Alanda Kariza
Jika ditanya apa cita-cita saya, saya
hampir selalu menjawab bahwa saya ingin membuat Ibu saya bangga. Tidak
ada yang lebih menyenangkan dibanding mendengar Ibu menceritakan
aktivitas saya kepada orang lain dengan wajah berbinar-binar. Semua
mimpi yang saya bangun satu persatu, dan semoga semua bisa saya raih,
saya persembahkan untuk beliau. Belakangan ini, kita dibombardir berita
buruk yang tidak habis-habisnya, dan hampir semuanya merupakan isu
hukum. Saya… tidak henti-hentinya memikirkan Ibu. Terbangun di tengah
malam dan menangis, kehilangan semangat untuk melakukan kegiatan rutin
(termasuk, surprisingly, makan), ketidakinginan untuk menyimak berita… Entah apa lagi.
Selasa, 25 Januari 2011, periode ujian
akhir semester dimulai. Hari itu juga, Ibu harus menghadiri sidang
pembacaan tuntutan. Hampir tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan
Ibu saya, yang sejak bulan September 2005 bekerja di Bank Century. Hanya
keluarga dan kerabat dekat kami yang mengetahui bahwa Ibu menjadi
tersangka di beberapa kasus yang berhubungan dengan pencairan kredit di
Bank Century. Sidang pembacaan tuntutan kemarin merupakan salah satu
dari beberapa sidang terakhir di kasus pertamanya.
Sejak Bank Century di-bailout dan
diambil alih oleh LPS, kira-kira bulan November 2008 (saya ingat karena
baru mendapat pengumuman bahwa terpilih sebagai Global Changemaker dari
Indonesia), Ibu sering sekali pulang malam, karena ada terlalu banyak
pekerjaan yang harus diselesaikan. Saya jarang bertemu beliau. Bahkan
ketika saya berulangtahun ke 18, saya tidak bertemu dengan Ibu sama
sekali, karena beliau masih harus mengurus pekerjaan di kantor. Itu
pertama kalinya saya berulangtahun tanpa Ibu. Seiring dengan diusutnya
kasus Century, Ibu harus bolak-balik ke Bareskrim untuk diinterogasi
oleh penyidik sebagai saksi untuk kasus-kasus yang melibatkan
atasan-atasannya.
Sejak saya kecil, Ibu saya harus bekerja
membanting tulang agar kami bisa mendapat hidup yang layak – agar saya
mendapat pendidikan yang layak. Ketika saya duduk di SMP, beliau sempat
di-PHK karena kantornya ditutup. Kami mengalami kesulitan keuangan pada
saat itu, sampai akhirnya saya menerbitkan buku saya agar saya punya
“uang saku” sendiri dan tidak merepotkan beliau, maupun Papa. Ibu sempat
menjadi broker property, berjualan air mineral galonan, sampai
berjualan mukena. Adik pertama saya, Aisya, ketika itu masih kecil.
Ibupun mengandung dan melahirkan adik kedua saya, Fara. Akhirnya, ketika
buku saya terbit, beliau mendapat pekerjaan di Bank Century. Papa sudah
duluan bekerja di sana, tetapi hanya sebagai staf operasional.
Saya lupa kapan… tapi pada suatu hari, saya mendengar status Ibu di Bareskrim berubah menjadi TSK. Tersangka.
…
Itu merupakan hal yang tidak pernah
terlintas di pikiran saya sebelumnya. Tersangka? Dalam kasus apa?
Dituduh menyelewengkan uang?
Sejak Ibu bekerja di Century, hidup kami
tetap biasa-biasa saja. Jabatan Ibu sebagai Kepala Divisi boleh
dibilang tinggi, tapi tidak membuat kami bisa hidup dengan berfoya-foya.
Orang-orang di kantor Ibu bisa punya mobil mahal, belanja tas bagus, make up mahal…
Tidak dengan Ibu. Mobil keluarga kami hanya satu, itupun tidak mewah.
