Negeri
yang kaya raya dengan sumber daya alam. Dahulu kala Orang biasa menyebutnya
dengan gemah ripah loh jinawi. Negeri di mana, tanpa perlu banyak
mengeluarkan keringat agar tanaman tumbuh subur. Negeri di mana, matahari
bersinar setengah tahun dan hujan akan turun membasahi kekeringan setengah
tahun berikutnya. Demikian dulu banyak orang menyebutnya sebagai Keajaiban dari
Asia. Ada yang lebih suka menyebut dengan sebutan Macan Baru dari Asia.
Hampir setiap sudut kehidupan di negeri itu dikuasai oleh maling. Ada yang suka
maling kayu, ada yang tertarik menjadi maling ikan. Kadang ada juga yang
memilih menjadi maling emas, maling minyak, maling kebebasan, maling demokrasi,
maling keadilan, maling hukum hingga maling suara rakyat. Namun, yang
agak berlebihan adalah mereka yang memilih menjadi maling duitnya rakyat.
Bukan tanpa aturan, maling-maling itu menciptakan beragam aturan yang
ujung-ujungnya menjadi jalan pemulus untuk kehidupan maling itu sendiri. Tidak
hanya itu saja, maling itu saling terkait dan memiliki hubungan saling
ketergantungan. Maling kayu dan ikan sering kongkalikong dengan maling
keadilan dan hukum, begitu juga dengan maling emas dan minyak. Kalau maling
demokrasi, maling suara rakyat, maling kekuasaan itu tak jauh-jauh dari urusan
duitnya rakyat.
Sayang Seribu Sayang! Negeri yang begitu kaya seakan tidak ada habisnya untuk
dimaling. Semua yang ada dikuras habis, disikat tanpa ampun, disedot tanpa
henti. Nasfu bermaling-maling ria sudah begitu akutnya hingga rakyat dilupa.
Negeri
Para Maling
Tadi sore hari Saya tertawa terpingkal-pingkal diceritakan oleh seorang sahabat
kebetulan juga habis membaca artikelnya I Nyoman Winata berjudul "Negeri
Para Maling" (sumber : www.balebengong.net),
menurutnya bahwa negeri ini sudah menjadi negerinya para maling. Yang tidak
jadi maling tidak akan bisa menjadi penguasa. Tetapi kalau ada maling yang
tertangkap, para maling lainnya tidak akan merasa ketakutan, tetapi malah
tertawa lalu tetap saja menjadi maling. Bisa-bisa mereka akan menjadi maling
yang lebih lihai, lebih terhormat dan lebih berkuasa. Ya, inilah Negara
Kesatuan Para Maling. Bagaimana menggambarkan negeri yang bisa disebut negeri
Maling ini? Jika demikian, maka dipastikan Negeri para Maling juga memiliki
karakter yang serupa. Para penguasa yang memerintah negeri adalah para maling,
bahkan mungkin rajanya Maling. Semuanya adalah maling-maling yang merasa
dirinya tetap terhormat karena duduk dilembaga yang terhormat. Hukum yang
menjerat para maling, tidak membuat mereka ketakutan apalagi berhenti jadi maling.
Meski ada yang sudah ditangkap diadili bahkan di penjara, yang lainnya akan
tetap mencari peluang bisa menjadi maling.
