Sumpah Pemuda Anti Korupsi 28 Oktober 2011

Panduan (TOR) Kampanye Anti Korupsi
Sumpah Pemuda Anti Korupsi 28 Oktober 2011

Latar Belakang
Indonesia telah lama menghadapi kasus korupsi yang bertubi-tubi dan berdasarkan temuan BPK terdapat penyimpangan anggaran sebesar Rp 103,19 trilyun dari periode 2004-2011. Temuan ini mengejutkan mengingat masyarakat Indonesia masih berada pada peringkat sosial ekonomi ke 5 di Asia Tenggara di bawah Thailand. Korupsi yang terjadi di Indonesia melibatkan elemen legislative, eksekutif dan yudikatif, bahkan kepolisian. Untuk menghadapi kuatnya jaringan koruptor maka kekuatan masyarakat juga perlu membangun jaringan bersama-sama yang lebih nyata sebagai gerakan anti korupsi.

Korupsi di Indonesia yang makin mengurita harus segera dihentikan, dan masyarakat Yogyakarta berkehendak untuk melakukannya dengan dukungan penuh dari pihak pimpinan tertinggi eksekutif Daerah istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu, kami membentuk “Konsorsium Gerakan Sosial Anti Korupsi Nasional” sebagai wujud dari komitmen kami dalam membangun kemitraan masyarakat anti korupsi nasional dengan mendayagunakan media alternatif yang berbasis
masyarakat.

Tujuan
Kekuatan dari konsorsium gerakan sosial anti korupsi yang melibatkan berbagai pemangku
kepentingan tersebut selalu mengkampanyekan mental anti korupsi sebagai dasar dari
pengelolaan Negara. Melalui gerakan sosial ini maka kekuatan anti korupsi ada di tangan rakyat  dan untuk kepentingan rakyat.

Out Put
Hasil dari konsorsium tersebut kami bersama-sama menyatakan sikap untuk membangun Negara yang bebas dari korupsi melalui penandatanganan di atas kain putih yang telah dipigura sebagai ungkapan simbolik dari rakyat untuk membangun Negara bebas dari korupsi. Tanda tangan itu kami serahkan kepada lembaga legislative, yudikative dan eksekutif pada tanggal 28 Oktober 2011 di Yogyakarta. Pada hari tersebut kami juga akan melakukan aksi damai untuk menggalang tandatangan diatas kain mori sepanjang 28 meter yang merupakan simbolisasi dari hari sumpah pemuda. Penandatanganan di atas kain moridi Km 0 Yogyakart juga merupakan simbolisasi dari upaya untuk mencapai angka O (nol) korupsi. Selain itu kami juga akan mengikrarkan SUMPAH PEMUDA ANTI KORUPSI di depan monument Serangan Umum 1 Maret yang berlokasi disekitar Gedung Agung (Istana Kepresidenan) dan perkantoran pemerintah. 

Dampak Sosial
Sumpah Pemuda 28 Oktober merupakan peristiwa yang memiliki efek sosial dan politis yang luas, dan penyelenggaraan di seputar Km 0 Yogyakarta adalah tempat yang strategis karena banyak orang yang melewati titik tersebut.

Peserta:
1.Masyarakat Yogyakarta
2.Mahasiswa Yogyakarta
3.Aktivis Anti Korupsi
4.LSM Anti Korupsi
5.Tokoh masyarakat
6.Partai Politik 

Yogyakarta, 24 September 2011
Sentra Informasi dan Data Untuk Anti Korupsi (SIDAK)



sumber : http://infokorupsi.com/files/ttd28/tor28.pdf
Read more…

Jadi Koruptor atau Teroris


 Mending Jadi Koruptor daripada Teroris

Teroris ada karena banyak koruptor, sebenarnya yang mau di bom itu adalah para koruptor.

Teroris kalo beraksi bawa BOM
Koruptor kalo beraksi bawa BON


Teroris berani mati
Koruptot takut mati


Teroris membunuh dengan cepat
Koruptor membunuh rakyat perlahan-lahan


Teroris, Diberitakan di media dan kejahatannya selalu diingat orang.
Koruptor, Sempat diberitakan di media, tetapi kejahatannya biasanya cepat dilupakan orang.


Teroris, Sekolah tempat ia pernah menuntut ilmu sering dikait-kaitkan dengan kejahatannya. Maka banyak yang bicara perlunya perubahan kurikulum pesantren untuk meredam potensi teror.

Koruptor, Sekolah tempat ia pernah menuntut ilmu tidak pernah dikait-kaitkan dengan kejahatannya. Tidak ada yang repot-repot mengubah kurikulum universitas untuk meredam korupsi.


Teroris, Banyak orang takut dan menghindar jika disebut-sebut dekat dengan teroris besar.
Koruptor, Banyak orang senang, bangga, dan bahkan ingin dekat dengan koruptor besar.


Jika seorang teroris ditahan dan ditangkap tanpa prosedur hukum yang layak, atau dengan cara-cara yang melanggar HAM, dianggap wajar saja. Tidak ada yang mau repot-repot mempertanyakan, apalagi membela.
Jika koruptor besar, jangankan ditahan, tetapi hanya dicekal, puluhan lawyer siap membela, bahkan polisi pun siap mempersoalkan pencekalan yang dianggap “tidak sesuai prosedur.”


Jika teroris ditahan, pasti dengan tingkat keamanan maksimum. Sulit ditemui keluarga atau pengacara. Tidak bisa menelepon. Ruang tahanan tidak ada nyaman-nyamannya.
Jika koruptor ditahan, bisa ketemu atau menelepon siapa saja. Ruang tahanan sangat nyaman, karena lengkap fasilitasnya (ruang ber-AC dan ada kulkasnya).


Teroris sering disebut pergaulannya terbatas, hanya di lingkungan pendukungnya saja. Tidak bergaul dengan tetangga kiri-kanan.
Koruptor lingkup pergaulannya sangat luas, bahkan punya hubungan sangat baik dengan pejabat pemerintah, anggota DPR, jaksa, aparat keamanan, pengusaha, dan sebagainya.


Jika sempat diadili, teroris tak pernah lolos dari hukuman. Bahkan bisa dihukum mati.
Jika sempat diadili, koruptor lebih sering lolos dari hukuman. Kalau dihukum, juga sangat ringan. Belum pernah ada sejarahnya, koruptor di Indonesia dihukum mati


Seorang teroris, sesudah menjalani hukuman penjara, tak tahu mesti kerja apa. Sulit cari kantor yang mau mempekerjakan mantan teroris.
Seorang koruptor, sesudah menjalani hukuman penjara, tidak perlu kerja apa-apa. Karena hasil korupsinya masih aman dan cukup untuk dinikmati tujuh turunan.


Sekali seseorang dicap teroris, ia kehilangan statusnya sebagai orang terhormat. Bahkan jika sudah mati pun, warga sekitar tempat ia berdomisili menolak ia dikuburkan di pemakaman setempat.
Seorang koruptor tetap punya status terhormat. Di mana-mana, ia tetap diperlakukan dengan ramah dan hormat, diundang ke pesta perkawinan, diminta jadi pembicara di seminar, bahkan boleh berkhotbah soal moral. Kalau meninggal, bebas dimakamkan di mana saja.


Teroris, Dianggap menganut ideologi radikal dan ekstrem.
Koruptor, Dianggap menganut ideologi pragmatis, moderat, lunak, bahkan mungkin tak punya ideologi sama sekali.


