KOMPAS.com — Kasus Bank Century selama ini lekat
dengan gonjang-ganjing politik. Kita belum tahu ujungnya ke mana. Yang
pasti, kasus ini telah "mengorbankan" Sri Mulyani yang mundur dari
jabatan Menteri Keuangan. Kekuatan-kekuatan politik Indonesia pun
tersandera oleh kasus ini.
Namun, lepas dari panasnya suhu
politik akibat "tungku" Century yang tak kunjung padam, ada cerita lain
yang selama ini tak pernah tersentuh. Century tidak hanya menggusur
Sri Mulyani, tetapi juga menggusur cita-cita seorang remaja berusia 19
tahun, Alanda Kariza.
Alanda mencurahkan isi hatinya yang kami sunting dari blog pribadinya ,
Selasa (8/2/2011), terkait kasus Century yang ikut membelit ibunya.
"Curhat"-an Alanda kemudian ramai diperbincangkan di situs microblogging
Twiiter. Simpati dunia maya mengalir untuknya.
Lepas dari benar atau salah, lepas dari polemik hukum yang kini berjalan, juga lepas dari maksud membela siapa pun, (Baca: Melongok Kasus Ibunya Alanda) dan seizin Alanda, Kompas.com memuat tulisan Alanda: sisi lain dari Kasus Century yang penuh intrik politik. Berikut isi hati Alanda.
___________________________________________________
Jika
ditanya apa cita-cita saya, saya hampir selalu menjawab bahwa saya
ingin membuat Ibu saya bangga. Tidak ada yang lebih menyenangkan
dibanding mendengar Ibu menceritakan aktivitas saya kepada orang lain
dengan wajah berbinar-binar. Semua mimpi yang saya bangun satu per satu,
dan semoga semua bisa saya raih, saya persembahkan untuk beliau.
Belakangan
ini, kita dibombardir berita buruk yang tidak habis-habisnya, dan
hampir semuanya merupakan isu hukum. Saya… tidak henti-hentinya
memikirkan Ibu. Terbangun di tengah malam dan menangis, kehilangan
semangat untuk melakukan kegiatan rutin (termasuk, surprisingly, makan), ketidakinginan untuk menyimak berita… Entah apa lagi.
Selasa,
25 Januari 2011, periode ujian akhir semester dimulai. Hari itu juga,
Ibu harus menghadiri sidang pembacaan tuntutan. Hampir tidak ada yang
tahu apa yang terjadi dengan Ibu saya, yang sejak bulan September 2005
bekerja di Bank Century.
Hanya keluarga dan kerabat dekat
kami yang mengetahui bahwa Ibu menjadi tersangka di beberapa kasus
yang berhubungan dengan pencairan kredit di Bank Century. Sidang
pembacaan tuntutan kemarin merupakan salah satu dari beberapa sidang
terakhir di kasus pertamanya.
Sejak Bank Century di-bailout dan diambil alih oleh LPS, kira-kira bulan November 2008 (saya ingat karena baru mendapat pengumuman bahwa terpilih sebagai Global
Changemaker dari Indonesia), Ibu sering sekali pulang malam, karena
ada terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Saya
jarang bertemu beliau. Bahkan, ketika saya berulang tahun ke-18, saya
tidak bertemu dengan Ibu sama sekali karena beliau masih harus mengurus
pekerjaan di kantor. Itu pertama kalinya saya berulang tahun tanpa
Ibu. Seiring dengan diusutnya kasus Century, Ibu harus bolak-balik ke
Bareskrim untuk diinterogasi oleh penyidik sebagai saksi untuk
kasus-kasus yang melibatkan atasan-atasannya.
Sejak saya
kecil, Ibu saya harus bekerja membanting tulang agar kami bisa
mendapat hidup yang layak–agar saya mendapat pendidikan yang layak.
Ketika saya duduk di SMP, beliau sempat di-PHK karena kantornya
ditutup. Kami mengalami kesulitan keuangan pada saat itu, sampai
akhirnya saya menerbitkan buku saya agar saya punya “uang saku” sendiri
dan tidak merepotkan beliau, maupun Papa.
Ibu sempat menjadi broker properti,
berjualan air mineral galonan, sampai berjualan mukena. Adik pertama
saya, Aisya, ketika itu masih kecil. Ibu pun mengandung dan melahirkan
adik kedua saya, Fara. Akhirnya, ketika buku saya terbit, beliau
mendapat pekerjaan di Bank Century. Papa sudah duluan bekerja di sana,
tetapi hanya sebagai staf operasional.
