Desakan Kepada Polri Tentang Kasus KPK




Sumber: Inilah
Read more…

Karikatur Tragedi Keadilan KPK dan Polri





Sumber : inilah.com
Read more…

Tanpa Korupsi, Baru Indonesia

Aksi Teatrikal, memperingati Hari Anti Korupsi se Dunia (foto: kompas.com)

Read more…

Paradoks Pemberantasan Korupsi

 Pramusinto, Agus.

Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Korupsi tidak hanya dianggap sebagai penghambat kegiatan ekonomi tetapi juga akan merusak bangunan moral kemasyarakatan, demokrasi dan tatanan kenegaraan. Berkembangnya korupsi selain disebabkan faktor internal juga faktor eksternal berupa perilaku suap-menyuap yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional terhadap pejabat lokal. Adapun fokus perhatian korupsi dan upaya-upaya penyelidikan di Indonesia masih terkonsentrasi pada perilaku birokrat yang akhirnya menciptakan bias-bias penanganan korupsi. 

 Adapun pemberantasan korupsi memberikan dampak yang baik, harus diasumsikan bahwa pemberantasannya memiliki dampak pencegahan, bukan sekadar berapa biaya yang dikorup dan beberapa biaya untuk mengembalikan dana negara tersebut. Penanganan korupsi yang serius dengan berbagai perangkat hukumnya yang tegas, dapat mencegah orang untuk melakukan korupsi.
Read more…

Agama dan Korupsi

Yang saya ketahui tentang korupsi adalah mengambil sesuatu hak orang lain baik sedikit atau banyak tindakan untuk memberantas korupsi bagi saya adalah dengan cara menanamkan pendidikan agama, orang yang paham akan pentingnya  meninggalkan korupsi takut akan azab yang terjadi jika melakukan tindakan korupsi.

Ada istilah bagi orang yang korupsi adalah dholim contoh, ada seseorang mencuri tapi di hokum yang tidak setimpat ( tidak sesuai dengan undang-undang yang berlakuk )dan status orang tersebut menjadi madlum harapan saya setelah ada pelatihan anti korupsi tolong orang yang melakukan kesalahan kecil hukumannya jangan di perberat, toh tuhan maha tahu tuhan tidak tidur, pasti orang yang bersalah tetap akan mendapat balasan langsung dari tuhanya.

Nanik Sri Rahayu
 Ds.Banjarsari Kec.Ngronggot Nganjuk   


Read more…

Republik Koruptor

Hari-hari ini Indonesia terus berkabung di sebuah lorong kebatilan. Bencana demi bencana hadir meruyaki negeri ini. Sepertinya kian memperluas samudra kesengsaraan anak bangsa yang terus mengalirkan air mata kesedihan di tengah gersangnya kejujuran, keadilan, dan kesehatian. Tangisan 200 juta lebih rakyat meledak dan memecah keheningan lantaran mulainya matinya nurani para petinggi negeri ini.

Kasus KPK vs Polri dan sejumlah indikasi kriminalisasi institusi yang terjadi akhir-akhir ini mungkin dapat disebut sebagai sebuah apologi nasionalisasi korupsi yang tengah berdentang keras dari Sabang sampai Merauke, hingga memekikkan kemiskinan dan ketidakadilan masif (Rosse Ackerman,1999).


Kerakusan, mental menerabas, dan teatrikal kebohongan penguasa tumpah ruah di persada. Sebuah proses 'pemerdekaan' narsisisme kolektif tengah mencelat. Tesis yang terajukan saat ini, negara telah gagal menggaransikan keterjaminan kepada bangsa akan hak-hak mengenyam sumber daya secara kooperatif dan adil. Kotak pandora sosial: bunuh diri rakyat, letupan emosi dan kristalisasi kemurkaan, vandalisme, dan hobi jalan pintas, yang berakhir pada tabiat destruktif oleh rakyat, dewasa ini, secara seragam dan tunggal hanya dapat dibaca dan dicarikan kuncinya pada ketidakkonsistenan pemimpin menegakkan aturan kekuasaan sebagai sebuah supremasi moral.


Negara selalu melibas berbagai penyimpangan kemerdekaan bersikap di depan cermin kemartabatan dengan alibi-alibi yang inkonstitusional. Maka tak dapat disangkal lagi bahwa harga diri sebagai bangsa berada di laras kematian nurani. Sebuah realitas buruk yang menjadikan kita terus tersuruk dalam kepahitan arus dekadensi moral bernegara tanpa sedikit pun mau menyadarinya.