Saya sekolah di SMA negeri dan tidak bisa memilih perguruan tinggi
swasta untuk meneruskan pendidikan karena biayanya bergantung pada
asuransi pendidikan. Ibu tidak membiarkan saya mendaftarkan diri untuk
program beasiswa di luar negeri – beliau khawatir tidak bisa menanggung
biaya hidup saya di sana. Papa di-PHK segera setelah kasus Century
mencuat ke permukaan. Papa tidak bekerja, hanya Ibu yang menjadi “tulang
punggung” di keluarga saya. Papa dan saya sifatnya hanya “membantu”.
Saat itu, berat sekali rasanya, Ibu
memiliki titel “tersangka” di suatu kasus. Saya tidak bisa
mendeskripsikan perasaan saya ketika itu. Saya duduk di Kelas 3 SMA
tatkala status Ibu berubah. Ibu jatuh sakit karena tertekan. Tepat satu
hari sebelum Ujian Akhir Nasional, Ibu harus diopname, dan saya baru
tahu pukul 10 malam karena keluarga saya khawatir hal ini akan
mengganggu konsentrasi saya dalam menjalani ujian. Saya tidak lagi bisa
memfokuskan pikiran saya terhadap UAN SMA. Pikiran saya hanya Ibu, Ibu,
dan Ibu.
Sejak itu, hidup kami benar-benar
berubah… walau dari luar, Ibu dan Papa berusaha terlihat biasa-biasa
saja. Mereka tidak cerita banyak kepada saya. Mobil dijual dan mereka
membeli yang jauh lebih murah. Kami jarang pergi jalan-jalan dan saya
jarang mendapat uang jajan. Kami lebih jarang menyantap pizza hasil delivery order.
Supir diberhentikan, dan hanya punya satu pembantu di rumah. Ibu
dipindahkan ke kantor cabang, sementara Papa mengalami kesulitan mencari
pekerjaan. Saya beruntung, mereka berdua tidak pernah menahan saya dari
melakukan hal-hal yang saya mau lakukan, terutama aktivitas Global
Changemakers dan IYC. Tapi, saya sadar, bahwa hidup kami benar-benar
berubah.
I can live with that. I’m willing to
work part time, do internships, and work my ass off to publish more and
more books if it would help my parents, especially my mother. Although
I don’t have my own car and I can’t shop luxurious stuff just like my
friends do, I’m happy, and I’m willing to live like that. Saya mau,
meski hal tersebut pasti melelahkan. Saya memilih beasiswa dari BINUS
International dibanding Universitas Indonesia, salah satunya juga supaya
orangtua saya tidak perlu lagi membiayai pendidikan saya. Supaya uang
untuk saya bisa digunakan untuk membiayai pendidikan adik-adik saya.
Saya ingin mereka bisa les Bahasa Inggris bertahun-tahun seperti saya
dulu… siapa tahu mereka bisa memenangkan kompetisi-kompetisi
internasional yang bergengsi.
Awalnya pun berat bagi Ibu, tapi lambat laun, Ibu sangat ikhlas.
Ibu jarang membagi kesulitannya kepada saya – selalu disimpan sendiri
atau dibagi ke Papa. Beliau hanya mengingatkan saya untuk tidak lupa
shalat dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai-nilai
yang baik agar beasiswa tidak dicabut. Dari apa yang dialami Ibu, saya
belajar untuk tidak dengan mudah mempercayai orang lain. Ibu
orang baik dan hampir tidak pernah berprasangka buruk. Tapi sepertinya
kebaikannya justru dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain.
Ibu dituduh terlibat dalam pencairan
beberapa kredit bermasalah, yang disebut sebagai “kredit komando” karena
bisa cair tanpa melalui prosedur yang seharusnya. Beberapa kredit cair
tanpa ditandatangani oleh Ibu sebelumnya. Padahal, seharusnya semua
kredit baru bisa cair setelah ditandatangani oleh beliau yang menjabat
sebagai Kepala Divisi Corporate Legal. Ya, tidak masuk akal.