Jika berjenggot, bersurban atau berjubah, dianggap memang persis menunjukkan ciri-ciri teroris asal Timur Tengah.
Jika berjenggot, bersurban atau berjubah, dianggap milyuner nyentrik (orang kaya raya ‘kan biasa berperilaku aneh-aneh!).


Penampilan teroris tidak menimbulkan simpati, apalagi kekaguman. Busana pakaiannya terkesan murahan, bahannya berkualitas biasa, mungkin cuma buatan lokal.
Penampilan koruptor sangat rapi dan menimbulkan decak kagum. Busana pakaiannya berkualitas nomor satu, desainnya terkini, bisa buatan Italia atau Perancis


Teroris tidak memberi sumbangan apa-apa pada masyarakat.
Koruptor sering dipandang dermawan, suka menyumbang uang ke berbagai kalangan, bahkan untuk kegiatan amal.


Tindakan teroris sudah pasti 100% melanggar hukum dan undang-undang. Tidak ada tawar-menawar, apalagi kompromi buat teroris.
Koruptor sering kali dibebaskan dari tuntutan, karena semua perbuatannya dianggap sah dan sudah sesuai prosedur hukum dan undang-undang yang berlaku. Selalu terbuka ruang buat kompromi dan tawar-menawar.


Lembaga yang dianggap cukup sukses melawan teroris, Densus 88, mendapat suplai dana besar dan di-support habis.
Lembaga yang dianggap cukup sukses melawan korupsi, KPK, dipreteli wewenangnya


Kalau begini, mending jadi Koruptor daripada teroris. Tapi di Neraka nanti, siksaan siapa yang paling berat yah?? (dari: http://catatanjempol.blogdetik.com/)
Read more…

Bingung Mau Kembalikan Hasil Korupsi

Dulu waktu masih jadi TKI di Malaysia  ( Kuala Lumpur ) saya memang sering tidur larut malam, paling cepat pukul 11 dan saya juga tidak mau lewat pukul 12 malam waktu malaysia, yang lebih cepat satu jam daripada waktu Indonesia . Barat ( Jakarta ), karena pasti akan membuat tidak tidur semalaman.

Sekarang saya lebih santai, biasanya setelah sholat magrib dan makan malam, leye leye sebentar minum kopi sambil nonton teve, adzan sudah memanggil untuk sholat isya, maka saya segera tunaikan dan setelah itu tidur, hehe. Jadi sekitar pukul 8 malam saya sudah tidur. Terkadang memang terbangun tengah malam, saya biasanya nonton teve sebentar untuk cari kantuk sebelum tidur lagi.

Dalam keseringan cukup tidur itu ternyat saya banyak terbawa ke hal hal masa lalu ( apakah bisa dikatakan mimpi atau bukan, saya juga kurang faham ) yang baik atau yang kurang baik. Salah satunya, beberapa hari lalu saya terbawa ke pada apa yang pernah terjadi kurang lebih sepuluh tahun lalu, di suatu hari yang masih pagi itu teman saya yang PNS sepertinya sengaja bercerita, jika dia ingin mengajak saya mendiskusikan sesuatu untuk mendapatkan jalan keluar atas sesuatu masalah yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan dia.

Cerita teman itu , ada seorang bapak yang sudah cukup tua yang sebelumnya tidak dia kenal datang padanya karena dulunya orang itu menurut pengakuannya dan ternyata benar, pernah bekerja ditempat dia bekerja.

Si bapak tua itu lebih dari sepuluh tahun lalu (waktu dia bercerita) pada waktu dia memegang jabatan di tempat dia bekerja, sering menerima pemberian uang dari pihak yang langsung atau tidak, terkait dengan pekerjaan-nya yang dia terima dan pergunakan untuk keperluan hidup dan berumah tangga seperti biasanya kebanyakan orang.

Andika


Di usianya yang sudah hampi 70 tahun, dia merasa ada sesuatu yang mengganggu di hari tuanya, karena ada uang yang dia terima dan dia kumpulkan dulu itu bisa dimasukkan dalam kategori hasil korupsi, sebanyak kurang lebih dua milyar rupiah ( kalau saya tidak salah ingat ).
Si bapak berniat untuk mengembalikan uang itu kepada instansinya dengan minta bantuan teman itu atau diserahkan saja kepadanya untuk seterusnya terserah dia……….bagaimana ne mas tanya, bisa diberikan jalan keluar?

Dalam obrolan santai itu, saya hanya mengatakan waktu itu, wah………..saya tidak bisa memberikan masukan ber-arti, mungkin uang itu bisa dia sumbangkan saja kepada panti sosial sedikit sedikit tanpa ada yang tahu dan tidak mencolok, lama lama juga akan habis. N iatkan saja mengembalikan uang yang bukan miliknya. Jika dikembalikan ke instansi, itu jelas bukan uang instansi, selain urusannya bisa menjadi rumit dan panjang mungkin saja…………ya ya juga katanya.

Sudah, karena saya tidak begitu tertarik soalan itu, kami bertemu tidak lama, kemudian bubar. Sayapun setelah itu tidak pernah bercerita kepada sesiapapun soalan ini sampai hari ini dan melupakannya, lha kok tiba tiba muncul dalam tidur nyenyak yang mungkin lebih daripada cukup untuk usia seperti saya yang saya kira 6 jam sudah cukup, biasanya saya tidur kurang dari 6 jam. 

Apakah cerita masa lalu itu muncul kembali karena saya ( mungkin juga banyak diantara kita )  mau tidak mau, suka tidak suka banyak teve dan media lain-nya membicarakan dan memberitakan soal  soal korupsi?… bisa jadi juga.

Saya memang setelah itu, tidak pernah lagi bertanya dan teman saya itu juga tidak pernah lagi bercerita  soal uang yang akan dikembalikan itu, walaupun kami sering bertemu, termasuk  sudah beberapa kali jumpa setelah saya kembali dari Malaysia .

Andika

Read more…

Perlakuan terhadap Koruptor: China Potong Leher, Arab Potong Tangan, Indonesia Potong Masa Tahanan

Kalo  gue potong (rambut) 
SOLO - Kalau ingin membandingkan perlakuan hukum terhadap pelaku korupsi di berbagai negara, yang muncul ironi menyakitkan. Di China, koruptor dipotong lehernya, dihukum mati. Di Arab Saudi, pencuri dipotong tangannya. 

”Di negeri kita tercinta Indonesia, koruptor malah diberi potong masa tahanan. Itulah Indonesia, jadi tidak aneh kalau kondisi kita menjadi seperti ini,” kata Sekretaris Program Doktor Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Burhanudin Harahap saat berbicara dalam Seminar Hukum Islam di kampus UNS, Sabtu (24/9). 

Burhanudin mengatakan, jangankan menerapkan hukum Islam yang merupakan konsep ideal hukum yang menghargai hak pribadi manusia, menegakkan hukum yang ada saja belum bisa.
”Karena itulah, kalau kondisinya masih seperti ini, maka hukum kita juga hanya akan seperti ini. Apalagi begitu banyak penegak hukum yang bisa disuap, yang mengakibatkan hukum hanya tegak ke bawah saja,” ujarnya. 


Tak Sekadar Prosedural

Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman yang berbicara pada forum yang sama mengatakan hal senada. Menurutnya, lembaga peradilan di Indonesia belum memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat kecil. 

”Karena itu, ke depan diperlukan hakim dan penegak hukum yang betul-betul memiliki komitmen, integritas moral dan karakter yang baik, mampu bersikap independen, tidak memihak, memiliki kemampuan, serta berani bersikap dan bertindak progresif,” kata dia. 