Sayatan otoriterisme

Para politikus (free rider), yang menyergap gerbong reformasi dengan mengubah mantel kekuasaannya, sekejap mengintonasi diri sebagai demokrat. Padahal, setiap zaman (kerajaan, penjajahan Belanda, Jepang, era Orde Lama, Orde Baru, bahkan sampai kini) pemerintahan kita selalu dinihilisasi ketiadaan pengalaman sahih berdemokrasi. Berdemokrasi kita cuma hadir pasca-1945-1955, sebelum berakhir dengan hadirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, para politikus cuma layak disebut sebagai pemerkosa demokrasi yang lihai memainkan pesona kekuasaan di lingkaran para cukung dan kerumunan mafioso jahat.

Insting keperilakuan elite-elite bangsa selalu tak terselami rasio-moralitas. Orientasinya hanya bisa dimengerti dalam kaca mata kekuasaan. Semangat kekuasaan itu semata-mata menonjolkan privatisasi politik yang membekukan kebersamaan dan solidaritas sosial. Kata Nietzche, sejatinya manusia harus terus-menerus menceburkan dirinya dalam konflik/peperangan untuk mengaktualisasi dan menjernihkan kekuatannya.


Lima pergantian presiden dalam 10 tahun reformasi, rakyat dibiasakan tidak menggugat dan menagih janji-janji pemimpinnya sehingga instabilitas politik, sosial, budaya, dan ekonomi terjun bebas dalam kerangkeng amnesiaisme publik. Kepercayaan diri politik rakyat untuk menghakimi dosa politik pemimpin masih ditorehi luka sayat otoriterisme Orba yang belum sembuh benar. Ini dimanfaatkan para penggila kekuasaan sekarang sebagai pasar politik empuk mendestinasikan kepentingannya dengan propaganda lipstikal. Selepas pergantian kepemimpinan, selalu yang terjadi adalah permainan dimulai dari titik nol, zero sum game. Maka setiap preseden pemerintahan tidak pernah berpreferensi politik untuk mengevaluasi sekaligus menghukum berbagai keputusan politik yang menyimpangi kehendak rakyat.


Warisan soal yang memuat kekalahan wong cilik tak pula menggugah sukma meski terbelakangnya republik ini tak lain karena dosa pemimpinnya. Itu sebabnya Bung Karno dalam otobiografinya tentang anaknya--yang ditujukan untuk Guruh Soekarnoputra--berharap, 'apa pun dia jadinya kelak, terserah kepada hari depannya, cuma satu doaku untuknya, semoga dia tak terpilih menjadi presiden, kehidupan itu sungguh berat'. Imbauan ini pun bisa dideretkan secara representatif pada jabatan di bawahnya, seperti bupati/wali kota atau gubernur.


Hal terberat menjadi presiden--atau bupati/wali kota/gubernur--bagi bangsa sepluralis dan seluas Indonesia ini adalah bagaimana memadukan komitmen dan perilaku dengan indikator pengorbanan. Bukan political will semata, melainkan political commitment yang mewujud dalam aksionalisasi kepemimpinan representatif-populis. Artinya, yang dirujuk dan dilakukan pemimpin, merupakan cerminan kebutuhan rakyat-bangsa bukan duta sebuah prosmikuitas politik-pasar yang merenggut nyawa pembangunan pro-poor (prorakyat miskin) seperti yang diperlihatkan dengan telanjang, saat ini. Pornografi politik paling santer adalah ketika dramatisasi pemberantasan korupsi tidak tuntas diselesaikan sampai kini. Mereka yang memiliki julukan sebagai panglima hukum di negeri ini malah sebaliknya ramai-ramai menzalimi kristalitas ayat hukum itu sendiri di depan rakyat.


Rakyat kian tidak percaya lagi pada negara ini karena nyaris dihuni komplotan penjahat kakap yang mengaduk-aduk rasionalitas rakyat dengan justifikasi menyesatkan. Lihatlah sumpah demi sumpah dengan dalil akhirat dan kematian berlomba diucapkan mereka. Tetapi perilaku mereka sudah jauh lebih dahulu menelanjangi perilaku amoralnya. Rakyat tahu, jabatan dan kedudukan politis telah memperbudak para pejabat untuk semampu mungkin melakukan penjarahan sumber daya bangsa ini tanpa menyisakan tekanan yang berarti.


Saya teringat fabel klasik, Karel Frederic Winter dalam Lajang Dongenging Sato Kewan, berhuruf Jawa (1850). Fabel itu mengisahkan seekor tikus yang bermain di dekat singa yang tidur pulas. Singa merasa terganggu. Sekali gebuk, tikus itu sudah dalam cengkeramannya, hanya tinggal dicaplok. Tapi, rupanya sang singa sadar, dirinya terlalu tinggi dan tangguh untuk membunuh cuma seekor tikus. Membunuh binatang lemah akan mengurangi wibawanya. Tikus itu pun dilepasnya. Saat singa jalan-jalan mencari angin ia seketika terjebak jerat pemburu. Ia meraung-raung, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Giliran tikus menjadi dewa penyelamat. Tikus mengerat serat-serat jaring hingga singa berhasil lepas. Ironisnya, kita setelah jadi singa tak mampu berjiwa besar dan setelah jadi tikus tidak tahu membalas budi.