Menurutnya dia lagi, kenyataan yang paling menyayat hati di Negeri para Maling
ini adalah para Maling sangatlah dihormati oleh Rakyatnya. Ke mana-mana mereka
tetap dielu-eluka karena selalu datang membawa segepok uang untuk membantu
membangun tempat ibadah, membantu bangun jalan desa atau sekedar memberi uang
saku. Wajahnya akan merajai media massa, di mana-mana ada dan selalu muncul
dengan tampilan menawan meski mereka juga adalah Maling. Ya, namanya juga
negeri Maling, yang dihormati tentu saja Raja-Raja Maling. Dasar Maling, meski
sudah mendeklarasikan organisasinya akan bebas dari tindakan maling, belum
beberapa waktu pasca deklarasi, ehh.. malah oknum anggotanya tertangkap karena
melakukan tindakan maling. Ini ironi yang menyakitkan hati. Tetapi apakah yang
maling hanya penguasa saja? Namanya juga negeri maling, banyak dari yang
dikuasai alias rakyatnya yang menjadi maling atau paling tidak mendorong
penguasa untuk jadi maling. Di masa pemilihan umum, rakyat bersepakat untuk
tidak memilih mereka yang tidak memberikan sesuatu. Paling tidak para caleg
kalau mau dipilih harus sumbang uang bangun jalan atau bangun tempat Ibadah. Untuk
memenuhi keinginan ini, para calon penguasa lalu pinjam uang kiri kanan, atau
jual aset. Saat sudah berkuasa, agar Break Even Point alias pak pok bahkan
kalau bisa untung, mereka lalu jadi Maling.
Barangkali masih ingat puisinya Alm. W.S. Rendra berjudul " Pesan Pencopet
Kepada Pacarnya", salah satu kalimat di puisinya disebutkan, bahwa maling
menipu maling itu biasa. Lagi pula di masyarakat maling kehormatan cuma
gincu.
Alkisah
Ada cerita dongeng sudah lawas sangat menarik sekali, ditulis kembali oleh
sahabat Ahmad Rofiq (sumber : www.hariansumutpos.com).
Ia bercerita dalam tulisannya, di suatu masa ada seekor buaya mengambang di
permukaan air. Di sebuah danau yang tak jauh dari perkampungan warga.
Ketenangan air terkoyak dan permukaannya tersibak oleh tubuh buaya yang
membelah. Saat mengapung, di kejauhan buaya itu melihat ada sesuatu yang
bergerak-gerak. Tanpa berpikir panjang buaya itu langsung mendekati benda itu.
Perut lapar mendorong buaya itu beranggapan, sesuatu yang bergerak itu adalah
sepotong daging kalkun.
Maka setelah jaraknya tinggal beberapa jengkal, buaya itu pasang kuda-kuda.
Dan dengan sekali terjang benda itu pun dicaploknya. Namun alangkah terkejut
buaya lapar itu. Sebab benda itu dia rasakan teramat keras dan kaku. Terlalu
keras sehingga membikin salah satu giginya pecah. Gusinya sampai terluka.
Tampak ada bercak darah di sekitar gusinya. Buaya itu baru sadar, setelah dia
mengamati benda itu lebih teliti. Ternyata bukan sepotong kalkun atau serpihan
daging kelinci, tapi sebuah kaca suryakanta.
Buaya itu jengkel. Maka dia membanting lup itu. Berharap dengan bantingannya
barang itu remuk. Juga membuat salah satu giginya terluka. Tapi karena
air, maka lup itu tetap utuh. Tak sedikitpun retak oleh bantingan buaya itu.
Akhirnya buaya itu menyerah. Dia telah berusaha namun kaca itu tetap utuh.
Buaya memutuskan untk membawa kaca itu kehadapan sang panglima buaya.
Sampai di kediaman buaya panglima, buaya yang gusinya terluka itu menyerahkan
kaca itu. Namun otak buaya itu encer juga. Dia berprinsip, tak apa melepas
sesuatu, asal mendapat ganti yang lebih banyak dan berharga.
Di
hadapan buaya panglima, buaya dengan gigi cuil itu berkata, "Panglima, aku
menemukan sesuatu yang berharga. Sepertinya sebuah senjata yang amat sakti.
Sebab telah berkali-kali aku membantingnya, tapi tak rusak sedikitpun. Semacam
kaca benggala yang dapat dipakai meneropong masa depan."
"Benarkah?"
"Benar panglima. Dan, saya datang ke sini untuk meyerahkan senjata ini
pada Panglima. Sebab anda adalah panglima kami. Pergunakan senjata ini
sebaik-baiknya. Ampun panglima!