Hakim tidak sekadar mengadili dengan patokan prosedural dan tekstual, namun juga harus melihat konteks, menakar teks hukum normatif dengan koteks di mana dan dalam situasi apa yang dia tangani itu.

”Hakim progresif adalah hakim yang berani menegakkan hak asasi manusia dengan mewujudkan keadilan yang substantif, tidak sekadar prosedural,” jelasnya. 

Erman menambahkan, kondisi politik juga mempersulit penegakan hukum.
Presiden SBY selaku pimpinan tertinggi dinilai peragu, bahkan tidak memiliki keberanian untuk bertindak.

”Kalau dinilai, semua pejabat Indonesia seperti itu. Saya cukup menyebut satu saja, Presiden SBY. Itu karena mereka takut jabatannya digoyang, copot. Karena itu mereka mengambil tindakan tidak populer, sebab (jika tidak) pasti dimusuhi parpol,” kata Erman. (an-59) 

Read more…

Saat Akan Ditangkap, Tersangka Korupsi Rp 6 Miliar Ngumpet di Kolong Tempat Tidur

LAMPUNG (Pos Kota) – Ngumpet di kolong tempat tidur, tersangka korupsi Rp 6 miliar ditangkap Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Jumat (23/9) pukul 09.30 di rumahnya di wilayah Sukarame.

Yanuati Adi Saputra, 28, tersangka korupsi atau penyimpangan dana APBD Kota Bandar Lampung TA 2008 pada Dinas PU Kota Bandar Lampung dalam pekerjaan pembuatan saluran drainase dan jalan senilai . Dia adalah Direktur CV Mendayung Citra Perkasa dan CV Muara Jaya.

Rekanan Dinas PU ini diduga melakukan volume pekerjaan yang tidak sesuai dengan rencana anggaran belanja. Yanuri dijerat pasal 2 ayat 1, pasal 3 UU Tipikor.

Kasi Pidsus Kejari Bandarlampung, Teguh, SH., MH., mengatakan, tersangka Yanuri merupakan buronan sejak 8 bulan lalu. “Kita dapat informasi keberadaan tersangka di rumah langsung kita hubungi Polresta Bandarlampung untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka,” kata Teguh. (Koesma/b)
Read more…

Tikus-Tikus di Lumbung Padi

Oleh Dra. Zikri Neni Iska,M.Psi
               
Di bawah pohon Akasia di pinggir jalan seorang tukang cukur berdialog dengan pelanggannya. "Pak, dicukur model apa?" tanya tukang cukur.

"Model apa saja, yang penting trendy, model mutakhir." jawab pemuda itu santai.

"Bapak bolos, ya ?"

"Ah ngak, tadi saya sudah ke kantor dan kemudian minta izin cukur rambut ."

      "Diperbolehkan ?!"

      "Iya dong, habis nggak ada kerjaan, mumpung lagi sepi !"

      "Itu namanya Bapak korupsi waktu. Negara rugikan ?!"

      "Sudah biasa kok! Ada yang nge-objek di waktu jam kantor. Biasa, untuk taDrambahan biaya dapur!. Habis..., di bagian yang lain malah korupsi uang, korupsi proyek pengadaan dan macam-macam, saya nggak dibagi."

      "Apakah mereka itu tidak malu dan takut?"

      "Nah...., rasa malu itu yang nggak ada. Rasa takut sih ada, tapi semua orang melakukan masak kita ngak. Rugi dong !! Nanti kita dibenci dan dituduh sok alim, munafik dan kampungan !! Dasar tikus kantor !!"

      Dari dialog diatas dapat kita petik perilaku individu yang melakukan tindakan korupsi mulai dari yang kecil sampai ke tingkat yang lebih besar. Korupsi merupakan penyakit mental manusia untuk memperkaya diri dengan jalan yang tidak wajar. Penyakit ini sebagai tindak kejahatan tradisional yang sudah ada semenjak zaman dahulu kala sebelum masehi. Di Indonesia korupsi sudah merupakan budaya yang melekat bagi individu yang dekat dengan kekuasaan, terutama yang berhubungan langsung dengan keuangan dan berbagai proyek. Ada pameo yang mengatakan: "Orang yang bersih di lingkungan korupsi, dikatakan orang aneh yang akan disiapkan menjadi tumbal korupsi untuk disingkirkan secara halus maupun kasar".

      Korupsi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok dengan berlindung dibawah suatu aturan yang ada celah-celah kelemahan. Bahkan saat ini korupsi secara berjamaah sudah merupakan trendy seperti model rambut dengan harapan sulit untuk mengungkapkannya. Korupsi sebagai penyakit masyarakat sangat berbahaya terhadap kelangsungan hidup negara. Sendi-sendi pembangunan akan digerogoti oleh tikus-tikus individu yang memikirkan kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Tikus-tikus korupsi ini harus dibasmi dengan supremasi hukum yang bersih. Sangat ironis membersihkan sampah dengan sapu yang kotor, tentu korupsinya akan semakin legal. Kita dapat mengutip ucapan dari sesorang di kolom pojok surat kabar yang mengatakan bahwa, " kalau ingin memberantas korupsi belajarlah ke negera Cina dan kalau ingin koruptor bebas dari jeratan hukum, belajarlah ke Indonesia"


      Pernyataan ini cukup beralasan yang terjadi di Indonesia. Di lembaga Pemerintah dan non Pemerintah, semua orang melakukan tindakan korupsi dengan alasan "budaya mumpung". Dimana ada kesempatan disitu ada korupsi. Korupsi sudah merupakan lingkaran setan yang terjadi disekitar kita. Lingkaran tersebut kita coba untuk meng-urutnya dari aspek kecil mulai awal lahirnya manusia sampai ia meninggal.

      Disebuah rumah sakit bersalin tampak seorang Bapak muda di kasir.

      "Mahal amat ?"

      "Ah ngak, standar kok."

      "Ya deh, tolong kwitansinya dijadikan dua kali lipat dari tagihan. Biasa, kantor yang bayar."

      "Baik, tapi jangan lupa komisinya ya pak?"

      "Beres."

      Baru lahir saja anak itu sudah mencicipi uang korupsi. Artinya dengan kelahirannya Bapaknya sudah untung. Begitu pula kalau dia sakit, Bapaknya akan melakukan mark up pembelian obat. Tatkala anak tersebut masuk bangku sekolah mulai dari SD, SMP, SMU sampai perguruan tinggi. Banyak tindakan-tindakan korupsi yang dilakukan oleh orangtuanya baik langsung maupun tak langsung.

Misalnya uang masuk sekolah, beli buku yang dilakukan di sekolah, terjadi kolusi dengan guru. Sang Bapak akan mengatakan, " Yah, kebetulan dapat proyek, ya impaslah." Artinya uang korupsi dibayar kepada tindakan korupsi atau menyogok.

      Setelah anak tamat sekolah, mereka memasuki lapangan kerja. Ia dapat diterima bekerja karena menyogok dari uang korupsi Bapaknya. Setelah anak bekerja, maka terpikir oleh anak bahwa Bapaknya telah mengeluarkan uang puluhan juta. Ia harus mengembalikannya secepat mungkin. Kesempatan korupsi kecil-kecilan dilakukan sesuai dengan jabatannya yang masih rendah. Untuk kenaikan pangkat dan menduduki jabatan, ia melakukan penyuapan yang cukup besar dari hasil uang korupsi yang dikumpulkannya. Adakalanya untuk meraih tersebut memakai trik "politikus", artinya "poli"adalah banyak tikus yang menggrogoti kursi kekuasaan agar ambruk dan ia naik diatasnya. Untuk memperbodoh dan membuat orang patuh, ia memakai rekayasa "politik", artinya banyak itik yang digiring seperti itik sawah berjalan teertib dan antri. Trik politikus dan rekayasa politik mengantarkan sang koruptor memperoleh jabatan yang lebih tinggi dan basah.