Korupsi memang harus dibasmi untuk menghadirkan atmosfer pemerintahan yang lebih bersahabat dengan rakyat, terutama lewat pengadilan konstitusional yang bermartabat (bdk Heru Leluno, 2008). Di tengah berkeliarannya 'tikus-tikus' (koruptor) pengerat aset republik, kita butuh negarawan asketisisme yang menjunjung tinggi kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban untuk menegakkan hukum dan keadilan setegak-tegaknya seperti teladan Socrates. Bukan sosok elite/pemimpin kerdil yang bermental singa, tapi berjiwa tikus yang sukanya nyolong, takut dilihat orang.


Sumber: Media Indonesia Online


Read more…

Peringkat Korupsi Dunia

Tahun 2003 dan 2004, China ditetapkan oleh para peneliti dan para aktivis anti korupsi menjadi negara paling korup di dunia disusul kemudian Indonesia, India, Brasil dan Peru.

Tahun 2005 China masih menduduki tempat teratas dan disusul oleh India, Brasil, Peru dan Filipina.


Atas hasil penelitian itu, ketika Konferensi Asia Afrika Amerika di Taman Mini, seorang pejabat/delegasi China menyatakan keheranannya kepada seorang pejabat Indonesia yang menemuinya bersama beberapa pejabat negara-negara itu.


Delegasi China, "Hai, Pak Pejabat, sepertinya korupsi di Indonesia hampir menyamai di negeri kami, tapi kok negara Anda bisa keluar dari lima besar, apakah sudah ada gerakan anti korupsi besar-besaran di pemerintahan Anda?".


Delegasi India, Brasil, Peru, dan Filipina, "Iya nih kita juga terkejut deh mendengar itu, bagaimana bisa?".


Dengan senyum ramah dan nada ceria sang pejabat Indonesia menjawab, "Ooo... mudah saja, itu semua gampang diatur.".


Delegasi China, "Caranya Bagaimana?".


Pejabat Indonesia, "Caranya, siapkan uang sepantasnya dan berikan pada para peneliti itu dengan permintaan supaya negara saya diturunkan dari peringkat lima besar...".


Delegasi China, "Oooo... Hebat, itu baru namanya koruptor hebat... masuk akal... hasil penelitian pun bisa di korupsi...".

Read more…

Aku Malu Jadi Anak Koruptor

Apa tujuan bekerja? Untuk bertahan hidup, untuk menghasilkan uang, untuk mencukupi kebutuhan keluarga, untuk ini, dan untuk itu. Tidak ada yang salah dengan tujuan itu semua.

Hanya saja, ketika kebutuhan materi semakin menguasai motivasi, lahirlah yang namanya menghalalkan segala cara. Menyebut “markus”, sekarang tidak boleh karena menyinggung suatu nama yang baik. Pada intinya, melakukan segala hal yang bertentangan dengan suara terdalam demi materi.

Sampai saat ini saya masih bertanya-tanya. Jika koruptor mempunyai keluarga, jika mafia kasus memiliki pasangan, anak, tetangga, sahabat, kenapa tidak ada yang menasihatkan segala hal baik kepada mereka?

Kembali lagi ke soal moral, seandainya ayah saya koruptor, jika ibu saya koruptor, saya malu, Banyaknya harta yang melimpah ternyata suatu pemicu kesengsaraan bangsaku.

Kalau boleh mengira-ngira, Tuhan itu sebenarnya capek tidak ya? Melihat perhelatan korupsi di negeri ini yang tiada selesai-selesai?

Ah, Tuhan masih diam saja…

Read more…

Contoh Pejabat Anti Korupsi

SETELAH proyek multimiliar dolar AS selesai, sang Dirjen kedatangan tamu bule, wakil dari HQ kantor pemenang tender. Dia sudah tujuh tahun di Jakarta, jadi bisa cakap Indonesia. 

Bule: Pak, ada hadiah dari kami untuk bapak. Saya parkir di bawah Mercy S 320. 

Dirjen: Anda mau menyuap saya? Ini apa-apaan? Tender sudah kelar kok. Jangan gitu ya, bahaya tahu haree genee ngasih-ngasih hadiah. 

Bule: Tolonglah Pak diterima. Kalau tidak, saya dianggap gagal membina relasi oleh kantor pusat. 

Dirjen: Ah, jangan gitu dong. Saya gak sudi!! 

Bule: (Setelah mikir) Gini aja, Pak. Bagaimana kalau Bapak beli saja mobilnya... 

