Oleh Abu Humaid Arif Syarifuddin
Dari Adiy bin
Amirah Al-Kindi Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan
untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami
sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (harta
korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”
(Adiy) berkata : Maka
ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu ia berkata, “Wahai
Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan”.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Ada apa gerangan?”
Dia
menjawab, “Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya
perkataan diatas, pent)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
berkata, “Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian
yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia
membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang
diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang
dilarang, maka tidak boleh”.
TAKHRIJ HADITS
1). Hadits ini
dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Imarah, bab
Tahrim Hadaya Al-Ummal, hadits no. 3415
2). Abu Dawud dalam Sunan-nya
dalam kitab Al-Aqdhiyah, bab Fi Hadaya Al-Ummal, hadits no. 3110
3).
Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Ismail bin Abu
Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat Adiy bin Amirah Al-Kindi
Radhiyallahu ‘anhu di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh
Muslim.
BIOGRAFI SINGKAT ADIY BIN AMIRAH RADHIYALLAHU ‘ANHU
Beliau
merupakan sahabat mulia, dengan nama lengkapnya Adiy bin Amirah bin
Farwah bin Zurarah bin Al-Arqam, Abu Zurarah Al-Kindu. Beliau hanya
sedikit meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di
antaranya adalah hadits ini.
Beliau wafat pada masa kekhalifahan
Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu. Ada pula yang berpendapat selain itu. [1]
Wallahu a’lam bish shawab.
MUFRADAT (KOSA KATA)
Kata
ghululan dalam lafadz Muslim, atau ghullan dalam lafadz Abu Dawud,
keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa
pengertian, di antaranya bermakna belenggu besi, atau berasal dari kata
kerja ghalla yang berarti khianat. [2] Ibnul Atsir menerangkan, kata
al-ghulul, pada asalnya bermakna khianat dalam urusan harta rampasan
perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum
dibagikan. [3]. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan
khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi.[4]
Jadi,
kata ghulul di atas, secara umum digunakan untuk setiap pengambilan
harta oleh seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas
yang diamanahkan kepadanya (tanpa seizin pemimpinnya atau orang yang
menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang, perbuatan ini disebut
korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita bahas ini.
MAKNA
HADITS
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan
peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani
suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil
pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang
yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun
hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar
tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat.
Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang
diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabannya nanti pada hari
Kiamat.
Ketika kata-kata ancaman tersebut didengar oleh salah
seorang dari kaum Anshar, yang orang ini merupakan satu diantara para
petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas
dengan suatu pekerjaan, hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara
keseluruhan, sedikit maupun banyak kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang diberikan, berarti boleh
mereka ambil. Sedangkan yang ditahan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka mereka tidak boleh mengambilnya.
SYARAH
HADITS
Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul
(korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan,
tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti ditegaskan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda
“Barangsiapa
yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan
(gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul
(korupsi)” [5]
Asy-Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini
terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas) mengambil
tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang
menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul
(korupsi). [6]
Dalam hadits tersebut maupun di atas, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan secara global bentuk
pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dumaksudkan untuk menunjukkan
bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan
dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau
yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang
bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan
sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak
menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya.
HUKUM
SYARI’AT TENTANG KORUPSI
Sangat jelas, perbuatan korupsi
dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (Al-Qur’an) maupun
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Di
dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Tidak
mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang).
Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka
pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu ..”
[Ali-Imran : 161]
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat
khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.
Menurut
penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ayat ini diturunkan pada saat
(setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil
rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan,
bahwa mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat ini untuk
menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbebas dari
tuduhan tersebut.
Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat
tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian
rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya. [7] Hal itu, karena
berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua
nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.
Mengenai
besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang
terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan :
“Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka
pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu…”
Ibnu
Katsir mengatakan, “Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras” [8]
Selain
itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan
harta manusia dengan cara yang batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya.
“Dan janganlah sebagian
kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [Al-Baqarah : 188]
Juga
firman-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil..’ [An-Nisa : 29]
Adapun
larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini
sangat banyak, diantaranya hadits dari Adiy bin Amirah Radhiyallahu
‘anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu ‘anhu diatas.
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
__________
Footnotes
[1].