      Jabatan yang tinggi akan menghasilkan peluang cukup luas dan besar untuk melakukan korupsi sehingga korupsi menjadi virus bagi individu yang makin lama makin besar berjangkit di dalam tubuhnya. Virus korupsi ini akan selalu bersarang ditubuhnya sampai mati. Apabila dia ketahuan maka ia akan berusaha menyuap penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa dan hakim agar ia bebas atau ringan. Apabila ia masuk penjara, ia juga akan melakukan penyuapan kepada sipir penjara agar ia diperlakukan istimewa. Apabila tindakan korupsinya tidak pernah dilakukan sampai ia pensiun, maka hari tuanya akan cukup tenang.


      Indikasi sosial yang terjadi, koruptor masa tuanya dihinggapi oleh penyakit yang aneh-aneh sampai kepada penyakit yang nyata seperti : kanker, jantung, diabetes dsb. Tidak jarang hasil uang korupsi itu habis untuk mengobati penyakitnya sampai ia meninggal. Akhir hayatnya ia dikuburkan di tempat pemakaman yang VIP. Untuk memperoleh pemakaman yang sangat baik itu pihak keluarga melakukan penyuapan kepada petugas pemakaman. Virus korupsi ini menyebar kepada manusia yang lain, karena begitu gampang memperoleh uang dan gampang pula mengeluarkannya tanpa pikir panjang akibat sampingan.

      Kisah perjalanan koruptor, akan melahirkan tetesan darah anak yang mengandung korupsi. Secara tidak langsung anak yang lahir tanpa dosa diberi makan dengan hasil uang korupsi. Mata rantai ini harus diputus melalui kesehatan mental dari sang anak agar tidak meneruskan kebiasaan korupsi orang tuanya dengan pendekatan Iman dan Taqwa. Tindakan korupsi sangat mudah dilakukan dan sangat sulit untuk terungkap. Ukuran tindakan korupsi ada pada hati kecil manusia. Apakah uang yang saya peroleh ini wajar sesuai dengan ketentuan yang sebenarnya? Jawabannya ada pada hati sanubari manusia yang paling dalam. Jika tidak, dengan tegas bersikap untuk tidak memakan dan mengembalikannya.

      Kemajuan teknologi yang canggih akan semakin sulit mengungkapkan tindakan korupsi. Berdasarkan perkiraan, hanya 5 % tindakan korupsi yang dilakukan dapat dibuktikan. Lebih 95 persen tidak pernah terungkap dan hanya hati nurani manusia korupsi itu yang dapat menjawabnya. Sangat sulit kita menemukan manusia yang mau berdialog dengan hati nuraninya tentang kebersihan uang yang ia makan. Manusia cenderung untuk ingkar dengan suara hatinya dan lebih terpengaruh oleh suara-suara dari luar dirinya. Timbul pertanyaan, kenapa manusia melakukan korupsi ?

      Korupsi dilakukan manusia disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal (dalam diri) dan faktor eksternal (diluar diri). Faktor internal merupakan dorongan dari dalam yang maha hebat antara lain: pola hidup ingin senang tanpa perjuangan yang keras, nilai agama yang minim, keinginan untuk merealisasikan kepentingan harta, tahta dan kepuasan seksual kepada lawan jenis. Faktor eksternal adalah pengaruh pola hidup konsumtif masyarakat yang berjangkit kepada gaya trendy yang penuh dengan gengsi.

      Faktor lain adalah peraturan dan pengawasan yang lemah. Tikus-tikus kecil akan lahir secara alamiah. Kemudian tikus besar membuka sistem perkaderan melalui "sekolah korupsi." Kondisi ini menciptakan dilingkungani budaya korupsi sebagai etika mekanisme kerja.

      Untuk mengatasi korupsi tersebut dimulai dari individu yang mempunyai mental yang sehat dengan melatih suara hatinya atas hak dan kewajiban. Individu-individu sebagai pelaku korupsi atau sebagai pemberantas korupsi harus bermental sehat. Keduanya harus sejalan agar korupsi dapat diberantas seperti yang ada di negara Cina. Sewaktu kepala negaranya dilantik, maka ucapannya adalah akan menghukum mati koruptor dengan menyiapkan peti mati. Kepala negara itu konsisten dengan ucapannya. Banyak pejabat yang dihukum tembak. Bahkan peluru untuk mengeksekusi koruptor harus dibayar oleh keluarga koruptor, karena peluru tersebut adalah uang rakyat. Terapi yang dikeluarkan kepala negara tersebut sangat ampuh menghentikan korupsi di Cina.

      Gebrakan Presiden kita dan Jaksa Agung akhir-akhir ini tentang pemberantasan korupsi cukup memukul nyali para koruptor. Walaupun Jaksa Agung kita pernah dikatakan oleh salah seorang anggota DPR sebagai "ustad disarang maling", kita tetap masih banyak berharap agar kejaksaan, polisi, hakim dan pengacara. sungguh-sungguh memberantas korupsi. Kita memang butuh uang sebagai kelangsungan hidup. Namun kita punya hati nurani. Tentu kita tidak ingin "maju tak gentar membela yang bayar." Individu-individu sebagai penegak hukum merupakan pribadi yang punya hati nurani tentang nilai kebenaran. Ukuran benar dan salah tersebut terletak pada hati nurani individu penegak hukum apakah ia memakai sapu bersih atau sapu kotor dengan memainkan pasal demi pasal peraturan yang berlaku. Penegak hukum harus mempunyai peralatan yang lebih canggih dari pada koruptor agar dapat menangkap tikus korupsi. "Kejarlah daku, kau kutangkap, dan kujerat kau keperangkap tikus, hanya aku yang dapat membukanya".

      Pendekatan individu pelaku korupsi dan pendekatan individu penegak hukum, harus mempunyai kesehatan mental dengan memelihara hati nurani yang suci ditunjukan pada perbuatan positif. Korupsi tetap berlangsung ada ditangan kedua pelaku ini. Sehebat manapun peraturan dan secanggih apapun alat kontrol, tapi kedua pihak ini melakukan kolusi dalam korupsi, maka korupsi akan tetap abadi. Perilaku korupsi sudah tradisi dalam lingkungan kerja.

    Perilaku koruptif ini ibarat lingkaran setan yang sulit untuk dituntaskan sehingga sangat dituntut kekuatan diri melalui kekuatan mental mempertahankan diri selalu bersih dari suap menyuap, sogok menyogok, jauh dari mark up keuangan dan keteguhan iman. Mental yang kuat dengan tingkat konsistensi yang tinggi, bertahan untuk teguh dalam prinsip kebenaran dan mengambil haq orang lain sehingga kita memiliki jiwa yang humanis dimana jika kita merasa dizalimi oleh orang lain, maka tentu kita tidak akan mau menzalimi orang lain. Mental yang kuat dan tidak mudah/tidak gampang terpengaruh oleh orang lain atau lingkungan, tidak mudah terbawa arus yang menjerumuskan. Mari kita tanamkan rasa malu untuk melakukan korupsi agar kita tidak dipermalukan oleh urat kemaluan tikus yang tidak pernah malu menggrogoti lumbung padi.

