran surat tilang yang dipojok atas tertera angka Rp. 100.000,- dan Rp. 250.000,-. Kemudian dia menjelaskan untuk pelanggaran sepeda motor dikenakan Rp. 100.000,-, kalau mobil Rp. 250.000,-.
Lagi-lagi kami ketemu “polisi yang bijak”. Dia menawarkan jasa membayar separuhnya saja. Kami tetap beralasan bahwa mobil kami hanya menyentuh garis saja. Tampaknya dia merasa “digurui”, akhirnya menyodorkan surat tilang, “Hadiri dalam sidang”
Kami bingung, kalau menerima surat tilang itu persoalan akan jadi ruwet. Mustahil kami bisa menghadiri sidang, meski sebenarnya dalam persoalan ini saya bisa memilih disidang. Kalau kami memenuhi kehendak polisi itu, uang yang tersisa cuma untuk bensin dan makan siang. Dan juga sama artinya mendukung kejatahan aparat di jalanan.
(Bila anda mengahapi masalah macam ini, bagaimana sikap Anda. )
Kami berdua terdiam, kami mengutuk cara-cara petugas yang tidak manusiawi itu, padahal kami sampaikan semua persoalan yang kami hadapi, tapi tampaknya kami berhadapan dengan patung, bisu dan menyeringai. Dia benar-benar tuli hatinya.
Dia justru makin asyik, “mengurus” korban-konban yang lain. Ada sejumlah mobil berjejer ditepian. Kasusnya sama, menyentuh garis marka jalan.
Benar-benar strategi yang jeli, meletakkan posisi pos jaga yang menghadap luruh ke garis marka. Seperti layaknya, hakim garis sepak bola atau bla volly. Peluit siap dimulut, tinggal menunggu
jebakan. Menyentuh garis priiiit. Pelanggaran. Luar bisa Indonesia.
Dari pemikiran yang ruwet, akhir secara terbuka kami julurkan uang Rp. 100.000,-. Dia terima. Luar biasa.
Sementara petugas yang lain, dengan sebatang lampu merah, seraya dilambai-lambaikan ditangannya, sejumlah korban menepikan mobil- mobilnya. Tanpa basa-basi (mungkin karena terburu-buru, takut korban yang lain lepas dari pandangannya), meminbta SIM dan STNK, lalu dibawa ke pos jaga, lalu jadi tersangka, lalu .. lalu …. dan lalu…
Tidak semua polisi mempuyai tabiat seperti mereka, banyak saya temui, polisi yang ramah,
simpatik, dan bila terjadi pelanggaran yang tidak membayakan pihak lain, dia hanya berpesa, “Hati-hati ya pak, patuhi rambu-rambu, demi keamanan bersama”.
Dengan senyum ramah, dan pesan yang bijak, dapat dipastikan mereka yang diingatkan itu akan tersentuh, dia akan lebih memperhatikan jalur dan rambu-rambu yang ada.
Dialah menurut saya petugas polisi lalu lintas yang sebenarnya. Dia mengayomi, dan membina masyarakat. Polisi macam itu akan selamat, dari ancaman korupsi.
Korupsi tidak selalu terjadi di kantor-kantor, di jalan rayapun rentan lahirnya koruptor.
Tiba-tiba aku ingat pesan temanku pemilik mobil yang dia kami pinjam, apa ini yang dimasksud
Bajing Jalanan. Ah, saya tidak ingin menduga-duga, kami cuma berharap petugas polisi, dimana posisi tugasnya benar-benar mengayomi masyarakat, tidak membelenggu, tidak menekan, tidak menjadi hakim ala preman. Dan menjadi polisi karena hati nurani.
Disampaikan oleh : Herman kepada Brantas KKN, dalam pengalaman perjalanannya pada tanggal 14 September 2011