“Kredit komando” ini terjadi atas
perintah dua orang yang mungkin sudah familiar bagi orang-orang yang
mengikuti kasus Century melalui berita, Robert Tantular dan Hermanus
Hasan Muslim. Dua orang ini sudah ditahan dan seharusnya, menurut saya,
kasusnya sudah selesai. Ibu dulu hanya menjadi saksi dalam kasus mereka
berdua, karena kredit-kredit tersebut cair karena perintah mereka, bukan
Ibu. Bahkan tandatangan Ibu pun “dilangkahi”. Pertanyaan saya, mengapa
Ibu dijadikan tersangka? Nonsens.
Oleh karena itulah, saya optimis. Saya
tahu bahwa Ibu tidak bersalah, walaupun saya ‘awam’ dalam dunia hukum
perbankan. Saya selalu berkata kepada Ibu bahwa semua akan baik-baik
saja, karena itulah yang saya percayai, bahwa negara ini (seharusnya)
melindungi mereka yang tidak bersalah, bahwa negara ini adalah negara
hukum.
Sampai akhirnya, pada tanggal 25 Januari
2011, sehari sebelum saya ujian Introduction to Financial Accounting,
saya harus menerima sesuatu yang, sedikit-banyak, menghancurkan mimpi
yang telah saya bangun bertahun-tahun, dalam sekejap.
Hari itu seharusnya menjadi hari yang
biasa-biasa saja. Ujian hari itu bisa saya kerjakan dengan baik. Saya
pulang cepat dari kampus, tidur siang, bangun dan menonton televisi. Ibu
pulang malam. Status BBM salah seorang tante berisi: “Deep sorrow, Arga”. (Nama Ibu adalah Arga Tirta Kirana). Saat itu, untuk sejenak, saya tidak mau tahu apa yang terjadi. Hari itu, Ibu dan Papa pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mendengar pembacaan tuntutan.
Ibu dituntut kurungan 10 tahun penjara dan denda sebesar 10 milyar Rupiah.
Sesak nafas. Yang terasa cuma airmata yang tidak berhenti.
Mungkin, ini cuma mimpi buruk… Mungkin,
ketika terbangun, ternyata kasus ini sudah berakhir, dan saya bisa
menjalani hidup yang “biasa” lagi dengan Ibu, Papa, dan dua adik-adik
yang masih kecil. Walau hidup kami tidak mewah, tapi bahagia. Tidak
harus ada sidang, tidak harus ada penyidikan di Bareskrim, tidak harus
ada pulang larut karena harus ke kantor pengacara, tidak harus
melewatkan makan malam yang biasanya dinikmati bersama-sama. Saya kangen
Ibu masak di rumah: pudding roti, spaghetti, roast chicken,
sop buntut, apapun. Saya kangen pergi ke luar kota, walau cuma ke Bogor,
bersama keluarga. Hal-hal kecil yang sudah tidak bisa kami nikmati
lagi. Kalau ini hanya mimpi buruk, saya mau cepat-cepat bangun.
Mungkin saya tidak sepintar banyak orang
di luar sana, terutama para ahli hukum: mulai dari hakim, jaksa, sampai
pengacara maupun notaris. Saya tiga kali mencoba untuk diterima di
FHUI, dan tiga kali gagal. Tapi, saya bisa menilai bahwa tuntutan yang
diajukan itu tidak masuk di akal.
Gayus – kita semua tahu kasusnya,
kekayaannya, kontroversinya – divonis 7 tahun penjara dan denda 300
juta. Robert Tantular dituntut hukuman penjara selama 8 tahun dan
Hermanus Hasan Muslim dituntut hukuman penjara selama 6 tahun dari PN
Jakarta Pusat. Lalu, mengapa Ibu 10 tahun? Setolol dan seaneh apapun
saya, saya cukup waras untuk tidak sanggup mengerti konsep tersebut
menggunakan nalar dan logika saya. Apakah karena keluarga kami tidak
memiliki uang? Ataukah karena Ibu justru terlalu baik?