      Kekuatan Iman sangat membantu kita dari berperilaku koruptif dengan meyakini bahwa setiap gerak-gerik, tindak-tanduk yang kita lakukan ada yang selalu memantau, memperhatikan bahkan mencatat segala yang kita lakukan yakni malaikat Raqib dan 'Atib. Agama Islam dengan keyakinan dan keimanan kita bahwa menuntun untuk hidup qona'ah dalam arti hidup dalam batas kemampuan diri yang hakiki dan tidak melebihi dari kebutuhan uatama/pokok (primer), kebutuhan sekunder serta tidak berfoya-foya.

      Mari kita merenung dan berpikir sejenak akan keadaan diri yang ada saat ini dengan menyadari akan hakekat diri untuk kehidupan ini sehingga kita berpikir dan memiliki sikap serta ketetapan hati setiap derap langkah yang dilakukan dengan selalu mempertimbangkan kata hati untuk hidup berkah dan mendapat ridho dari Alloh SWT. Semoga qolbu/hati kita ini mampu diasah dan disinari/diterangi dengan kebenaran melalui suatu harapan menjadi manusia yang memiliki mental yang sehat dan mampu memaknai hidup ini lebih benar dan penuh hakiki. SEMOGA.

      *Penulis Direktur Lembaga Ketenangan Hati Jakarta
Read more…

Yulianis Tidur dengan 11 Kardus Uang

JAKARTA, Tinggal dua malam di satu kamar di Hotel Aston, Bandung, yang diisi oleh 11 kardus berisi uang dan 11 orang. Itulah yang dialami Yulianis, mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai, induk perusahaan milik Muhammad Nazaruddin, saat Kongres Partai Demokrat pada Mei 2010.

"Saat itu suasananya tegang. Kami tidak berani meninggalkan kamar," cerita Yulianis kepada Kompas dan Tribun, Selasa (13/9/2011) di Plaza Senayan, Jakarta. Saat itu Yulianis diberi tugas oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin, untuk mencatat dan menyiapkan uang yang dibawanya. Uang itu ada yang berasal dari perusahaan Grup Permai sebesar Rp 30 miliar dan 2 juta dollar Amerika Serikat (AS), serta dari sumbangan sebanyak 3 juta dollar AS.

Yulianis enggan menyebutkan uang 3 juta dollar AS itu merupakan sumbangan dari siapa saja. Dia hanya menuturkan, uang sumbangan itu mulai terkumpul sejak satu bulan sebelum kongres.

Setiap ada uang sumbangan yang masuk, dia diminta oleh Nazaruddin untuk mencatat dan menukarkannya menjadi dollar AS agar lebih ringkas. Menurut Yulianis, uang itu dibawa dari Jakarta ke Bandung dengan iring-iringan beberapa mobil. Uang Rp 30 miliar disimpan dalam 10 kardus rokok dan dibawa dengan mobil boks, sedangkan uang dalam bentuk dollar AS disimpan dalam kardus lain dan dibawa dengan mobil lainnya.
"Saya mengendarai Honda CRV, di iringan paling belakang," tutur Yulianis.

Sesampainya di Hotel Aston Bandung, lanjut Yulianis, uang itu disimpan di sebuah kamar. "Saya lalu menunggu uang tersebut. Jika Pak Nazaruddin menelepon dan mengatakan butuh uang sekian, saya mencatat dan menyiapkannya. Nuril Anwar (mantan tenaga ahli Nazaruddin di DPR) yang kemudian akan datang dan mengambil uang itu," tutur Yulianis.

Yulianis mengaku tidak mengetahui uang itu dipakai untuk apa. Yang pasti, dari Rp 30 miliar uang perusahaan, diambil sebanyak Rp 600 juta. Sedangkan dari uang sumbangan sebesar 3 juta dollar AS, yang dipakai sebesar 1,8 juta dollar AS. Sementara uang dari Grup Permai sebesar 2 juta dollar AS masih utuh dan kemudian dibawa oleh Nazaruddin.

Yulianis lalu mengembalikan sisa uang perusahaan sebesar Rp 29,4 miliar ke kas perusahaan. Sementara itu, sisa uang sumbangan sebanyak 1,2 juta dollar AS dibawa oleh Neneng Sri Wahyuni, istri Nazaruddin. 

Read more…

Polisi , Hakim Garis dan Bajing Jalanan

Wacara korupsi di negeri ini tampaknya menjadi permbincangan menarik  dinegeri ini.  Dalam komunitas masyarakat, sorotan tindak korupsi yang dilakukan para meneteri, pejabat, penegak hukum, polisi, sampai tingkat lurah dan desa menjadi perbincangan hangat ketika berkumpul, bertamu sampai diwarung-warung kopi.

Memperbicangkan fenomena korupsi yang makin menggejala dan berkembang di Republik Indonesia ini meski memuakkan dan menjijikkan (lebih jijik dari bangkai), namun menjadi daya tarik tersendiri, karena korupsi ditengarai tak tak akan habis menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tamak dan serakah.
Perbincangan ini juga terjadi ketika teman-teman berkumpul di rumah saya. Entah apa penyebabnya perbincangan ini justru terfokus pada perlakukan pihak aparat kepolisian lalu lintas yang selama ini menjadi “momok” masyarakat, khusus.

Pada akhirnya dipahami ternyata dua teman sepeda motornya terkena tilang, lantaran tidak menyalakan lampu pada siang hari. Perbicangan makin tidak mengenakkan, celaan, dan penilaian negatif makin menyudutkan polisi pada posisi yang tidak menguntungkan.

“Aku kan tidak tahu kalau dop lampunya mati, yang selama ini aku nyalakan secara permanen, tapi tetap saja kena tilang. Apa ini namanya pengayom masyarakat. Apa artinya operasi simpatik yang tidak simpatik?.

Itu bagian baiknya yang sempat saya dengar, tapi selebihnya aku tutup terlinga rapat-rapat, karena aku malu mendengar ocehan dan perlakuan petugas yang sebenarnya sangat berjasa pada pengguna jalan.
Banyak hal yang diperbincangkan tentang ptus polantas itu, banyak hal yang kau  tanggap, dan banyak pula yang tidak ingin aku dengar dari mulut teman-temanku itu.

Pada saat suasana mereda, aku sampaikan bahwa besok akan pergi ke Yogyakarta mengantarkan anak-anak yang telah memasuki masa perkuliahan. Namun pada saat itu pula seorang teman  menawarkan mobil Avansanya yang  sedang nganggur, temanku satunya lagi menyahut akan siap membantu menyopirinya, karena meang dia  profesi sopir.sebuah travel yang sedang istirahat.

Paslah, jadi semuanya serba praktis,  hemat biaya, dan ungkapan syukur dan terima kasih yang tak terhingga kami hamburkan kehadirat Yang Maha Kuasa, yang telah memberi kemudahan pada keluarga kami.

Namun kemudian teman yang meminjamkan dia nyelutuk: “Hati-hati perjalan dari Surabaya ke Ngawi, disitu banyak bajing jalanan”, ungkapnya bergurau.

Tentu saya tidak punyak pikiran yang anek tentang bajing jalanan itu, karena selama yang aku tahu, yang ada bajing loncat, bentuk kejahatan dengan korban truyk-truk yang memjuat barang.
“Ah, kamu ada saja”, sahutku. Dia hanya tersenyum.

Pas hari H, tepat tengah malam, kami semua berangkat. Perlengkapan perjalanan, STNK, SIM dicek kembali, takut-takut terlupakan masa berlakunya  habis. “Beres semua”.

Kondisi ban depan, belakang dan semua persyaratan mobil layak jalan, bahkan bekal dijalanpun istri saya sudah menyiapkan. :Tidak usah beli sarapan, ini nasi dan lauk cukup untuk kalian semua”. Alhamdulillah, hemat biaya. Dan akhirnya kami berangkat.