Lihat Tahdzibul Kamal II/924 –copi manuskrip oleh Penerbit Daarul
Ma’mun Lit Turats, Damaskus dan didistribusikan oleh Maktabul Ghuraba,
Madinah. Lihat juga Taqributh Tahdzib, urutan no. 4544
[2]. Lisanul
Arab, 11/499
[3]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu tentang kisah seorang nabi (sebelum Nabi Muhamamd Shallallahu
‘alaihi wa sallam) dengan umatnya ketika mereka memperoleh rampasan
perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan perang
tersebut, hingga Allah mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan
perang tersebut, dan Allah mengharamkannya untuk umat sebelum umat
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Muttafaqun alaihi. Al-Bukhari
dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (Uhillat), hadits no. 3124, dan Muslim dalam kitab Al-Jihad was
Sair. Bab Tahlili Ghana-im Li Hadzihil Ummati Khashshatan, hadits no.
3287)
[4]. Lihat An-Nihayah Fi Gharibil Hadits, 3/380
[5]. HR Abu
Dawud dalam Sunan-nya di kitab Al-Kharaj wal Imarah wal Fa’I, bab Fi
Arzaqul Ummal, hadits no. 2943 dan dishahikan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Abu Dawud dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 6023
[6].
Nailul Authar, 4/233
[7]. Tafsir Ibnu Katsir 1/398
[8]. Ibid
PINTU-PINTU KORUPSI
Peluang melakukan korupsi ada
di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan
dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu
berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui
pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga
nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita.
Berikut
adalah di antara pintu-pintu korupsi.
[1]. Saat pengumpulan
harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan.
“Ada seorang nabi
berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : “Tidak boleh mengikutiku
(berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin
menggaulinya, dan ia belum melakukannya ; tidak pula seseorang yang
telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya ; tidak pula
seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang
bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya”. Lalu nabi
itu berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba
atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari :
“Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah,
tahanlah matahari ini untuk kami”, maka tertahanlah matahari itu hingga
Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan
perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api tersebut tidak
dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumnya) :
“Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil
harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang
dari setiap kabilah bersumpah (berba’iat) kepadaku”, kemudian ada tangan
seseorang menempel ke tangannya (berba’iat kepada nabi itu), lalu ia
(nabi itu) berkata, “Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka
hendaklah kabilahmu bersumpah (berba’iat) kepadaku”, kemudian ada tangan
dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berba’iat kepada nabi
itu), lalu ia (nabi itu) berkata, “Di antara kalian ada (yang berbuat)
ghulul”, maka mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian
mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah
menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah melihat
kelemahan kita” [9]
[2]. Ketika pengumpulan zakat maal (harta).
Seseorang
yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri,
jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat
maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada
pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah
sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi
pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau
memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah
mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan.
“Tidaklah
kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan
diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?”
Kemudian pada malam
harinya selepas shalat Isya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di
antara isi penjelasan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan.
“(Maka)
Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah
seseorang dari kalian mengambil (korupsi) sesuatu daripadanya (harta
zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di
lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara.
Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itupun) bersuara. Atau
jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara…”
[10]
[3]. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan
izin pemimpin atau yang menugaskannya.
Dalam hal ini, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.
“Hadiah untuk para
petugas adalah ghulul” [11]
[4]. Setiap tugas apapun, terutama
yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat amanah
memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya,
terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan
ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah
ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu,
yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barangsiapa
yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan
(gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul
(korupsi)’ [12]
BAHAYA PERBUATAN GHULUL (KORUPSI)
Tidaklah
Allah melarang sesuatu, melainkan dibalik itu terkandung keburukan dan
mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi
(ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Di
antaranya.
[1]. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia
akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan
dalam ayat ke -161 surat Ali-Imran dan hadits Adiy bin Amirah
Radhiyallahu ‘anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid As-Sa’idi
Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Demi
(Allah), yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah seseorang mengambil
sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari
Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka
(unta itu) bersuara. Jika (hang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi
itupun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka
(kambing itu pun) bersuara…” [13]
[2]. Perbuatan korupsi menjadi
penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits
Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
“ …(karena) sesungguhnya ghulul
(korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya” [14]
[3].
Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak
mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barangsiapa berpisah
ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka
ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan
hutang” [15]
[4]. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari
harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan
shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)” [16]
[5].
Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu
penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami
dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wahai manusia,
sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali dari yang baik. Dan
sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa
yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman, “Wahai para
rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”. Dia (Allah)
juga berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang
baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu”, kemudian beliau
(Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang
lama bersafar, berpkaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya
ke langit (seraya berdo’a) : “Ya Rabb… ya Rabb…” tetapi makanannya
haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan
sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?” [17]
Demikian
yang kami tuliskan untuk para pembaca seputar masalah korupsi.
Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari segala keburukan yang lahir
maupun tersembunyi. Dan semoga uruaian singkat ini bermanfaat. Wallahu
a’lam bish shawab.
dari: http://assunnah-qatar.com/artikel/hadits/item/820.html