Dirjen: Mana saya ada uang beli mobil mahal gitu!! 

Bule menelpon kantor pusat. 

Bule: Saya ada solusi, Pak. Bapak beli mobilnya dengan harga Rp 10 ribu saja. 

Dirjen: Benar ya? OK, saya mau. Jadi ini bukan suap. Pakai kwitansi ya. 

Bule: Tentu, Pak. 

Bule menyiapkan dan menyerahkan kwitansi. Dirjen membayar dengan uang Rp 50 ribu. Mereka pun bersalaman. 

Bule: (Sambil membuka dompet ) Oh, maaf Pak. Ini kembaliannya Rp 40 ribu. 

Dirjen: Gak usah pakai kembalian segala. Tolong kirim empat mobil lagi ke rumah saya ya.
Bule: @#$%^&** 

Read more…

Jembatan Surga - Neraka

Untuk memudahkan komunikasi, maka penduduk surga dan penduduk neraka sepakat untuk membuat jembatan yang menghubungkan keduanya. Setengah bagian dikerjakan oleh penduduk surga dan setengah bagian yang lain dilaksanakan oleh penduduk neraka.

Tak berapa lama, bagian jembatan yang menjadi tugas penduduk neraka telah selesai dikerjakan, sementara itu penduduk surga sama sekali belum melaksanakannnya. Malu karena belum selesai, pemuka surga mengutus wakilnya ke neraka untuk belajar.

Datang dari neraka sang wakilpun segera melaporkan
“ Wajar saja mereka mampu membangun jembatan dengan cepat, karena disana berkumpul mantan aparat PU, kontraktor dan konsultan” (http://humorkoruptor.blogspot.com/)
Read more…

Sayang Seribu Sayang! Negeri Kaya Dan Subur, Berkembang Biak Bukan Kemakmuran, Justeru Maling

      Negeri yang kaya raya dengan sumber daya alam. Dahulu kala Orang biasa menyebutnya dengan gemah ripah loh jinawi. Negeri di mana, tanpa perlu banyak mengeluarkan keringat agar tanaman tumbuh subur. Negeri di mana, matahari bersinar setengah tahun dan hujan akan turun membasahi kekeringan setengah tahun berikutnya. Demikian dulu banyak orang menyebutnya sebagai Keajaiban dari Asia. Ada yang lebih suka menyebut dengan sebutan Macan Baru dari Asia.

    Hampir setiap sudut kehidupan di negeri itu dikuasai oleh maling. Ada yang suka maling kayu, ada yang tertarik menjadi maling ikan. Kadang ada juga yang memilih menjadi maling emas, maling minyak, maling kebebasan, maling demokrasi, maling keadilan, maling hukum hingga maling suara rakyat. Namun, yang agak berlebihan adalah mereka yang memilih menjadi maling duitnya rakyat.

      Bukan tanpa aturan, maling-maling itu menciptakan beragam aturan yang ujung-ujungnya menjadi jalan pemulus untuk kehidupan maling itu sendiri. Tidak hanya itu saja, maling itu saling terkait dan memiliki hubungan saling ketergantungan. Maling kayu dan ikan sering kongkalikong dengan maling keadilan dan hukum, begitu juga dengan maling emas dan minyak. Kalau maling demokrasi, maling suara rakyat, maling kekuasaan itu tak jauh-jauh dari urusan duitnya rakyat.

    Sayang Seribu Sayang! Negeri yang begitu kaya seakan tidak ada habisnya untuk dimaling. Semua yang ada dikuras habis, disikat tanpa ampun, disedot tanpa henti. Nasfu bermaling-maling ria sudah begitu akutnya hingga rakyat dilupa.

Negeri Para Maling
    Tadi sore hari Saya tertawa terpingkal-pingkal diceritakan oleh seorang sahabat kebetulan juga habis membaca artikelnya I Nyoman Winata berjudul "Negeri Para Maling" (sumber : www.balebengong.net), menurutnya bahwa negeri ini sudah menjadi negerinya para maling. Yang tidak jadi maling tidak akan bisa menjadi penguasa. Tetapi kalau ada maling yang tertangkap, para maling lainnya tidak akan merasa ketakutan, tetapi malah tertawa lalu tetap saja menjadi maling. Bisa-bisa mereka akan menjadi maling yang lebih lihai, lebih terhormat dan lebih berkuasa. Ya, inilah Negara Kesatuan Para Maling. Bagaimana menggambarkan negeri yang bisa disebut negeri Maling ini? Jika demikian, maka dipastikan Negeri para Maling juga memiliki karakter yang serupa. Para penguasa yang memerintah negeri adalah para maling, bahkan mungkin rajanya Maling. Semuanya adalah maling-maling yang merasa dirinya tetap terhormat karena duduk dilembaga yang terhormat. Hukum yang menjerat para maling, tidak membuat mereka ketakutan apalagi berhenti jadi maling. Meski ada yang sudah ditangkap diadili bahkan di penjara, yang lainnya akan tetap mencari peluang bisa menjadi maling.