Memasuki kota Surabaya jalan lempang, karena memang waktunya masih dini, menuju kearah barat sampai sampai Ngawi berjalan aman.. Kita semua bersyukur, selama perjalanan tidak ada rintangan.

Tapi ketika memasuki jembatan kontruksi besi dekat hutan dan perkampungan (entah kami tidak menganal daerahnya) lepas dari kota Ngawi didepan telah berdiri seorang petugas polantas dekat pos jaga
“Priiiiiit. Dia minta minggir. Ramah. Simpatik. Hormat, dan kami diminta menunjukkan SNTK dan SIM. Sang sopir  menyodorkannya. Lalu sopir diminta ke pos penjagaan dan saya dampingi.

“Anda melanggar, garis marka disana”, kata petugas Satlantas itu menunjuk arah jembatan.
Kami bingung, pelanggaran yang bagaimana?. Pada saat itu suana sepi, tidak ada hilir mudik kenadaraan yang lain. Kami protes, namun polisi itu tetap bersikukuh kami bersalah seraya menulis pada buku tilang.
“Anda kena tilang dan hadiri di  sidang”, sambungnya.  Kami bingung. Membantah sama melawan petugas keamanan, mengiyakan ditilang sama artinya membangun masalah. Apalagi nopol mobil kami bukan wilayah Kabupaten Ngawi.

Kami bersikukuh bahwa ban mobil kami hanya menyentuh garis marka, tidak melampaui batas jalanan berlawanan arah. Tapi dia juga bersikukuh, bahkan itu juga termasuk pelanggaran. Aku berfikir percuma bersikukuh dengan pihak aparat yang egois, akhirnya kami menyerah.
Dia kemudian menawarkan jasa. “Bisa saya bantu, tapi Anda harus membayar biaya sidang”, sambungnya.

Ah, ironis sekali.
Lalu dia menunjukkan sepotong kertas tabel (mungkin pasal-pasal pelanggaran dan nilai rupiah).
“Anda dikenakan denda Rp. 250.000,-“, katanya menekan.

Kami menghiba-hiba agar diberi kebijakan untuk dipermurah. Akhirnya dengan rasa ingin membantu kemudian dia menyebutkan angka, “sudahlah 75 ribu saja”.

Kami tak ingin perjalanan menjadi terhambat akhirnya kami rogoh saku, kembalian beli bensin dari lembaran uang ribuan dan receh. Saya selipkan dibawah buku di meja. Kemudian dia tersenyum seraya mengantarkan kami sampai kemobil dan berpesan. “Hati-hati  dijalan, jaga keselamatan penumpang”, ungkapnya.

Benar-benar polisi yang simpatik.  Dan mungkin dia akan berang, kalau sebenarnya uang yang kami sodorkan hanya Rp. 4.500,-.

*****


Keesokan harinya, sepulang dari Yogya, kami berharap tidak ketemu lagi dengan petugas tadi atau petugas polisi jalanan lainnya. Lancar dan aman.

Menjelang memasuki kota Jombang, perjalanan mobil merambat. Macet. Truk-truk menutupi pandangan kami kedepan. “Ini biasa, kemacetan menjadi kebanggaan Indonesia”, kata teman saya sang sopir, yang saat ini tinggal kami berdua.

Tapi ketika saya menengok dari samping disana ada sejumlah petugas polisi lalu lintas, yang menurut benak saya sedang mengamankan jalannya lalu lintas.

Tapi apa lacur, ternyata akhirnya  kami diminta minggir. Dan kali ini beda polisi sebelumnya, lalu langsung berucap:  “Surat-surat?”.

Kami serahkan SIM dan STNKdan mengikuti ke pos polisi. Di pos polisi ada satu orang sedang menunggu, menyiapkan surat tilang. Kali ini agak angker, sulit diajak bicara. Dia menujukkan wajah bermusuhan, seakan-akan kami sebagai terdakwa.

Telusur punya telusur ternyata kami disalahkan melanggar garis marka sebelah kiri jalan, yang seharusnya digunakan pengendara sepeda motor. Saya perhatikan kearah garis tersebut, sejak kami diminta minggir, tidak ada sepeda motor yang melintas. Dan kami tidak mendahului dari sisi kiri  mobil didepannya. Dan ini kami sampaikan kepada prtugas, seperti sebelumnya “Anda  melanggar garis marka”, ungkapnya terkesan tegas.

Lalu dia menujukkan lembaran surat tilang yang dipojok atas tertera angka Rp. 100.000,- dan Rp. 250.000,-. Kemudian dia menjelaskan untuk pelanggaran sepeda motor dikenakan Rp. 100.000,-, kalau mobil Rp. 250.000,-.

Lagi-lagi kami ketemu  “polisi yang bijak”. Dia menawarkan jasa membayar separuhnya saja. Kami tetap beralasan bahwa mobil kami hanya menyentuh garis  saja. Tampaknya dia merasa  “digurui”, akhirnya menyodorkan surat tilang, “Hadiri dalam sidang”

Kami bingung, kalau menerima surat tilang itu persoalan akan jadi ruwet. Mustahil kami bisa menghadiri sidang, meski sebenarnya dalam persoalan ini saya bisa memilih disidang. Kalau kami memenuhi kehendak polisi itu, uang yang tersisa cuma untuk bensin dan makan siang.  Dan juga sama artinya mendukung kejatahan aparat di jalanan.

(Bila anda mengahapi masalah macam ini, bagaimana sikap Anda. )

Kami berdua terdiam, kami mengutuk cara-cara petugas yang tidak manusiawi itu, padahal kami sampaikan semua persoalan yang kami hadapi, tapi tampaknya kami berhadapan dengan patung, bisu dan menyeringai. Dia benar-benar tuli hatinya.

Dia justru makin asyik, “mengurus” korban-konban yang lain. Ada sejumlah mobil berjejer ditepian. Kasusnya sama, menyentuh garis marka jalan. 

Benar-benar strategi yang jeli, meletakkan posisi pos jaga yang menghadap luruh ke garis marka. Seperti layaknya, hakim garis sepak bola atau bla volly. Peluit siap dimulut, tinggal menunggu jebakan. Menyentuh garis  priiiit. Pelanggaran. Luar bisa Indonesia.

Dari pemikiran yang ruwet, akhir secara terbuka kami julurkan uang Rp. 100.000,-. Dia terima. Luar biasa.

Sementara petugas yang  lain, dengan sebatang lampu merah, seraya dilambai-lambaikan ditangannya, sejumlah korban menepikan mobil- mobilnya. Tanpa basa-basi (mungkin karena terburu-buru, takut korban yang lain lepas dari pandangannya), meminbta SIM dan STNK, lalu dibawa ke pos jaga, lalu jadi tersangka, lalu  .. lalu …. dan lalu…

Tidak semua polisi mempuyai tabiat seperti mereka, banyak saya temui, polisi yang ramah, simpatik, dan bila terjadi pelanggaran yang tidak membayakan pihak lain, dia hanya berpesa, “Hati-hati ya pak, patuhi rambu-rambu, demi keamanan bersama”.

Dengan senyum ramah, dan pesan yang bijak, dapat dipastikan mereka yang diingatkan itu akan tersentuh, dia akan lebih memperhatikan jalur dan rambu-rambu yang ada.

Dialah menurut saya petugas polisi lalu lintas yang sebenarnya. Dia mengayomi, dan membina masyarakat. Polisi macam itu akan selamat, dari ancaman korupsi. Korupsi tidak selalu terjadi di kantor-kantor, di jalan rayapun rentan lahirnya koruptor.

