Mahatma Gandhi pernah berpesan, "You may never know what results come of
your action, but if you do nothing, there will be no result" (Anda
mungkin tidak pernah tahu hasil dari usaha-usaha yang Anda lakukan,
tetapi jika Anda tidak melakukan sesuatu, Anda tidak mungkin mendapat
hasil). Gandhi mau mengingatkan pada setiap orang supaya dalam hidup ini
agar tidak menyerah dalam menghadapi tantangan. Sebaliknya, berusaha
menunjukkan kemampuan diri untuk melahirkan sejarah, baik bagi sendiri,
masyarakat, dan bangsa.
Kata kunci yang disampaikan Gandhi
tersebut terletak pada "usaha" atau pewujudan "kinerja" yang mengajak
setiap manusia, apalagi yang jelas-jelas memunyai kapabilitas moral,
agama, atau keistimewaan lainnya demi tejadi perubahan besar.
Khususnya
perubahan dari kondisi yang membebani masyarakat menjadi atmosfer yang
mencerahkan atau membeningkan. Salah satu bentuk kondisi akut yang
selama ini menjadi beban berkepanjangan masyarakat adalah korupsi.
Sudah
ada beberapa tawaran jurus melawan atau mengalahkan korupsi yang
setidaknya bergema selama tahun 2011. Tawaran jurus atau politik
penanggulangan korupsi ini di antaranya berasal dari Ketua Mahkamah
Konstitusi Mahfud MD.
Misalnya, permintaan menghentikan dagang
pasal di badan legislatif dan penyiapan "kebun" untuk koruptor. Tawaran
lain: pemiskinan koruptor, hukuman mati, kerja sosial dengan cara
pengasingan koruptor ke tempat-tempat tertentu yang jauh dari pergaulan
publik. Tawaran ini sulit berbuah positif terhadap terjadinya perubahan
atau pembaruan empiris, manakala tidak diikuti usaha maksimal.
Setiap
elemen negara boleh saja mengaktifkan diri dalam diskursus secara
teoritis tentang makna penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau
jabatan dan unsur-unsurnya, serta sifat-sifat koruptif. Akan tetapi,
ranah das sollen atau penguatan ide-ide cerdas ini saja belum cukup
untuk membabat menjamurnya dan membudayanya korupsi.
Satu lagi
yang diperlukan adalah ranah das sein yang berisi gerakan berkelanjutan,
sistemis, terstruktur dan militan untuk memberangus korupsi yang juga
sistemis, terstruktur, dan mengultur.
Masalahnya, benarkah kita
ini sungguh-sungguh menjadikan penyalahgunaan kekuasaan atau malapraktik
jabatan sebagai musuh utama? Tidakkah penyimpangan kekuasaan masih kita
jadikan sebagai "sahabat" setia untuk memperkaya diri atau membesarkan
pundi-pundi golongan dan partai?
Bukankah selama ini peringkat
"prestasi" korupsi kita masih tidak mau kalah dengan sejumlah negara
lain yang rapor korupsinya terbilang spektakuler? Bukankah kita masih
menyukai praktik penyelenggaraan kekuasaan yang bervirus memudahkan
jalan berkorupsi alih-alih menutup lubang-lubang yang meniscayakan
terjadinya dan maraknya korupsi?
Gugatan tersebut berangkat dari
gampangnya ditemukan sejumlah sifat, pola, atau modus operandi
penyelingkuhan kekuasaan. Nyaris sudah atau sedang terjadi pemerataan
korupsi di lembaga-lembaga strategis negara.
Mereka yang
dipercaya mengelola keuangan di lembaga-lembaga ini, bukannya
mengamankan dan "menyamankan" penggunaan keuangan negara, justru
disalahalamatkan penggunaannya. ICW menemukan selama tahun 2010 terdapat
700 kasus korupsi yang melibatkan ribuan aktor mulai tingkat pusat
hingga ke daerah. Kerugian negara akibat korupsi itu hingga lima triliun
rupiah lebih.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah (LKPP), misalnya, pernah melaporkan, bagian ini adalah sumber
korupsi pegawai negara. Kepala LKPP Agus Rahardjo mengatakan, peluang
untuk korupsi jumlahnya mencapai 400 triliun rupiah. Jumlah sebanyak itu
mencapai total belanja pemerintah yang bersumber dari APBN 2010
(Chalid, 2011).
Memang ranah pengadaan barang menjadi sumber
korupsi. Sebab, 70 persen kasus di KPK berkorelasi pengadaan barang dan
jasa. Pelaku korupsi di sektor pengadaan barang ini mulai dari pegawai
rendahan sampai pejabat pemerintah. Besarnya angka korupsi tak bisa
disangkal jika dikaitkan dengan anggaran negara untuk pengadaan barang.
Misalnya, nilai pengadaan barang untuk Perusahaan Listrik Negara
mencapai 150 triliun rupiah, sedang BP Migas tidak kurang dari 9-12
miliar dollar AS.
Berpijak pada kasus tersebut, setidaknya bisa
dipahami, pemangku jabatan menjadi mudah tergoda melakukan penyimpangan
anggaran negara karena jumlah uang yang dipercayakan itu. Ditambah lagi
rendahnya komitmen moral dalam menjaga sakralitas jabatan.
Saat
diberi kepercayaan mengelola uang dalam jumlah besar, harusnya dijadikan
momentum untuk melawan kecenderungan menyalahgunakannya. Sebaliknya,
diperlakukan sebagai momentum "berusaha" secara maksimal guna
mengalirkannya ke kantong pribadi, keluarga, dan kroni.
Mereka
itu tergelincir pada "usaha" meminimalisasi penggunaan anggaran negara
untuk kepentingan publik dan atau mewujudkan program-program
pembangunan.
Itu menunjukkan, mereka yang menyalahgunakan
kekuasaan tidak kekurangan akal untuk menjarah keuangan negara, baik
bersumber dari APBN maupun APBD. Ini meupakan strategi besar koruptor
dalam mematahkan pejuang antikorupsi. Mereka yang sudah terbiasa hidup
dalam bingkai muslihat korupsi, tentulah tidak menginginkan aksinya
terbongkar.
Kesadaran moral dan kecerdasan intelektual pejuang
antikorupsi menjadi modal utama mengalahkan sindikat penyalahgunaan
kekuasaan. Koruptor memuyai jaringan terorganisasi yang menjalar ke
berbagai institusi. Mereka juga dapat membuat penegak hukum tak berdaya.
Kesadaran
moral dan kecerdasan intelektualitas harus dimiliki setiap pejuang
antikorupsi. Dengan begitu, upaya koruptor membangun lingkaran setan
dapat dihancurkan. Kegigihan para pegiat antikorupsi dapat mengikis
gerakan tangan-tangan koruptor.
Dengan demikan, para penjahat
tersebut tidak akan mampu mengepakkan sayap kotornya guna menciptakan
gurita koruptif. Mereka akan gagal mengembangkan hegemoninya seiring
dengan kemapanan pejuang antikorupsi yang gigih melakukan perlawanan.***
Oleh Prof Dr Bambang Satriya, SH,MH
Penulis adalah guru besar Stiekma dan dosen luar biasa Universitas Machung