Saya lupa kapan… tetapi pada suatu hari, saya mendengar status Ibu di Bareskrim berubah menjadi TSK. Tersangka.
…
Itu
merupakan hal yang tidak pernah terlintas di pikiran saya sebelumnya.
Tersangka? Dalam kasus apa? Dituduh menyelewengkan uang?
Sejak
Ibu bekerja di Century, hidup kami tetap biasa-biasa saja. Jabatan Ibu
sebagai Kepala Divisi boleh dibilang tinggi, tetapi tidak membuat kami
bisa hidup dengan berfoya-foya. Orang-orang di kantor Ibu bisa punya
mobil mahal, belanja tas bagus, make up mahal… Tidak dengan
Ibu. Mobil keluarga kami hanya satu, itu pun tidak mewah. Saya sekolah
di SMA negeri dan tidak bisa memilih perguruan tinggi swasta untuk
meneruskan pendidikan karena biayanya bergantung pada asuransi
pendidikan.
Ibu tidak membiarkan saya mendaftarkan diri
untuk program beasiswa di luar negeri–beliau khawatir tidak bisa
menanggung biaya hidup saya di sana. Papa di-PHK segera setelah kasus
Century mencuat ke permukaan. Papa tidak bekerja, hanya Ibu yang
menjadi “tulang punggung” di keluarga saya. Papa dan saya sifatnya
hanya “membantu”.
Saat itu, berat sekali rasanya, Ibu
memiliki titel “tersangka” di suatu kasus. Saya tidak bisa
mendeskripsikan perasaan saya ketika itu. Saya duduk di Kelas III SMA
tatkala status Ibu berubah. Ibu jatuh sakit karena tertekan. Tepat satu
hari sebelum Ujian Akhir Nasional, Ibu harus diopname, dan saya baru
tahu pukul 10 malam karena keluarga saya khawatir hal ini akan
mengganggu konsentrasi saya dalam menjalani ujian. Saya tidak lagi bisa
memfokuskan pikiran saya terhadap UAN SMA. Pikiran saya hanya Ibu, Ibu,
dan Ibu.
Sejak itu, hidup kami benar-benar berubah…
walau dari luar, Ibu dan Papa berusaha terlihat biasa-biasa saja.
Mereka tidak cerita banyak kepada saya. Mobil dijual dan mereka membeli
yang jauh lebih murah. Kami jarang pergi jalan-jalan dan saya jarang
mendapat uang jajan. Kami lebih jarang menyantap pizza hasil delivery order. Sopir diberhentikan dan hanya punya satu pembantu di rumah.
Ibu
dipindahkan ke kantor cabang, sementara Papa mengalami kesulitan
mencari pekerjaan. Saya beruntung, mereka berdua tidak pernah menahan
saya dari melakukan hal-hal yang saya mau lakukan, terutama aktivitas Global Changemakers dan IYC. Tapi, saya sadar, bahwa hidup kami benar-benar berubah.
I
can live with that. I’m willing to work part time, do internships, and
work my ass off to publish more and more books if it would help my
parents, especially my mother. Although I don’t have my own car and I
can’t shop luxurious stuff just like my friends do, I’m happy, and I’m
willing to live like that. Saya mau, meski hal tersebut pasti melelahkan.
Saya
memilih beasiswa dari Binus International dibanding Universitas
Indonesia, salah satunya juga supaya orangtua saya tidak perlu lagi
membiayai pendidikan saya. Supaya uang untuk saya bisa digunakan untuk
membiayai pendidikan adik-adik saya. Saya ingin mereka bisa les bahasa
Inggris bertahun-tahun seperti saya dulu… siapa tahu mereka bisa
memenangi kompetisi-kompetisi internasional yang bergengsi.
Awalnya
pun berat bagi Ibu, tetapi lambat laun, Ibu sangat ikhlas. Ibu jarang
membagi kesulitannya kepada saya–selalu disimpan sendiri atau dibagi
ke Papa. Beliau hanya mengingatkan saya untuk tidak lupa shalat dan
berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai-nilai yang baik agar
beasiswa tidak dicabut. Dari apa yang dialami Ibu, saya belajar untuk
tidak dengan mudah memercayai orang lain. Ibu orang baik dan hampir
tidak pernah berprasangka buruk. Tapi, sepertinya kebaikannya justru
dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain.