Ini negara yang saya dulu percayai, negara yang katanya berlandaskan
hukum. Atas nama Indonesia, saya dulu pergi ke forum internasional
Global Changemakers. Atas nama Indonesia, saya mengikuti summer course di
Montana. Untuk Indonesia, saya memiliki ide dan mengajak teman-teman
menyelenggarakan Indonesian Youth Conference 2010. Indonesia yang sama
yang membiarkan ketidakadilan menggerogoti penduduknya. Indonesia yang
sama yang membiarkan siapapun mengkambinghitamkan orang lain ketika
berbuat kesalahan, selama ada uang. Indonesia yang sama yang
menghancurkan mimpi-mimpi saya.
“Apa yang Alanda ingin lakukan sepuluh tahun lagi?”
Sebelumnya saya tahu, saya punya begitu
banyak mimpi yang ingin dicapai, untuk membuat Ibu bangga, dan – mungkin
– untuk Indonesia. Ingin mendirikan sekolah supaya pendidikan di
Indonesia menjadi lebih baik, ingin menyelenggarakan IYC terus menerus
agar ada banyak agen perubahan di Indonesia, ingin ini dan ingin itu.
Keinginan-keinginan itu mati tanpa diminta. Sekarang hanya ingin Ibu
bebas dari seluruh kasus tersebut. Sekarang hanya ingin hidup bahagia
bersama Ibu, Papa, dan adik-adik – di rumah kami yang tidak besar tapi
cukup nyaman; jalan-jalan dengan mobil yang tidak mahal tapi bisa
membawa kami pergi ke tempat-tempat menyenangkan.
Saya mau ada Ibu di ulangtahun saya yang
keduapuluh, dua minggu lagi. Saya mau ada Ibu di peluncuran buku saya –
seperti biasanya. Saya mau ada Ibu waktu nanti saya lulus dan diwisuda.
Saya mau ada Ibu ketika saya suatu hari nanti menikah. Saya mau ada Ibu
ketika saya hamil dan melahirkan anak-anak saya.
Uang, politik, hukum yang ada di negara
ini menghancurkan bayangan saya tentang hal itu. Mungkin selamanya
pilar-pilar hukum hanya akan mempermasalahkan kredit-kredit macet,
menjebloskan orang-orang ‘kecil’ ke penjara tanpa bukti dan analisa yang
komprehensif (maupun putusan yang masuk di akal), bukan 6,7T yang entah
ada di mana saat ini. Mungkin hal-hal seperti ini yang membuat
pemuda-pemuda optimis berhenti berkarya untuk Indonesia. Mungkin hal-hal
seperti ini yang membuat individu-individu brilian memilih untuk
tinggal dan berkarya bagi negara lain… agar keluarga mereka tetap utuh.
Supaya mereka tidak harus menghadapi ketidakadilan yang menjijikan
seperti ini.
Saya mau Ibu ada di rumah, Indonesia.
Tidak di penjara, tidak di tempat lain, tapi di rumah, bersama saya,
Papa, Aisya, dan Fara.
Hari Kamis, Ibu akan membacakan pledooi
(pembelaan) di PN Jakarta Pusat. Ibu akan menceritakan seluruh kejadian
yang beliau alami dan mengapa seharusnya beliau tidak mengalami tuduhan
apalagi tuntutan ini.
Saya mohon doanya buat Ibu, walau
mungkin Anda tidak pernah mengenalnya. Ia berjasa besar bagi saya, dan
saya yakin, bagi banyak orang di luar sana. Beliau membutuhkan doa,
dukungan, dan bantuan dari banyak orang.
Even if I have to let Indonesian
Youth Conference go, even if I have to work hard 24/7 to live without
having to ask for allowances from my mother… I’m willing to do so.
I just want her to stay with me…
instead of behind those scary bars. I just want her to witness
everything that I will achieve in the future. I just want her to see my
little sisters grow up, beautifully. I just want her to always be there
around the dining table, and we’ll have dinner together. I just want her
to cook again for the whole family on Sunday mornings. I just want her
to let me drive for her when she has to go somewhere. I just want her to
listen to my stories about my boyfriend, my friend, campus life, or
silly little things. I just want her here… Here.
I love you, Mum. I do… :’(