Tiba-tiba aku ingat pesan temanku pemilik mobil yang dia kami pinjam, apa ini yang dimasksud Bajing Jalanan. Ah, saya tidak ingin menduga-duga, kami cuma berharap petugas polisi, dimana posisi tugasnya benar-benar mengayomi masyarakat, tidak membelenggu, tidak menekan, tidak menjadi hakim ala preman. Dan menjadi polisi karena hati nurani.

Disampaikan oleh : Herman kepada Brantas KKN, dalam pengalaman perjalanannya pada tanggal 14 September 2011
Read more…

Jangan Anggap Kami Bangsa Kerdil!

Oleh    : Riza Khaedar

Departemen Polkastra BEM Fakultas Peternakan Indonesia adalah bangsa yang besar. Tanda kebesaranya antara lain adalah lapang jiwanya, sangat suka mengalah, tidak lapar kemenangan dan keunggulan-keunggulan atas bangsa lain, serta tidak tega melihat masyarakat lain kalah tingkat kegembiraan dibandingkan dirinya.

Dari lingkaran khatulistiwa, Indonesia mempunyai 12,5%, dan itu sudah jauh lebih dari cukup untuk menguasai akses angkasa, satelit dan wilayah otoritas politik maupun perekonomian informasi dan komunikasi. Kita adalah a Big Boss industri teknologi informasi sedunia. Tetapi kita sangat rendah hati dan mengalah. Kita tidak tega kepada “Negara Kecamatan” yang bernama Singapura, sehingga kekayaan pasir kita dikeruk habis-habisan, BUMN sektor komunikasi kita, kita shadaqah kan kepada tetangga kecil itu.

Keluasan territorial dan kesuburan bumi maupun lautan, kekayaan perut bumi, tambang-tambang migas dan logam lainya, keunggulan bakat manusia-manusia Indonesia, pelajar-pelajar kelas olimpiade, kenekadan hidup tanpa manajemen, ideologi bonek, jumlah penduduk, kegilaan genetis dan anthropologinya dan berbagai macam kekayaan lain yang dimiliki oleh “penggalan surga” yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia” sungguh-sungguh merupakan potensi yang tak tertandingi oleh Negara dan bangsa manapun di muka bumi ini.

Akan tetapi perlu diingat! Kita adalah bangsa yang lembut hati dan jauh dari watak serakah. Kekayaan-kekayaan itu kita persilakan dikenduri oleh industri multinasional dan orang-orang serakah: glontoran emas, minyak dan gas diangkat setiap hari ke mancanegara. Dan itu bukan kekalahan, itu adalah kebesaran jiwa kita sebagai bangsa yang besar!. Kita bangsa yang kaya raya karena amat sangat teramat disayang Tuhan, sehingga kita setiap hari pesta infak dan shadaqah. Rakyat kebanyakan ikhlas menderita karena memilih surga, dan toleran kepada minoritas dari luar sana yang serakah, yang lebih memilih neraka.

Bangsa kita adalah bangsa yang sangat filosof. Kalau presiden kita kontrakan dan Belanda atau terserah negara maju manapun yang kita persilakan memimpin, itu bukan berarti kita berada dibawah mereka. Dalam teori demokrasi. Rakyat selalu menjadi yang tertinggi, presiden dan kabinetnya hanya orang-orang yang kita upah dan taat kepada kita. Jadi sesungguhnya Bangsa Indonesia lah yang tetap di atas. Sebagaimana seorang imam shalat diangkat oleh makmumnya, Imam pada hakekatnya harus taat kepada makmum. Yang memilih ditaati oleh yang dipilih. Apalagi yang dipilih itu digaji. Makmum yang memilih imam tidak ada cerita Imam memilih makmum.

Sejak ratusan tahun yang lalu kekuatan Indonesia membuat dunia miris. Maka perlahan-lahan terdesain atau tak sengaja didesain, terdapat semacam perjanjian tak tertulis dikalangan kepemimpinan dunia diberbagai bidang: “Jangan sampai Indonesia menjadi negara yang maju. Sebab potensi alam dan manusianya tak bisa dilawan oleh siapapun”.

Dan kitapun sangat suportif terhadap kehendak dunia untuk mengkerdilkan Bangsa Indonesia. Kita membantu sepenuh hati upaya-upaya untuk mengkerdilkan diri kita sendiri. Sehari-hari dalam pergaulan maupun urusan-urusan konstelatif struktural, kita sangat rajin menghancurkan siapa saja yang menunjukan perilaku menuju kemungkinan mencapai kemajuan dan kemandirian bangsa. Setiap orang unggul kita tidak akui keunggulanya. Setiap orang hebat kita cari buruknya. Setiap orang berbakat kita kipasi agar bekerja di luar negeri. Setiap orang ikhlas kita bantai dengan fitnah. Setiap akan muncul pemimpin sejati harus segera mungkin kita buat ranjau untuk menjebak dan menghancurkanya. Setiap ada masalah besar kita anggap masalah kecil, malah lebih penting gosip murahan di televisi daripada harkat, martabat dan jatidiri bangsa.

Kita benar-benar sudah hampir lulus menjadi bangsa yang besar!. Puncak dari kebesaran kita adalah kesediaan kita untuk menjadi bangsa yang kerdil….. RENUNGKANLAH

http://polkastrabemd.tk/
Read more…

Koruptor dan Komikus

 oleh : Maman S Mahayana

Adakah hubungannya koruptor dan komikus? Tentu saja, bisa ada, bisa juga tidak. Yang jelas, keduanya profesional. Koruptor, profesional menilep kekayaan yang bukan haknya, komikus juga profesional dalam bidang membuat cerita-cerita bergambar. Yang mempersamakan keduanya adalah kecerdasan. Maka, koruptor kelas kakap, dengan kecerdasannya, akan nyaman berkeliaran dan bebas dari jeratan hukum. Bagi komikus, kecerdasan itu perlu dikembangkan kreativitas. Dengan kecerdasan dan kreativitasnya, komik-komiknya akan tetap dikenang dan jadi bahan bacaan yang menyenangkan.

Kini, di beberapa daerah, di tengah belantara baliho, spanduk, poster para caleg, dan iklan-iklan komersial, menyempil satu dua spanduk atas nama pengadilan, kejaksaan, bahkan juga kepolisian, berisi hujatan pada koruptor. Ini fenomena baru. Kesan memusuhi korupsi yang ditampilkan lembaga-lembaga itu, seperti hendak menegaskan dukungannya pada gerakan masyarakat untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Tentu saja dampaknya sangat positif. Selain sebagai bentuk dukungan langsung pada usaha Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga terselip peringatan untuk tidak melakukan tindak kejahatan nista itu.

***

Membasmi korupsi sejak dini harus ada semacam gerakan teror pada koruptor. Penanganannya mesti dilakukan dengan cara-cara yang tidak konvensional. Bukankah korupsi dianggap sebagai penyakit bangsa yang perbuatannya termasuk tindak pidana kejahatan luar biasa yang dapat berdampak pada kebangkrutan sebuah pemerintahan? Oleh karena itu, sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), penanganan segala macam bentuk korupsi harus dilakukan juga secara luar biasa. “Tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa yang pemberantasannya, juga harus dilakukan secara luar biasa,” begitulah rumusan konvensi PBB tentang kejahatan korupsi.