Ibu dituduh
terlibat dalam pencairan beberapa kredit bermasalah, yang disebut
sebagai “kredit komando” karena bisa cair tanpa melalui prosedur yang
seharusnya. Beberapa kredit cair tanpa ditandatangani oleh Ibu
sebelumnya. Padahal, seharusnya semua kredit baru bisa cair setelah
ditandatangani oleh beliau yang menjabat sebagai Kepala Divisi
Corporate Legal. Ya, tidak masuk akal.
“Kredit komando”
ini terjadi atas perintah dua orang yang mungkin sudah familiar bagi
orang-orang yang mengikuti kasus Century melalui berita, Robert
Tantular dan Hermanus Hasan Muslim. Dua orang ini sudah ditahan dan
seharusnya, menurut saya, kasusnya sudah selesai. Ibu dulu hanya
menjadi saksi dalam kasus mereka berdua karena kredit-kredit tersebut
cair karena perintah mereka, bukan Ibu. Bahkan, tanda tangan Ibu pun
“dilangkahi”. Pertanyaan saya, mengapa Ibu dijadikan tersangka?
Nonsens.
Oleh karena itulah, saya optimistis. Saya tahu
bahwa Ibu tidak bersalah, walaupun saya ‘awam’ dalam dunia hukum
perbankan. Saya selalu berkata kepada Ibu bahwa semua akan baik-baik
saja karena itulah yang saya percayai, bahwa negara ini (seharusnya)
melindungi mereka yang tidak bersalah, bahwa negara ini adalah negara
hukum.
Sampai akhirnya, pada tanggal 25 Januari 2011, sehari sebelum saya ujian Introduction
to Financial Accounting, saya harus menerima sesuatu yang,
sedikit-banyak, menghancurkan mimpi yang telah saya bangun
bertahun-tahun, dalam sekejap.
Hari itu seharusnya
menjadi hari yang biasa-biasa saja. Ujian hari itu bisa saya kerjakan
dengan baik. Saya pulang cepat dari kampus, tidur siang, bangun dan
menonton televisi. Ibu pulang malam. Status BBM salah seorang tante
berisi: “Deep sorrow, Arga”. (Nama Ibu adalah Arga Tirta
Kirana). Saat itu, untuk sejenak, saya tidak mau tahu apa yang terjadi.
Hari itu, Ibu dan Papa pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk
mendengar pembacaan tuntutan.
Ibu dituntut kurungan 10 tahun penjara dan denda sebesar 10 miliar rupiah.
Sesak napas. Yang terasa cuma air mata yang tidak berhenti.
Mungkin,
ini cuma mimpi buruk… Mungkin, ketika terbangun, ternyata kasus ini
sudah berakhir, dan saya bisa menjalani hidup yang “biasa” lagi dengan
Ibu, Papa, dan dua adik-adik yang masih kecil. Walau hidup kami tidak
mewah, tetapi bahagia. Tidak harus ada sidang, tidak harus ada
penyidikan di Bareskrim, tidak harus ada pulang larut karena harus ke
kantor pengacara, tidak harus melewatkan makan malam yang biasanya
dinikmati bersama-sama.
Saya kangen Ibu masak di rumah: pudding roti, spaghetti, roast chicken,
sop buntut, apa pun. Saya kangen pergi ke luar kota, walau cuma ke
Bogor, bersama keluarga. Hal-hal kecil yang sudah tidak bisa kami
nikmati lagi. Kalau ini hanya mimpi buruk, saya mau cepat-cepat bangun.
Mungkin
saya tidak sepintar banyak orang di luar sana, terutama para ahli
hukum: mulai dari hakim, jaksa, sampai pengacara ataupun notaris. Saya
tiga kali mencoba untuk diterima di FHUI, dan tiga kali gagal. Tapi,
saya bisa menilai bahwa tuntutan yang diajukan itu tidak masuk di akal.
Gayus–kita
semua tahu kasusnya, kekayaannya, kontroversinya–divonis 7 tahun
penjara dan denda 300 juta. Robert Tantular dituntut hukuman penjara
selama 8 tahun dan Hermanus Hasan Muslim dituntut hukuman penjara
selama 6 tahun dari PN Jakarta Pusat. Lalu, mengapa Ibu 10 tahun?
