JAKARTA – Kebijakan moratorium pemberian remisi bagi terpidana korupsi dan terorisme dinilai tidak tepat. Calon hakim agung terpilih Gayus Lumbuun mengatakan, moratorium remisi yang diwacanakan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana sangat meresahkan publik.
Ia mengingatkan, Peraturan Menteri maupun Peraturan Presiden tidak cukup membuat kebijakan moratorium bisa dijalankan. Gayus menilai, jika kebijakan itu dipaksakan untuk diberlakukan bisa bertabrakan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan dan UUD 1945 Pasal 28.
"Karena bertentangan dengan aturan lebih tinggi, maka keinginan tersebut tidak bisa direalisasikan. Cara paling mungkin adalah merevisi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan," papar Gayus, Rabu (2/11).
Menurutnya, UU tidak boleh dilawan dengan kebijakan politik semata. “Jangan diteruskan kebijakan itu. Belum ke luar saja aturan itu sudah meresahkan masyarakat,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, pemberian remisi kepada koruptor maupun teroris menjadi hak dan diatur UU. Kalau kedua terpidana kategori itu tidak mendapatkan haknya, maka negara yang bersalah. Hal itu sama saja negara mendiskriminasi orang-orang tertentu gara-gara kebijakan satu orang. Gayus menilai, kondisi itu tidak bisa dibenarkan dengan dalih apa pun.
Lagian, lanjut dia, hukum acara pidana terhadap koruptor dan teroris itu mengandung dua hal, punishment (hukuman) dan treatment (perlakuan). Untuk hukuman, memang tidak bisa diganggu gugat dan setiap terpidana harus menjalani masa tahanan di penjara.
Namun, untuk perlakuan itu, setiap terpidana bisa mendapat hak remisi sesuai ketentuan yang berlaku. “Para prisoner (napi) harus mendapatkan perlakuan sesuai UU. Tidak bisa dicabut hanya karena keinginan Wakil Menteri Hukum dan HAM saja,” tandas Gayus.