     Menurutnya dia lagi, kenyataan yang paling menyayat hati di Negeri para Maling ini adalah para Maling sangatlah dihormati oleh Rakyatnya. Ke mana-mana mereka tetap dielu-eluka karena selalu datang membawa segepok uang untuk membantu membangun tempat ibadah, membantu bangun jalan desa atau sekedar memberi uang saku. Wajahnya akan merajai media massa, di mana-mana ada dan selalu muncul dengan tampilan menawan meski mereka juga adalah Maling. Ya, namanya juga negeri Maling, yang dihormati tentu saja Raja-Raja Maling. Dasar Maling, meski sudah mendeklarasikan organisasinya akan bebas dari tindakan maling, belum beberapa waktu pasca deklarasi, ehh.. malah oknum anggotanya tertangkap karena melakukan tindakan maling. Ini ironi yang menyakitkan hati. Tetapi apakah yang maling hanya penguasa saja? Namanya juga negeri maling, banyak dari yang dikuasai alias rakyatnya yang menjadi maling atau paling tidak mendorong penguasa untuk jadi maling. Di masa pemilihan umum, rakyat bersepakat untuk tidak memilih mereka yang tidak memberikan sesuatu. Paling tidak para caleg kalau mau dipilih harus sumbang uang bangun jalan atau bangun tempat Ibadah. Untuk memenuhi keinginan ini, para calon penguasa lalu pinjam uang kiri kanan, atau jual aset. Saat sudah berkuasa, agar Break Even Point alias pak pok bahkan kalau bisa untung, mereka lalu jadi Maling.

    Barangkali masih ingat puisinya Alm. W.S. Rendra berjudul " Pesan Pencopet Kepada Pacarnya", salah satu kalimat di puisinya disebutkan, bahwa maling menipu maling itu biasa. Lagi pula di masyarakat maling kehormatan cuma gincu.

Alkisah
    Ada cerita dongeng sudah lawas sangat menarik sekali, ditulis kembali oleh sahabat Ahmad Rofiq (sumber : www.hariansumutpos.com). Ia bercerita dalam tulisannya, di suatu masa ada seekor buaya mengambang di permukaan air. Di sebuah danau yang tak jauh dari perkampungan warga. Ketenangan air terkoyak dan permukaannya tersibak oleh tubuh buaya yang membelah. Saat mengapung, di kejauhan buaya itu melihat ada sesuatu yang bergerak-gerak. Tanpa berpikir panjang buaya itu langsung mendekati benda itu. Perut lapar mendorong buaya itu beranggapan, sesuatu yang bergerak itu adalah sepotong daging kalkun.

      Maka setelah jaraknya tinggal beberapa jengkal, buaya itu pasang kuda-kuda. Dan dengan sekali terjang benda itu pun dicaploknya. Namun alangkah terkejut buaya lapar itu. Sebab benda itu dia rasakan teramat keras dan kaku. Terlalu keras sehingga membikin salah satu giginya pecah. Gusinya sampai terluka. Tampak ada bercak darah di sekitar gusinya. Buaya itu baru sadar, setelah dia mengamati benda itu lebih teliti. Ternyata bukan sepotong kalkun atau serpihan daging kelinci, tapi sebuah kaca suryakanta.

    Buaya itu jengkel. Maka dia membanting lup itu. Berharap dengan bantingannya barang itu remuk. Juga membuat salah satu giginya terluka.  Tapi karena air, maka lup itu tetap utuh. Tak sedikitpun retak oleh bantingan buaya itu. Akhirnya buaya itu menyerah. Dia telah berusaha namun kaca itu tetap utuh. Buaya memutuskan untk membawa kaca itu kehadapan sang panglima buaya.

    Sampai di kediaman buaya panglima, buaya yang gusinya terluka itu menyerahkan kaca itu. Namun otak buaya itu encer juga. Dia berprinsip, tak apa melepas sesuatu, asal mendapat ganti yang lebih banyak dan berharga.

Di hadapan buaya panglima, buaya dengan gigi cuil itu berkata, "Panglima, aku menemukan sesuatu yang berharga. Sepertinya sebuah senjata yang amat sakti. Sebab telah berkali-kali aku membantingnya, tapi tak rusak sedikitpun. Semacam kaca benggala yang dapat dipakai meneropong masa depan." "Benarkah?"