Setolol dan seaneh apa pun saya, saya cukup waras untuk tidak sanggup
mengerti konsep tersebut menggunakan nalar dan logika saya. Apakah
karena keluarga kami tidak memiliki uang? Ataukah karena Ibu justru
terlalu baik?
Ini negara yang saya dulu percayai, negara yang katanya berlandaskan hukum. Atas nama Indonesia, saya dulu pergi ke forum Internasional Global Changemakers. Atas nama Indonesia, saya mengikuti summer course di Montana. Untuk Indonesia, saya memiliki ide dan mengajak teman-teman menyelenggarakan Indonesian Youth Conference 2010.
Indonesia
yang sama yang membiarkan ketidakadilan menggerogoti penduduknya.
Indonesia yang sama yang membiarkan siapa pun mengambinghitamkan orang
lain ketika berbuat kesalahan, selama ada uang. Indonesia yang sama
yang menghancurkan mimpi-mimpi saya.
“Apa yang Alanda ingin lakukan sepuluh tahun lagi?”
Sebelumnya
saya tahu, saya punya begitu banyak mimpi yang ingin dicapai, untuk
membuat Ibu bangga, dan–mungkin–untuk Indonesia. Ingin mendirikan
sekolah supaya pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik, ingin
menyelenggarakan IYC terus-menerus agar ada banyak agen perubahan di
Indonesia, ingin ini dan ingin itu.
Keinginan-keinginan
itu mati tanpa diminta. Sekarang hanya ingin Ibu bebas dari seluruh
kasus tersebut. Sekarang hanya ingin hidup bahagia bersama Ibu, Papa,
dan adik-adik–di rumah kami yang tidak besar, tetapi cukup nyaman;
jalan-jalan dengan mobil yang tidak mahal, tetapi bisa membawa kami
pergi ke tempat-tempat menyenangkan.
Saya mau ada Ibu di
ulang tahun saya yang kedua puluh, dua minggu lagi. Saya mau ada Ibu
di peluncuran buku saya–seperti biasanya. Saya mau ada Ibu waktu nanti
saya lulus dan diwisuda. Saya mau ada Ibu ketika saya suatu hari nanti
menikah. Saya mau ada Ibu ketika saya hamil dan melahirkan anak-anak
saya.
Uang, politik, hukum yang ada di negara ini
menghancurkan bayangan saya tentang hal itu. Mungkin selamanya
pilar-pilar hukum hanya akan mempermasalahkan kredit-kredit macet,
menjebloskan orang-orang ‘kecil’ ke penjara tanpa bukti dan analisis
yang komprehensif (maupun putusan yang masuk di akal), bukan 6,7T yang
entah ada di mana saat ini.
Mungkin hal-hal seperti ini
yang membuat pemuda-pemuda optimis berhenti berkarya untuk Indonesia.
Mungkin hal-hal seperti ini yang membuat individu-individu brilian
memilih untuk tinggal dan berkarya bagi negara lain… agar keluarga
mereka tetap utuh. Supaya mereka tidak harus menghadapi ketidakadilan
yang menjijikkan seperti ini.
Saya mau Ibu ada di rumah,
Indonesia. Tidak di penjara, tidak di tempat lain, tetapi di rumah,
bersama saya, Papa, Aisya, dan Fara.
Hari Kamis, Ibu akan
membacakan pleidoi (pembelaan) di PN Jakarta Pusat. Ibu akan
menceritakan seluruh kejadian yang beliau alami dan mengapa seharusnya
beliau tidak mengalami tuduhan apalagi tuntutan ini.
Saya
mohon doanya buat Ibu, walau mungkin Anda tidak pernah mengenalnya. Ia
berjasa besar bagi saya, dan saya yakin, bagi banyak orang di luar
sana. Beliau membutuhkan doa, dukungan, dan bantuan dari banyak orang.
Even
if I have to let Indonesian Youth Conference go, even if I have to
work hard 24/7 to live without having to ask for allowances from my
mother… I’m willing to do so.
I just want her to stay with me…
instead of behind those scary bars. I just want her to witness
everything that I will achieve in the future. I just want her to see my
little sisters grow up, beautifully. I just want her to always be
there around the dining table, and we’ll have dinner together. I just
want her to cook again for the whole family on Sunday mornings. I just
want her to let me drive for her when she has to go somewhere. I just
want her to listen to my stories about my boyfriend, my friend, campus
life, or silly little things. I just want her here… Here.
I love you, Mum. I do… :’(
Sumber; http://nasional.kompas.com/