Perlu
juga saya sampaikan, untuk dapat memiliki senjata ini, Panglima harus
menyerahkan sesuatu sebagai 'mahar'. Entah berupa cuilan daging ataupun yang
lain. Agar benda bertuah ini tidak pergi meninggalkan Panglima tanpa
sepengetahuan Panglima. Seperti halnya pusaka sakti lainnya." "Lalu,
apa maharnya?"
"Em, beberapa potong daging atau bangkai ayam juga tak apa-apa."
Buaya panglima itu amat percaya dengan keterangan bawahannya. Dia mengajaknya
masuk lalu menyerahkan beberapa potong daging ayam, yang selama ini dia simpan
di balik batu karang.
"Terima
kasih Panglima. Sekarang terimalah benda pusaka ini."
Buaya yang gusinya berdarah itu menyerahkan kaca pembesar pada buaya panglima.
Sementara buaya panglima memberi buaya itu beberapa potong bangkai ayam.
Suatu hari karena bosan terus mendekam dalam air, buaya panglima berniat keluar
untuk sekedar jalan-jalan. Dia lalu mengapung kemudian naik ke daratan. Buaya
panglima terus berjalan hingga dekat dengan rumah salah seorang penduduk.
Tampak di dinding rumah dari kayu itu seekor cicak sedang merayap. Cicak
mengendap-endap sebab mengintai mangsanya.
Bersamaan dengan itu, dari dalam rumah kayu itu terdengar suara nyanyian.
Tembang seorang bocah berumur sekitar tiga tahun. Dengan suara yang belum
begitu jelas, bocah itu asyik berdendang Cicak-cicak di dinding. Diam-diam
menyadap. Ada seekor buaya Happp ..! lalu ditangkap. Di tempat itu,
panglima buaya ingin menguji kebenaran ucapan bawahannya. Dia ingin mencoba
kesaktian pusaka yang dia peroleh. Maka buaya itu mendekatkan kaca lup tersebut
ke salah satu bola matanya. Dia lalu mengarahkan pandangan ke badan cicak yang
menempel di dinding rumah warga itu. Dan "Oh .. ! " buaya panglima
memekik. Saat melihat badan Cicak membesar. Bahkan menurutnya jauh lebih besar
daripada tubuhnya sendiri.
Merasa tersaingi kebesaran tubuhnya, maka buaya panglima langsung
melompat mundur. Setelah mengambil ancang-ancang dia menerjang ke arah badan
Cicak yang masih menempel di dinding rumah. Dinding yang terbuat dari papan,
dan direkatkan sekenanya.
Saat tertimpa badan buaya, dinding rumah itu jebol. Kayu penyangganya
tumbang sebab tak tahan dengan berat badan buaya yang menerjang. Penghuni rumah
yang saat itu asyik melihat televisi kaget luar biasa. Dia segera lari keluar
sebab menduga ada gempa sedang melanda. Anak kecil yang tadi bernyanyi juga
ikut lari pontang-panting. Berlindung di bawah ketiak bapaknya. Saat pemilik
rumah tahu ada seekor buaya dengan lancang merusak rumahnya, maka dia langsung
geram. Kemarahannya memuncak dan dia berteriak.
"Ada buaya ke darat! Ada buaya naik darat! Ada buaya merusak rumahku! Ada
buaya menyerang cicak!" Suara itu menggema. Bergaung dan memantul ke
seantero dusun. Warga lain yang mendengar langsung datang berlarian. Mereka
membawa apapun yang bisa mereka bawa. Ada yang membawa pacul, tongkat,
sebongkah batu, ketapel, celurit, parang, bendo, alu, seikat tali dan
sebagainya. Bahkan ada yang hanya membawa sebuah peluit. Mungkin dalam
keyakinannya, seekor buaya hanya akan lari terbirit-birit saat mendengar
lengking peluit.
Setelah para warga berkumpul, dan masing-masing menggenggam senjata, maka
mereka ramai-ramai memburu buaya. Adapun cicak, tak ada yang tahu kelanjutan
nasibnya......."
Namun kemudian setelah membaca jalan cerita tanpa akhir diatas ini, maka Saya
hanya berharap semoga saja tidak ada kongkalikong antara warga, buaya dan
cicak....hahaha!!!