    "Benar panglima. Dan, saya datang ke sini untuk meyerahkan senjata ini pada Panglima. Sebab anda adalah panglima kami. Pergunakan senjata ini sebaik-baiknya. Ampun panglima!
Perlu juga saya sampaikan, untuk dapat memiliki senjata ini, Panglima harus menyerahkan sesuatu sebagai 'mahar'. Entah berupa cuilan daging ataupun yang lain. Agar benda bertuah ini tidak pergi meninggalkan Panglima tanpa sepengetahuan Panglima. Seperti halnya pusaka sakti lainnya." "Lalu, apa maharnya?"

     "Em, beberapa potong daging atau bangkai ayam juga tak apa-apa."

Buaya panglima itu amat percaya dengan keterangan bawahannya. Dia mengajaknya masuk lalu menyerahkan beberapa potong daging ayam, yang selama ini dia simpan di balik batu karang.

"Terima kasih Panglima. Sekarang terimalah benda pusaka ini."
Buaya yang gusinya berdarah itu menyerahkan kaca pembesar pada buaya panglima. Sementara buaya panglima memberi buaya itu beberapa potong bangkai ayam.

      Suatu hari karena bosan terus mendekam dalam air, buaya panglima berniat keluar untuk sekedar jalan-jalan. Dia lalu mengapung kemudian naik ke daratan. Buaya panglima terus berjalan hingga dekat dengan rumah salah seorang penduduk. Tampak di dinding rumah dari kayu itu seekor cicak sedang merayap. Cicak mengendap-endap sebab mengintai mangsanya.

      Bersamaan dengan itu, dari dalam rumah kayu itu terdengar suara nyanyian. Tembang seorang bocah berumur sekitar tiga tahun. Dengan suara yang belum begitu jelas, bocah itu asyik berdendang Cicak-cicak di dinding. Diam-diam menyadap. Ada seekor buaya Happp ..! lalu ditangkap. Di tempat itu, panglima buaya ingin menguji kebenaran ucapan bawahannya. Dia ingin mencoba kesaktian pusaka yang dia peroleh. Maka buaya itu mendekatkan kaca lup tersebut ke salah satu bola matanya. Dia lalu mengarahkan pandangan ke badan cicak yang menempel di dinding rumah warga itu. Dan "Oh .. ! " buaya panglima memekik. Saat melihat badan Cicak membesar. Bahkan menurutnya jauh lebih besar daripada tubuhnya sendiri.

     Merasa tersaingi kebesaran tubuhnya, maka buaya panglima langsung melompat mundur. Setelah mengambil ancang-ancang dia menerjang ke arah badan Cicak yang masih menempel di dinding rumah. Dinding yang terbuat dari papan, dan direkatkan sekenanya.

     Saat tertimpa badan buaya, dinding rumah itu jebol. Kayu penyangganya tumbang sebab tak tahan dengan berat badan buaya yang menerjang. Penghuni rumah yang saat itu asyik melihat televisi kaget luar biasa. Dia segera lari keluar sebab menduga ada gempa sedang melanda. Anak kecil yang tadi bernyanyi juga ikut lari pontang-panting. Berlindung di bawah ketiak bapaknya. Saat pemilik rumah tahu ada seekor buaya dengan lancang merusak rumahnya, maka dia langsung geram. Kemarahannya memuncak dan dia berteriak.

    "Ada buaya ke darat! Ada buaya naik darat! Ada buaya merusak rumahku! Ada buaya menyerang cicak!" Suara itu menggema. Bergaung dan memantul ke seantero dusun. Warga lain yang mendengar langsung datang berlarian. Mereka membawa apapun yang bisa mereka bawa. Ada yang membawa pacul, tongkat, sebongkah batu, ketapel, celurit, parang, bendo, alu, seikat tali dan sebagainya. Bahkan ada yang hanya membawa sebuah peluit. Mungkin dalam keyakinannya, seekor buaya hanya akan lari terbirit-birit saat mendengar lengking peluit.

     Setelah para warga berkumpul, dan masing-masing menggenggam senjata, maka mereka ramai-ramai memburu buaya. Adapun cicak, tak ada yang tahu kelanjutan nasibnya......."

     Namun kemudian setelah membaca jalan cerita tanpa akhir diatas ini, maka Saya hanya berharap semoga saja tidak ada kongkalikong antara warga, buaya dan cicak....hahaha!!!

Read more…

Lapar


Perut lapar makan nasi, nasi dimakan ternyata masih mentah dan mengakibatkan sakit perut. Nasi tidak matang karena tidak mendapat nyala api dengan sempurna, kayu apinya basah ditimpa hujan sepanjang hari. Setelah diusut hujan turun atas permintaan Kodok yang berdo'a sepanjang waktu karena jiwanya terancam oleh seekor ular. Ketika  ditanyakan kepada Ular, kenapa terus menerus ingin memangsa Kodok  jawabnya hanya satu "Karena perutnya  lapar". 