Komikus adalah profesi yang berkaitan dengan gambar-menggambar. Dan masyarakat menganggap, profesi itu tidak (: belum) memberi sumbangan berarti dalam pembangunan bangsa ini. Sesungguhnya peranan komikus itu penting artinya jika profesinya itu diberdayakan untuk kepentingan bangsa ini. Komikusdapat membangun citra dan menciptakan stigma. Jika pencitraan dan stigma itu sudah terbentuk, maka akan terbentuk pula tata nilai yang tumbuh dan mengakar dalam pola berpikir masyarakat. Dalam kaitan itu, komikus perlu dimanfaatkan untuk membuat sejumlah komik dengan tema-tema korupsi. Lalu apakah itu penting?

Ingat, pemberantasan korupsi sampai ke akarnya tidaklah cukup mengandalkan KPK. Apalagi jika hendak membangun generasi tanpa korupsi. Penanaman nilai-nilai yang memusuhi kejahatan ini, harus dimulai sejak dini. Pembangunan citra buruk para koruptor, mesti terus-menerus dilakukan hingga tercipta stigma, bahwa koruptor itu lebih jahat dari lintah darat, tikus comberan, kadal kurap, lebih buruk dari kutu busuk, anjing buduk, iblis pengisap darah rakyat, pengkhianat bangsa, atau apa saja yang mencitrakan koruptor identik dengan segala kebusukan—kebrengsekan.
Camkanlah, bahwa pencitraan dan stigmatisasi itu efektif menanamkan tata nilai. Ia tidak hanya akan menjadi perilaku, budi pekerti, atau norma etik, tetapi juga sikap budaya dan opini sosial. Lihat saja slogan-slogan yang lahir pada zaman perang kemerdekaan, seperti Merdeka atau Mati, Maju terus pantang mundur, Berjuang sampai titik darah penghabisan, tanpa sadar telah meresap menjadi sikap berbangsa, menumbuhkan semangat nasionalisme. Maka, ketika ada pertandingan apa pun yang lawannya pihak asing, pernyataan-pernyataan hiperbolis itu seketika akan muncul begitu saja. Bukankah sampai sekarang slogan itu masih efektif untuk mengobarkan semangat kebangsaan, meskipun tidak dalam kancah perang fisik.

***

Komikus sesungguhnya juga punya peran penting dalam membangun citra dan menciptakan stigma. Bagi para penggemar komik, boleh jadi masih belum lupa komik sederhana yang menampilkan tokoh Saleh dan Karma. Komik dengan gambar yang tidak begitu cantik dan dicetak dengan kertas murah itu, sampai kini masih dijual di pinggir-pinggir jalan atau di halaman sekolah dan dibaca para siswa yang baru bisa membaca. Ceritanya pun sederhana dengan tokoh hitam—putih: Si Saleh yang baik hati akhirnya mati dan hidup bahagia di surga. Sebaliknya, si Karma yang jahat, hidup sengsara di neraka dengan segala siksaannya yang mahadahsyat.
         
Aneh, cerita dan gambaran dalam komik sederhana itu, sampai kini masih melekat dalam ingatan. Maka, saya belum lupa gambaran tentang para penghuni neraka yang lidahnya dijepit tang, diguyur timah panas, atau dihajar godam besi. Apa artinya itu? Itulah nilai-nilai yang melekat dalam benak. Dan gambaran itu akan terus hidup bergentayangan dalam pikiran.   
          
Bagaimana pula Ganesh Th menciptakan heroisme tokoh Badra Mandrawata, Si Buta dari Gua Hantu? Tokoh fiktif itu seolah-olah hidup dan menjadi ikon kependekaran. Maka, ketika saya melihat sebuah gua di lereng gunung yang terjal, saya membayangkan, mungkin di situlah si Badra melatih ilmu silatnya sampai ia harus membutakan mata. Bahkan, kisah Si Pitung yang berasal dari cerita rakyat yang juga fiktif itu, diyakini sebagai tokoh sejarah. Si Buta dan Si Pitung, telah menjadi mitos! Itulah keajaiban komik yang berhasil menempelkan gambar-gambar dalam ingatan dan tanpa sadar menanamkan tata nilai.

Ingat pula komik Mahabharata karya RA Kosasih. Kegagahan Gatotkaca, kegarangan Bima, keperkasaan Srikandi atau kecerdikan Durna, entah mengapa, tanpa sadar sering memberi inspirasi. Tentu saja masih banyak komik lain yang juga menyelusupkan nilai-nilai. Sebutlah, misalnya, Si Hamid Pahlawan Bandung Selatan, Pangeran Sulong, Si Godam, dan sederet komik lain, masih saja sulit dilenyapkan dalam pikiran. Itulah kekuatan komik. Ketika komik itu dibaca pada masa anak-anak, ia laksana mengeram-mendekam, dan terus menempelkan nilai-nilai yang ditawarkannya dalam benak ingatan kita.

Kiranya benar pandangan Sigmund Freud tentang pembentukan karakter pada masa anak-anak. Pada periode inilah, nilai-nilai sosial yang ditanamkan orang tua atau masyarakat, terbentuk dan mengeram menjadi sikap perilaku, harapan, bahkan juga kecemasan. Dalam perkara ini, Carl Gustav Jung, Sang murid, juga menyatakan hal senada bahwa perilaku pada masa kanak-kanak, akan terulang kembali dalam bentuknya yang lain, pada usia dewasa. Jadi, jika sudah sejak dini anak-anak Indonesia dijejali hal-hal positif atau negatif mengenai sesuatu, pada masa dewasa hal positif atau negatif itu akan menjadi tata nilai, perilaku, sikap hidup. Nah, dalam konteks itulah, komik yang dibaca anak-anak usia dini, akan melekatkan tata nilai positif—negatif dalam memori mereka. Ia akan dibawa terus sampai usia dewasa. Terlepas dari apakah hal positif—negatif itu kelak akan disetujui atau diberontakinya, ia sudah terlanjur menempel lekat dalam memori.

***

Sasaran pembaca komik umumnya anak-anak prasekolah yang baru bisa membaca sampai ke anak usia remaja. Pada masa inilah, tata nilai positif—negatif sedang dalam proses pembentukan dalam jiwa dan isi kepalanya. Maka, ketika pada masa pembentukan ini, si anak mengalami trauma psikologis yang mahadahsyat, seumur hidup trauma itu akan terus menempel dalam jiwa dan benak kepalanya. Sebutlah, misalnya, anak di bawah umur yang menjadi korban perkosaan. Sampai ajal menjemputnya, trauma itu akan terus mengganggu jiwanya. Trauma itu bagai hantu teror yang tidak kelihatan, yang sewaktu-waktu bisa datang mengancam pikirannya.

Komik, dalam hal tertentu, bisa juga berfungsi demikian. Lantaran di sana, pembaca disodori sebuah cerita, maka dari cerita itu pula semacam acuan tata nilai akan terbentuk dan menempel hingga dewasa. Oleh karena itu, jika komik-komik yang dibaca anak-anak itu menggambarkan citra dan stigma sedemikian nista pada para koruptor, maka sangat mungkin kebencian terhadap tindak korupsi akan menjadi sikap hidup. Kinilah saatnya KPK menghancurkan korupsi dengan cara-cara luar biasa dan langkah yang lebih kreatif! Tidak percaya? 

Bolehlah dicoba! 

(Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI, Depok)
Read more…

Laskar Anti Korupsi Indonesia Demo di Polda Sulut

Aktifis Laskar anti Korupsi Indonesia (LAKI), menggelar demonstrasi di depan Markas Polda Sulawesi Utara, Rabu, 24 Agustus 2011, dengan tuntutan agar Polda mempercepat penanganan kasus korupsi di Sulawesi Utara 












Sumber dan Foto : Rizky Adriansyah / Tribun Manado
Read more…