Entah kenapa cerita ini bermain kembali dalam benak saya saat melihat kondisi negeri ini yang dilanda isu reshuffle secara tak berkesudahan, sulit dipahami dan berbelit-belit, yang ujung-ujungnya saya tersentak pada sebuah kesadaran  faktor penyebabnya adalah karena lapar, Cuma bedanya lapar rakyat pada sesuap nasi,  lapar elite pada sebuah kursi. Mudah-mudahan  ini sebuah analisa yang keliru.

(http://politikana.com/baca/2011/03/11/lapar.html)
Read more…

Tiga Polisi Jujur

  Gus Dur sering terang-terangan ketika mengkritik. Tidak terkecuali ketika mengkritik dan menyindir polisi.
Menurut Gus Dur di negeri ini hanya ada tiga polisi yang jujur. “Pertama, patung polisi. Kedua, polisi tidur. Ketiga, polisi Hoegeng (mantan Kapolri).” 


Lainnya? Gus Dur hanya tersenyum.
Read more…

Rakyat Indonesia Akan Bahagia Jika...


Empat tokoh politik, Muhaimin, Hatta, Aburizal dan Anas, sedang dalam perjalanan di pesawat terbang. Di tengah-tengah penerbangan, Muhaimin berkata, "Saya akan membuat 1 orang Indonesia bahagia!", dan ia melempar 1 lembar uang Rp. 100 ribuan keluar pesawat terbang.

Tak beberapa lama Hatta berkata, "Saya akan membuat 5 orang Indonesia bahagia!", lantas ia melempar 5 lembar uang Rp. 100 ribuan keluar pesawat terbang.

Tak mau kalah, Aburizal juga berkata, "Saya akan membuat 500 orang Indonesia bahagia!", kemudian ia melempar 500 lembar uang Rp. 100 ribuan keluar pesawat terbang.

Setelah beberapa lama terdiam, akhirnya Anas berdiri dan berkata, "Saya akan membuat seluruh rakyat Indonesia bahagia!" dan ia melempar Aburizal keluar pesawat. (http://forum.tempointeraktif.com/)

Read more…

Saya Pakai Parasutnya


Seorang politisi, seorang pendeta dan seorang anak laki-laki sedang dalam perjalanan ke sebuah daerah dalam sebuah pesawat kecil, ketika pesawat itu mengalami kerusakan mesin.

Pilot membuat pengumuman, "Pesawat mengalami kerusakan mesin, sehingga kita harus melompat. Sayangnya di pesawat ini hanya ada tiga buah parasut. Saya punya seorang istri dan tujuh orang anak, jadi saya pakai satu parasutnya." Dan ia melompat keluar dari pesawat.

Kemudian sang politisi berdiri dan berkata, "Saya anggota DPR, dan politisi yang paling cerdas di Indonesia, negara membutuhkan saya." dan ia pun melompat.

Akhirnya pendeta berkata kepada anak laki-laki, "Saya sudah tua, hidup saya cukup bahagia, sedangkan jalan kamu masih panjang, silakan gunakan parasutnya." Anak lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, "Tidak usah khawatir pak pendeta. Sebenarnya di pesawat ini masih ada dua parasut.

Politisi paling cerdas di Indonesia baru saja lompat menggunakan tas ransel saya!"
(http://forum.tempointeraktif.com/)

Read more…

Di Sini Tidak Ada Orang Miskin


Seorang politisi sedang berkampanye di sebuah desa di Pulau Madura untuk menjadi bupati. Ia berpidato dengan semangat, "Bapak, ibu yang saya hormati, jika saya terpilih menjadi bupati kelak. Maka saya berjanji akan menghapus kemiskinan di desa bapak dan ibu sekalian!" Tiba-tiba seorang bapak mengangkat tanganya dan berteriak, "Ndak usah repot-repot pak. Di desa kami sudah tidak ada orang miskin." Sang calon bupati menjadi tertarik dan bertanya,"Wow! Artinya pembangunan di desa bapak sudah sangat berhasil ya pak."

"Berhasil apanya!!" bapak itu bersungut-sungut dengan logat maduranya, "Orang miskin di desa kami sudah pada lenyap karena ledakan tabung gas 3 kg." (http://forum.tempointeraktif.com/)
Read more…

Tentang Dongeng


Seorang gadis kecil bertanya kepada ayahnya, "Ayah mengapa semua dongeng selalu diawali dengan kalimat 'Pada zaman dahulu kala'?" Sang ayah bingung mendapat pertanyaan dari anaknya. Setelah berpikir beberapa saat, sang ayah menjawab, "Tidak selalu begitu nak. Ada beberapa dongeng yang diawali dengan kalimat: Jika saya terpilih nanti." (http://forum.tempointeraktif.com/)
Read more…

Tragedi Itu Artinya...


Seorang politisi yang juga anggota DPR berkunjung ke sebuah sekolah dasar di Jakarta. Di satu kelas ia bercakap-cakap dengan para siswa. Ia bertanya kepada murid-murid kelas tersebut, siapa yang dapat memberikan contoh apa yang dimaksud dengan "tragedi". Seorang anak laki-laki mengacungkan tangan dan berkata, "Jika teman terbaik saya sedang bermain sepeda di jalan raya dan ia tertabrak mobil sampai meninggal dunia, itu disebut sebuah tragedi."

"Bukan," sang politisi menjawab, "itu disebut KECELAKAAN."

Seorang gadis kecil mengangkat tangannya, "Jika bis sekolah yang mengangkut 50 murid SD masuk ke dalam jurang, dan semua penumpangnya tewas seketika....itu pasti
disebut tragedi."

"Rasanya bukan nak," sang politisi menjelaskan, "itu akan kita sebut rasa DUKA yang mendalam."

Ruang kelas menjadi sunyi untuk beberapa saat, sampai akhirnya seorang anak laki-laki di pojok ruangan mengangkat tanganya.

"Jika sebuah pesawat terbang yang mengangkut seluruh anggota DPR meledak karena bom dan semua penumpangnya tewas, itu pasti disebut tragedi", anak laki-laki
itu berkata.

"Hebat" politisi itu berkata, "luar biasa! Tolong jelaskan kepada teman-teman kamu di sini, mengapa itu disebut tragedi."

"Hmmmm," anak laki-laki itu menjelaskan, "karena pasti itu bukan sebuah kecelakaan, dan yang jelas kita juga tidak akan merasa berduka." (http://forum.tempointeraktif.com/)

Read more…

Tukang Pangkas Rambut

Seorang kyai masuk ke sebuah salon pangkas rambut di Jakarta. Setelah rambutnya dipangkas, ia bertanya berapa biayanya. Tukang pangkas menjawab, "Oh, pak kyai tidak usah bayar. Anggap saja itu sebagai sedekah dan semoga saya mendapat pahala dari Tuhan."

Keesokan paginya ketika tukang pangkas hendak membuka salon pangkas rambutnya, ia menemukan 12 buku tentang agama dan surat ucapan terima kasih di depan pintu.

Siangnya pada hari yang sama, seorang polisi masuk ke salonnya. Setelah rambutnya dipotong, polisi itu bertanya berapa ia harus membayar. Tukang pangkas menjawab, "Oh, pak polisi tidak usah bayar. Anggap saja itu sebagai sumbangan saya untuk masyarakat."

Keesokan paginya ketika tukang pangkas hendak membuka salon pangkas rambutnya, ia menemukan sebuah kardus yang berisi 12 roti dilampiri surat ucapan terima kasih
di depan pintu.

Siangnya, seorang anggota DPR masuk dan dipangkas rambutnya. Ketika selesai ia bertanya, berapa biayanya. Tukang pangkas menjawab, "Oh, bapak tidak perlu membayar. Anggap saja itu sebagai bakti saya kepada negara."

Keesokan paginya ketika tukang pangkas hendak membuka salon pangkas rambutnya, sudah ada 12 anggota DPR berbaris di depan pintu. Semuanya hendak memangkas rambutnya! (http://forum.tempointeraktif.com/)
Read more…

Terima Kasih Tuhan, Tetapi...

Seorang gadis kecil sangat membutuhkan uang sebesar Rp. 100 ribu untuk membeli hadiah bagi ibunya. Ia berdoa dan memohon kepada Tuhan setiap hari selama 2 minggu, tapi permohonannya tidak terkabul. Akhirnya ia menulis surat kepada Tuhan, meminta agar ia diberikan uang sebesar Rp. 100 ribu.

Pegawai pos yang kebingungan hendak mengirim kemana surat itu, menyerahkan surat itu kepada atasannya yang kemudian menyampaikannya kepada kenalannya seorang politisi yang kebetulan juga anggota DPR.

Sang politisi yang sangat tersentuh dan terharu atas keinginan sang anak, memutuskan untuk mengirim uang sebesar Rp. 20 ribu di dalam amplop berlogo DPR melalui sekretarisnya. Ia
pikir uang sebesar itu sudah cukup banyak bagi seorang gadis kecil.

Menerima uang sebanyak itu, tentu saja gadis kecil itu merasa gembira, dan sebagai ucapan terima kasih ia menulis surat kepada Tuhan, isinya :

Yth.
Tuhan,
Terima kasih sudah berbaik hati memberikan aku uang seperti permintaanku. Tetapi lain kali kalau mau kirim uang lewat pos wesel saja, jangan melalui orang-orang Itu. Karena seperti biasanya, manusia-manusia idiot itu memotong sampai 80%. (http://forum.tempointeraktif.com/)
Read more…